Konstruksi dan Arah Gula Nasional, Menanti Outlook Capres – Presiden 2024 (Lagi sak-Gulo Wae Mumet)
Hitungannya, bila ingin swasembada gula, entah tercapai atau tidak, mau 100 persen atau berapa persen, bahwa kebutuhan gula sebanyak 6,6 juta ton kita produksi sendiri untuk semua kategori gula

Nusantarapedia.net, Jurnal | Ekbis — Konstruksi dan Arah Gula Nasional, Menanti Outlook Capres – Presiden 2024 (Lagi sak-Gulo Wae Mumet)
“Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, justru semakin menjauh untuk mewujudkan cita-cita swasembada gula. Pasalnya, menyetarakan pangan impor dengan pangan produksi dalam negeri sebagai sumber pemenuhan kebutuhan nasional.”
TIDAK henti-hentinya, harapan itu tersandar kepada calon presiden – presiden 2024, yang mana posisi presidenlah (sistem presidential) yang tetap sebagai dewa pengadil atas hak-hak hidup rakyat. Dalam pokok terciptanya masyarakat dan terselenggarakannya negara yang bertatanan kemanusiaan, keadilan, maju, makmur dan sejahtera.
Sudah pasti, komoditas gula Indonesia sebagai bagian dari bahan pokok rakyat, menjadi proyeksi dan strategi ke depan bagi presiden 2024, atas fakta; Indonesia tanah yang subur harus terciptanya target kedaulatan pangan khususnya swasembada gula; konsumsi gula yang tinggi penduduk Indonesia terkorelasi dengan demografi yang besar sebanyak 273 juta penduduk Indonesia, tentu dapat dijadikan potensi ekonomi dalam negeri tidak menguap keluar. Selain sebagai bentuk ketahanan pangan, juga ketahanan ekonomi dan keuangan nasional. Pendek kata, hal pergulaan Indonesia turut andil besar dalam circle ekonomi dan keuangan dalam negeri, yang itu adalah menyangkut produktivitas rakyat dan endingnya kemakmuran.
Indonesia menargetkan swasembada gula konsumsi tahun 2028-2030 dengan program sinergi gula nasional, tentu peta jalannya dari hulu sampai hilir harus dibenahi, terutama hal regulasi yang dibaca terinfiltrasi, menyangkut tata niaga dan teknis selanjutnya akan menyesuaikan, namun yang paling pokok adalah bagaimana political will khususnya kebijakan perdagangannya atau trade policy-nya sebagai hulu yang hilirnya adalah industrial policy berpihak pada kepentingan nasional, yaitu kepentingan rakyat, bukan gurita bisnis oligarki, lagi-lagi atas pasar empuk demografi Indonesia yang terkorelasi dengan kebutuhan.
Bagaimana tidak, sebagai gambaran, harga pasaran gula dunia dari tahun ke tahun angkanya terus naik, per-2023 ini di salah satu pasar dunia, di London mencapai US$700 per ton. Maka asumsinya, setidaknya circle uang pergulaan di Indonesia mencapai Rp60 triliun dari total kebutuhan sebesar 6,6 juta ton. Sungguh bisnis yang menjanjikan!
Kita boleh bermimpi, mimpi itu harus diwujudkan, agar tidak menjadi kembang tidur alias “nglindur“, yaitu mengulang kejayaan gula pada tahun 1929-1931 era Hindia Belanda, mencapai puncak produksi sebesar 3 juta ton per-tahun, dari 179 pabrik gula (PG), dengan luas area tebu 196.592 Ha dengan tingkat produktivitas hablur sebesar 14.79 persen. Sekitar 2.40 juta ton (80%) untuk kebutuhan ekspor. Produktivitas gula dengan bahan baku tebu di angka 14.79 ton gula per-hektar atau 130 ton tebu per-hektar merupakan yang terbesar di dunia sepanjang sejarah pergulaan. (Indonesia Journal of Agricultural Economics: 2011)
Faktanya 2023 ini, “percaya atau tidak percaya” data dari pemerintah, bahwa kebutuhan gula nasional sebesar 6,48-6,6 juta, baik Gula Kristal Putih/GKP dan Gula Kristal Rafinasi/GKR. Sementara produksi gula nasional sebesar 2,2-2,74 juta ton (target) dari 59 pabrik. Itupun sekitar 1 juta ton gula diproduksi oleh BUMN dan sisanya disangga oleh swasta. Maka, terdapati defisit gula konsumsi dan rafinasi sebesar 3,8 juta ton (GKP & GKR) setara 65-60%. Solusinya, kran impor besar-besaran dibuka, sebanyak 4,641 juta ton gula diimpor kategori gula GKP, GKR dan gula khusus.
Proyeksinya, tidak ada peradaban yang abadi untuk diulangi, seperti kerinduan akan kejayaan Majapahit hingga Medang i Mataram, tetapi mengulang kejayaan gula Indonesia tahun 1929-1931 bukan sesuatu yang mustahil, lagi-lagi kuncinya adalah tekat, tekat untuk berdaulat.
Hitungannya, bila ingin swasembada gula, entah tercapai atau tidak, mau 100 persen atau berapa persen, bahwa kebutuhan gula sebanyak 6,6 juta ton kita produksi sendiri untuk semua kategori gula. Maka perhitungannya (hablur gula) dengan rumus sederhana; berapa target produksi tebu giling/panen dan berapa kebutuhan luasan lahan (Hektar/Ha), dan ketemu produktivitas rendemennya, yaitu gula yang dihasilkan. Untuk menghasilkan produksi gula nasional sebesar 6,6 juta ton gula dan ekspor, dibutuhkan setidaknya produksi tebu sebesar 89.2-100 juta ton tebu dengan luasan lahan berkisar 3,2 juta Ha dengan rendeman sekitar 5-8 persen.