Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (2)

Serangkaian perang saudara (civil war) untuk memperebutkan tahta kekuasaan, telah benar-benar meruntuhkan keberlangsungan kerajaan itu sendiri. Meskipun kerajaan baru dibangun lagi, tetapi harus memulainya dari bawah.

16 April 2022, 22:04 WIB

Nusantarapedia.net — Konstruksi kerajaan di Jawa hingga kelahiran Indonesia dalam perebutan tahta kekuasaan.

“Ulasan tersebut untuk membuktikan sejauh mana dampak dari perang saudara dan bencana alam yang telah menjadikan pola kerajaan di Jawa menjadi Bangun-Hancur-Pindah dengan tidak terwariskannya peradaban secara utuh kepada generasi. Generasi yang dimaksud dalam kesatuan pandang yang saat ini menjadi bentuk negara Indonesia.”

Legitimasi Kekuasaan

Persoalan suksesi raja menjadi kasus yang mendominasi dalam kejatuhan dan berdirinya kerajaan baru. Putra raja yang seharusnya berhak atas putra mahkota dan menjadi raja, harus tersingkir oleh konspirasi ataupun kudeta oleh saudara-saudaranya.

Dinasti atau trah juga disebut nasab, dalam budaya Mataram Islam ada istilah “Kusuma Rembesing Madu.” Anak raja akan menjadi raja. Seperti istilah, “Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya,” anak petani akan menjadi petani, anak pegawai menjadi pegawai, anak bajingan menjadi bajingan.

Perebutan tahta kekuasaan, didasari pada pengakuan akan nama besar pendahulu atau leluhurnya. Para anak raja sering berebut untuk menjadi putra mahkota, meskipun sudah ada aturannya, namun faktor iri dan saling menjatuhkan atas penghargaan sebagai pewaris sah dinasti menjadi dorongan utama, akhirnya menghalalkan segala cara, termasuk penyingkiran sesama saudara dengan cara yang jahat.

Budaya inilah yang terus mentradisi sebagai upaya melegitimasi kekuasaan atas nama trah.

Bisa dianalisa bahwa, dalam kebudayaan Jawa, figur sentral atau paternal tetap diakui dan diikuti sebagai tanda ketaatan dan kepatuhan pada sang raja, pimpinan atau tokoh. Kualitas diri dan level kepemimpinan atau ketokohan yang dimaksud tidak menjadi yang utama, tetapi persoalan trah, nama besar, harta, dan kekuatan (power) selalu menjadi pertimbangan yang utama. Bahkan, kultur ini masih berlangsung hingga sekarang.

Ken Arok misalnya, berhasil membangun Dinasti Wangsa Rajasa, Mataram Islam dengan segala branding keturunan dinasti Brawijaya menjadi Wangsa Mataram, Mpu Sindok dengan menggunakan panji-panji leluhurnya Medang Mataram.

Praktik legitimasi dan duplikasi dalam membangun dinasti pada kerajaan Jawa menjadi standar bagi para penguasanya dari masa ke masa.

Wilayah (ekonomi)

Syarat mutlak sebagai suatu negara atau kerajaan, tentunya wilayah. Gairah kerajaan pada masa lalu sebagai bukti pencapaian prestasi didasarkan pada jangkauan teritori wilayahnya.

Ekspansi wilayah yang dilakukan dengan cara koloni, pendudukan dengan perang atau kampanye militer biasa dilakukan. Penguasaan atas wilayah kerajaan lain sebagai suatu keharusan dalam upaya membangun kekuatan ekonomi.

Majapahit yang bercorak agraris, jauh di selatan juga terus melakukan ekspansi kekuasaan ke daerah-daerah pesisir yang terdapati potensi ekonomi yang tinggi, dimaksudkan sebagai mobilitas kota pelabuhan maupun jalur perdagangan dunia.

Perebutan tahta kekuasaan yang dilakukan di dalam internal kerajaan, sering dilakukan atas dorongon potensi ekonomi bagi kerajaan. Namun ekonomi pada jaman kerajaan tidak ditafsirkan sebagai konversi nilai barang dalam bentuk mata uang, meski itu telah dilakukan. Ekonomi lebih bersifat pada aset berupa wilayah, yang terdapati potensi pertanian, kelahiran maupun sumber daya manusianya. Bahkan, perluasan wilayah dengan jalur diplomatik seperti jalur pernikahan, acap dilakukan.

Banyak catatan mengenai hal ini akan politik ekspansi kerajaan, yang selanjutnya tercipta bentuk negara federal, yaitu Negara Agung (kota praja) dan negara bawahan (vassal).

Perang saudara akibat perebutan tahta pada kerajaan di Jawa, menyebabkan dampak imaterial yang membekas dan meluas sebagai sebuah tradisi sampai saat ini.

Tidak hanya merugikan pihak istana, namun kehidupan sosial masyarakatnya yang menjadi dampak terbesarnya.

Dalam banyak catatan sejarah, kehancuran suatu negara/kerajaan bukan dari faktor eksternal. Kelangsungan kerajaan seisinya akhirnya macet, umur kerajaan tidak lama, sering berubah nama dan pindah ibu kota, tatanan sosial masyarakatnya pun juga berubah-ubah.

Namun, bukan dimaknai sebagai kegagalan dalam pencapaian prestasi, urusan prestasi menyangkut kemakmuran tentu sudah tidak terlalu dipikirkan rakyat, karena sudah berkecukupan. Bidang kebutuhan dasar, kemajuan infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan lainnya sudah hampir pada tujuan yang ideal.

Tetapi, urusan keamanan, ketentraman, kestabilan bentuk negara dan arah pembangunan kerajaan tidak bisa berkelanjutan, tidak pula terwariskan kepada generasi selanjutnya, karena harus berhenti atau runtuh akibat perang saudara dan juga bencana alam.

Indonesia atau Jawa secara geografi berada pada potensi kebencanaan alam yang tinggi. Letaknya di antara pertemuan tiga lempeng besar, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Akibatnya, telah terjadi potensi bencana gempa bumi yang sangat dahsyat.

Selain itu, wilayah Indonesia terletak pada rangkaian Ring of Fire (cincin api). Ring of fire juga disebut Circum-Pacific Belt, merupakan rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di Samudra Pasifik.

Sabuk cincin api mengikuti rantai busur yang terbagi dalam beberapa rantai busur. Rantai busur Indonesia merupakan rangkaian rantai busur yang berada di pulau Tonga, News Hebrides, Indonesia, Filipina, Jepang, Kepulauan Kuril, dan Aleutians.

Atas fakta geologi tersebut, umur kerajaan di Jawa menjadi pendek dengan tidak adanya pewarisan kepada generasi selanjutnya secara utuh karena runtuh.

Kasus berpindahnya kerajaan Medang i Mataram yang berporos di sekitar Candi Prambanan, harus berpindah ke Jawa Timur menjadi kerajaan Medang Kamulan hingga melahirkan Majapahit, berangkat dari bencana letusan gunung Merapi yang mengubur kota praja Mataram. Mpu Sindok kemudahan memindahkan pusat ibu kota di Wwatan (Magetan) Jawa Timur.

Begitu juga ketika Majapahit harus runtuh pada tahun 1478 dengan tahun sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi,” (hilang amblas ditelan bumi). Keruntuhan tersebut ditafsirkan akibat dua faktor besar yaitu serangkaian perang saudara di tubuh kerajaan, seperti Perang Paregreg dan kekisruhan pemerintahan saat raja Brawijaya ke-5.

Hilang amblas ditelan bumi, juga ditafsirkan akan keadaan struktur tanah labil di delta kali Brantas yang mengeluarkan tanah berlumpur. Akibatnya, turut memperlemah keadaan Majapahit hingga daerah tersebut tidak layak lagi menjadi pusat ibu kota.

Serangkaian perang saudara (civil war) untuk memperebutkan tahta kekuasaan, telah benar-benar meruntuhkan keberlangsungan kerajaan itu sendiri. Meskipun kerajaan baru dibangun lagi, tetapi harus memulainya dari bawah.

Kerajaan-kerajaan tersebut sangat kehilangan banyak waktu dan kesempatan untuk menjadikan lebih besar lagi, dan yang sangat disayangkan, telah terjadi proses pewarisan yang terputus, meskipun itu tetap ada, namun tidak secara utuh menjadi pengalaman empiris sebagai ilmu pengetahuan. Dan, akhirnya menjadi budaya yang mudah lupa pada pondasi kultural pendahulunya (sejarah).

Sebut saja kekisruhan yang terjadi antara keluarga Sanjaya dan Dinasti Syailendra yang melibatkan Balaputeradewa dan kerajaan di Sriwijaya.

Kekisruhan di Wwtan pada era Mpu Sindok, mengharuskan Air Langga meneruskan kerajaannya ke Watan Mas (Jombang), hingga berdirinya kerajaan Kahuripan (Sidoharjo).

Begitu pula perang saudara keturunannya yang melahirkan kerajaan Jenggala Kahuripan hingga lahirnya Kediri Panjalu di Dahanapura.

Tak sampai disitu, Ken Arok merebutnya dengan serangkaian peperangan yang memaksa Kediri harus pindah ke Tumapan atau Singhasari. Di Singhasari, pertumpahan darah keturunan Ken Arok tiada habisnya. Hingga kemudian, sisa-sisa kekuatan Singhasari dan keturunannya berhasil mendirikan kerajaan Majapahit oleh Raden Wijaya pada 1293.

Ontran-ontran terjadi ketika Majapahit berseteru dengan Demak, yang tak lain adalah putranya sendiri. Namun dengan bendera kerajaan Islam, yang mana hegemoni muslim di pesisir utara Jawa sudah sebegitu kuat. Sebelumnya serangkaian perang saudara di Majapahit sering pecah, seperti perang Paregreg yang membagi Majapahit menjadi Kedaton Etan dan Kulon.

Majapahit jatuh, dan berdiri kerajaan Islam bercorak maritim di Demak. Namun sayang, akibat perang saudara yang terus terjadi, Demak pun pindah ke Pajang (Surakarta).

Sesampainya berpindah ke Pajang, perebutan tahta pun masih terus berlangsung, dan Prabu Hadiwijaya harus merelakan Pajang untuk pindah ke Alas Mentaok (hutan mentaok) menjadi kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya.

Era Mataram telah berdiri sebagai wangsa Mataram, namun pergolakan internal terus terjadi. Istana yang awalnya berada di Kota Gede pindah ke Karta oleh Sultan Agung. Sepeninggalnya, oleh putra Sultan Agung Amangkurat Agung Mataram dipindahkan ke Pleret.

Setelah dari Pleret, VOC masuk dan mengharuskan istana Mataram pindah ke Kartasura.

Di Kartasura selama 68 tahun, kerajaan terus gaduh antar sesama saudaranya, juga hegemoni VOC yang berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Jawa. Puncaknya, tahun 1745 istana dipindahan ke Surakarta.

Di Surakarta, gaduh lagi sesama saudara, menjadikan Mataram terpecah menjadi dua bagian, Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755 lewat perjanjian Giyanti. Setahun berikutnya, berdiri Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta dan berdiri Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta tahun 1813.

Setelahnya, 1908 melalui pergerakan Budi Utomo melahirkan gerakan-gerakan baru untuk Indonesia, dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda 1928, dan melahirkan era pergerakan Indonesia, hasilnya lahir negara Indonesia tahun 1945.

Setelahnya, muncul masa Revolusi Indonesia, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi dan kini Indonesia bersiap melahirkan Indonesia baru dengan gelaran Pemilu Serentak 2024.

Dengan demikian, terdapati pola kerajaan di Jawa dengan pola Bangun-Hancur-Pindah, Bangun-Hancur-Pindah. Begitu seterusnya kerajaan di Jawa berlangsung. Sangat disayangkan, disaat semua bidang sudah maju, akhirnya harus berhenti, menata ulang, dan harus membangun kembali dari bawah.

Dalam konteks kekinian, Indonesia tidak terwarisi peradaban yang unggul secara utuh, kecuali budaya saling menjatuhkan atau perang saudara.

Fakta atas melimpahnya sumber daya di Nusantara yang telah menjadi kota metropolitan kuno yang diadministrasi oleh keberadaan kerajaan yang rata-rata mencapai puncak keemasan, namun harus terputus dan tidak bisa terwariskan. Seperti fakta Indonesia saat ini. Apabila dilihat dari sejarah kehebatan kerajaan pendahulu harusnya saat ini mudah saja untuk mencapai tujuan konstitusi UUD 1945.

Dengan demikian, 2 faktor terbesar yang menjadikan Indonesia saat ini tidak tersambung secara utuh dengan kerajaan pendahulunya akibat keberlangsungannya yang parsial. Dua faktor tersebut yang paling nyata disebabkan karena perang saudara dan bencana alam.

Tulisan ini hanya sebagai pengantar, selanjutnya dapat diulas satu per-satu kerajaan di Jawa menurut urutan kerajaan yang berkuasa, dimulai dari Kerajaan Hindu-Budha Mataram Jawa Tengahan, Jawa Timuran, Kerajaan Islam Transisi, Mataram Islam, hingga Mataram Anyar (Kolonial) dan berdirinya Indonesia hingga jelang Pemilu Serentak 2024.

Ulasan tersebut untuk membuktikan sejauh mana dampak dari perang saudara dan bencana alam yang telah menjadikan pola kerajaan di Jawa menjadi Bangun-Hancur-Pindah dengan tidak terwariskannya peradaban secara utuh kepada generasi. Generasi yang dimaksud dalam kesatuan pandang yang saat ini menjadi bentuk negara Indonesia.

Selesai

(disarikan dari beberapa sumber)

Konstruksi Kerajaan di Jawa, Bangun-Hancur-Pindah (1)
Wangsa Mataram, Cabang Ningrat Baru
Geopolitik Negara dan Sumber Daya (1)
Kota Nusantara, Ibu Kota Baru Indonesia (1)

Terkait

Terkini