Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (1)

Perang Saudara namanya (intrastate conflict/civil war). Perebutan tahta kekuasan di kerajaan Jawa, umumnya didasari pada tiga hal pokok

16 April 2022, 20:31 WIB

Nusantarapedia.net — Konstruksi kerajaan di Jawa hingga kelahiran Indonesia dalam perebutan tahta kekuasaan.

Nusantara adalah wilayah yang sekarang menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perjalanan panjang Nusantara tidak terlepas dari entitas kebangsaan yang ada di dalamnya. Nusantara terdiri dari berbagai suku, agama dan ras dengan kebudayaannya masing-masing menurut wilayah kebudayaannya.

Suku Jawa (jawa tengahan dan timur), Sunda (jawa barat-an; sunda, betawi, badui), Sumatera Melayu (aceh, batak, minangkabau, dan sekitarnya), Sunda Kecil (bali, sasak, nusa tenggara barat), Melayu Kalimantan (dayak, banjar, berau), Melayu Sulawesi (bugis, makassar, toraja), serta kebudayaan Melanesia-Mikronesia, seperti; Maluku (ambon, tanimbar), Papua (asmat, dani, kepulauan), Nusa Tenggara Timur (flores, timor) juga suku pendatang seperti; eropa, arab, tionghoa, india, dan masih banyak lagi.

Kesemuanya adalah suku-suku yang turut dibentuk oleh kerajaan-kerajaan, dan menjadi bagian dari Indonesia saat ini.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (2010), terdapat 300 lebih kelompok etnik atau suku bangsa dengan 1.340 sub etnik. Indonesia mempunyai bahasa daerah berjumlah 748, dengan 14 bahasa daerah yang dituturkan di atas satu juta orang (BPS 2015). Terdapat 7 agama dan 187 aliran kepercayaan (Sensus Penduduk, 2018).

Indonesia merupakan negara kepulauan, luas wilayahnya terdiri dari darat dan laut berjumlah 5.193.250 km². Luas lautan sekitar 3.273.810 km², sedangkan daratnya seluas 1.919.440 km² (Sumber Belajar Kementerian Pendidikan Kemdikbud).

Jumlah pulau yang berpenghuni dan tidak, maupun yang bernama dan tanpa nama sebanyak 16.056 pulau (KKP, 2017).

“Hak dan kewenangan istimewa raja dengan sistem monarkinya yang absolut telah terjadi relasi yang erat terkait dengan eksistensi keberlangsungan kerajaan di Jawa yang gampang runtuh.”

Jumlah penduduk Nusantara pada abad ke-16 berjumlah 8.000.000 – 10.000.000 jiwa. Kota-kota pelabuhan di Jawa dan Sumatra, seperti Gresik, Demak, Banten, Pasai, Malaka, sudah dihuni antara 50.000 – 100.000 jiwa, sedangkan kota-kota dunia seperti London, New York, Frankfrut hanya di bawah 40.000, hanya Paris yang sudah mencapai angka diatas 50.000, dan Tokyo dengan 100.000 jiwa. BPS 2020 mencatat, penduduk Indonesia berjumlah 270,2 juta jiwa.

Nampaknya Nusantara pada tempo dulu sudah menjadi kota urban dengan segala kepentingannya menarik bagi dunia.
Sejak jaman Nusantara sampai sekarang, demografi Indonesia menjadi bagian yang terbesar dari populasi dunia.

Indonesia saat ini, terbentuk dari campuran budaya Nusantara yang plural, cara berfikir bangsa Nusantara (epistem) dipengaruhi dari berbagai akulturasi dan asimilasi yang kompleks dari kebudayaan dunia, hingga melahirkan wujud budaya yang beraneka ragam. Namun begitu, local genius (local wisdom) kebudayaan asli Nusantara tetap menjadi porsi terbesar dalam konstruksi budayanya.

Faktor geografi menjadi dasar kelahiran peradaban asli, yang selanjutnya tetap dominan meski arus globalisasi pada setiap era massiv terjadi, betapapun kuatnya pengaruh yang saling mempengaruhi, akar budaya tetap tidak bisa hilang, karena berproses dari pembentukan alam.

Manusia sebagai makhluk individu, sosial dan berspiritual, sebagai watak alaminya lebih berkecenderungan untuk berkelompok (koloni), maka kumpulan individu dalam sebuah kelompok menjadi ciri alami, hingga di dalamnya muncul aturan-aturan sebagai komitmen bersama, dan akan menunjuk pemimpin sebagai rujukan arah.

Maka, lahirlah kekuasaan. Gabungan individu yang membentuk organisasi dan mengangkat pemimpin, melahirkan sebuah tatanan bersama guna menuju cita-cita. Selanjutnya, membentuk menjadi satu kesatuan bangsa, dalam wadah negara ataupun kerajaan.

Bagaimana mentalitas sejarah bangsa Nusantara, sebagai individu yang bertanggung jawab atas kelangsungan negaranya (kerajaan), sebagai sebuah tujuan (cita-cita), begitu sebaliknya kerajaan terhadap rakyatnya. Adakah korelasi antara kerajaan di Nusantara dengan situasi terkini Indonesia, atas pewarisan nilai peradaban Nusantara.

Nusantara terdiri dari banyak kerajaan, diklasifikasi pada era atau periodesasi waktu. Pasca tahun masehi (aksara), terdapat banyak kerajaan yang berdiri hampir diseluruh kepulauan Nusantara, jejaknya dapat ditelusuri melalui literasi budaya berupa bukti arkeologis; prasasti, artefak, karya sastra, maupun kronik catatan dunia.

Periodesasi Kerajaan di Nusantara;

1) Masa Pra-Sejarah (sebelum masehi)
Era manusia purba sampai dimulainya era aksara, seperti; Sangiran, Situs Gunung Padang, Salakanagara, dan lainnya.
2) Kerajaan Hindu-Budha (masehi)
Kerajaan di luar Jawa; Kutai Kartanegara, Sriwijaya, Tarumanegara, Sunda Galuh, dan lainnya.
Kerajaan Mataram Jawa Tengahan; Kalingga, Mataram Medang.
Kerajaan Mataram Jawa Timuran; Kahuripan, Kadiri, Tumapel, Majapahit.
3) Kerajaan Islam;
Masa Transisi Jawa; Kasultanan Demak dan Pajang.
Masa Mataram Islam; Kota Gede, Amangkurat.
Masa Mataram Anyar; Surakarta, Yogyakarta, dan lainnya.
Kerajaan Islam di seluruh Nusantara; Kasultanan Aceh, Malaka, Banjar, Banten, Bima, Cirebon, Gowa, Buton, Ternate, Tidore, dan lainnya.
4) Masa Kolonial; Portugis, VOC, Hindia Belanda, Kerajaan bersama kolonial.
5) Masa Indonesia; Masa pergerakan kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, termasuk Orde Lama, Baru dan Reformasi.

Tulisan kali ini, mengambil sampel dari Kerajaan Jawa. Jawa yang dimaksud adalah, cakupan tata laksana dan nilai budaya Jawa dalam lingkup wilayah kebudayaan. Sunda yang termasuk bagian dari pulau Jawa (geografis), tidak termasuk dalam kesatuan utuh budaya Jawa, meskipun semua kebudayaan terdapati koherensi yang intens.
Secara kultural, Jawa yang dimaksud meliputi kebudayaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Meski tidak semuanya kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai representasi Nusantara, namun kerajaan di Jawa cukup mewakili kebudayaan Nusantara, karena seluruh isi di dalamnya mendominasi hampir 45% (pulau Jawa) konten kebudayaan Nusantara sampai saat ini.

Alasannya sederhana, demografi Jawa dengan jumlah penduduk terbesar, bahasa Jawa paling banyak dituturkan, kerajaan besar yang menguasai Nusantara terbanyak, pejabat pemerintahan yang didominasi suku Jawa, perputaran ekonomi terbesar di pulau Jawa, serta statistik lainnya yang menempatkan Jawa mendominasi.

Bukan berarti Jawa yang paling unggul, atau adanya keniscayaan Jawasentris/Jawanisasi, tetapi lebih pada pendekatan analisa data dan fakta statistik, untuk mengetahui gambaran masa lalu dalam aplikasi konteks kekinian (sejarah).

Perebutan Tahta Kekuasaan

Perebutan tahta kerajaan yang terjadi pada zaman Sriwijaya, Mataram kuno, Medang Jawa Timuran (Jenggala-Kadiri-Tumapel-Majapahit), Kasultanan Demak-Padjang, Mataram Islam dan Mataram Anyar, hingga berdirinya Republik Indonesia cukup tinggi intensitasnya, bahkan menjadi catatan kelam perjalanan bangsa ini.

Serangkaian konflik perang kerajaan cukup massiv terjadi antar kerajaan maupun di lingkup internal kerajaan itu sendiri.

Romantisme sejarah masa lalu tak seindah yang dibayangkan. Sangat mungkin terjadi tragedi kemanusian di dalamnya yang menjadi antitesis kebesaran, kehebatan dan kemuliaan kerajaan jaman dulu, atas pergolakan atau perang yang menimbulkan banyak korban sipil demi hegemoni kekuasaan.

Raja mewakili negara sebagai figur yang adil dan bijaksana untuk rakyat yang makmur sejahtera, menjadi berlawanan dengan praktek pembunuhan, bahkan tragedi genosida. Dilakukan sesama anggota keluarga atau dinasti, perang antar suku, perebutan wilayah kadipaten, perebutan dan pemberontakan istana kerajaan, ekspansi militer antar kerajaan, seolah menjadi hal yang lazim sebagai sebuah strategi, dengan mengabaikan sisi humanis-kemanusiaan maupun rekonsiliasi.

Membunuh dan dibunuh dari dan oleh ayah, ibu, anak, saudara, paman, eyang, kerabat, trah yang masih sedarah, juga berperang dalam kawasan yang masih satu ikatan budaya menjadi hal yang biasa dalam banyak kasus oleh kerajaan pada setiap era.

Perang Saudara namanya (intrastate conflict/civil war). Perebutan tahta kekuasan di kerajaan Jawa, umumnya didasari pada tiga hal pokok, yaitu;

  1. Ego Kekuasaan Kultural
  2. Legitimasi Dinasti
  3. Wilayah (ekonomi)

Faktor dan motifnya tentu didasari pada konflik kepentingan (politic of interest), aroma rivalitas, balas dendam, kekecewaan, terus menggurita pada internal anggota kerajaan (keluarga), yang melebar ke dalam instrumen kerajaan, kemudian menjadi lazim dilakukan pada kelompok kerajaan, maupun kelompok sosial (rakyat), hingga menimbulkan banyak faksi maupun konspirasi untuk melakukan pemberontakan atau perebutan kekuasaan kerajaan.

Dari situasi tersebut melahirkan banyak cara kotor dalam pengambilalihan suksesi kepemimpinan, hingga membentuk menjadi formulasi strategi perebutan kekuasaan yang praktis.

Penusukan dari belakang, saling menjatuhkan, penjegalan, berkomplot, berafiliasi dengan penjajah, pembunuhan karakter, teknik konspirasi, adu domba, standar ganda, skandal wanita, spionaze, infiltrasi dan lainnya. Puncaknya, pengambilalihan kekuasaan secara paksa dengan kudeta dan jalur perang (invasi) dengan pembunuhan langsung secara terang-terangan, dengan intensitas yang tinggi disetiap era menjadi acuan generasi selanjutnya.

Ego Kekuasaan Kultural

Setiap individu mempunyai ego, terlebih kekuasaan. Bagaimana tidak menyenangkan, kerajaan Jawa dibangun dengan sistem monarki absolut berupa bentuk Kedatuan, Kemaharajaan, ataupun Dinasti/Wangsa yang berporos pada egosentris raja.

Meski tugas dan tanggung jawab raja besar sebagai penentu akhir pengambilan keputusan, urusan kenegaraan yang bersifat teknis (struktural birokrasi) sudah diwakili oleh pegawai pembesar kerajaan. Seperti contoh kasus kerajaan Majapahit telah dijalankan oleh Perdana Menteri ataupun Maha Patih bersama Menteri.

Sebenarnya, raja lebih difungsikan sebagai simbolisasi negara dan penyaluran spiritual. Urusan keduniawian, raja jelas hidup dalam keadaan yang mewah, bergelimang harta, pun urusan wanita.

Apa yang menjadi ucapannya adalah “Sabda Pandita Ratu” (tak terbantahkan). Inilah yang mendorong ego individu menjadi dominan, terlebih menyangkut kekuasaan yang absolut, hingga akhirnya lupa pada tujuannya, bahwa tanggung jawab raja sebagai penjaga pengayoman dan kekuatan batin seluruh rakyat dan isinya menjadi kabur.

Hak dan kewenangan istimewa raja dengan sistem monarkinya yang absolut telah terjadi relasi yang erat terkait dengan eksistensi keberlangsungan kerajaan di Jawa yang gampang runtuh.

(bersambung bagian 2)

Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (2)
Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara (1)
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
4 Tuntutan Mahasiswa Dalam Demonstrasi 11 April, Serta 6 dan 12 Tuntutan Lain
Candi Kalasan, Wujud Toleransi Masa Mataram Kuno

Terkait

Terkini