Konstruksi Masa Depan Dalam Fakta Sumber Daya, Kekinian, Arah dan Harapan (1)

Mengapa? justru Indonesia yang kaya dengan potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia dengan demografinya yang besar, hingga saat ini masih berlangsung atraksi-atraksi krisis multidimensi.

20 April 2022, 20:57 WIB

Nusantarapedia.net — Konstruksi Masa Depan Dalam Fakta Sumber Daya, Kekinian, Arah dan Harapan

“hak yang paling dasar yang harus diterima oleh setiap warga negara, tetapi mengapa? akses tersebut begitu kaku. Padahal, disitulah indeks pembangunan manusia Indonesia di ukur. Bila laporannya selalu dalam level yang terpenuhi atau dengan standar kelayakan, praktiknya jauh panggang dari api.”

Allah (Tuhan) menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah (utusan) di muka bumi. Hablum minallah merupakan dimensi vertikal sebagai tanggung jawab penciptaan itu sendiri. Kata khalifah mengandung dimensi horizontal (hablum minannas), untuk melakukan berbagai urusan pemeliharaan bumi dan seisinya agar berlangsung kehidupan yang harmonis.

Sudah menjadi takdir Tuhan, tercipta bangsa-bangsa yang dilahirkan dalam dimensi yang heterogen. Manusia tidak bisa memilih lahir sebagai bangsa Jawa, Nusantara, Eropa, Arab, Tionghoa, dsb. Begitu juga tidak berhak memilih dilahirkan di padang pasir yang kering kerontang, di tanah yang subur, ataupun pada kondisi tempat dengan empat musim atau dua musim.

Namun begitu, Tuhan telah memberikannya akal bagi umat (kaum) yang berfikir agar segala yang diberikanNya dengan kelebihan dan kekurangan mampu dikelola. Pendek kata, Tuhan telah memberikan jaminan hak hidup dengan penuh keadilan.

Bersyukur, ditakdirkan sebagai bangsa Nusantara. Lahir dan tumbuh di tanah yang subur sebagai bangsa indegenous (pribumi). Menempati tanah dan air dari warisan nenek moyang yang menyediakan jaminan kemakmuran ihwal hak hidup. Tak perlu bersusah payah, semua pokok kehidupan bangsa Nusantara telah disediakan oleh alam.

Manusia akhirnya berkembang, membentuk kelompok-kelompok atas dasar kesamaan takdir dan kultural. Lahirlah kebudayaan (dunia) yang terus berjalan membentuk peradaban. Disitulah akhirnya muncul persoalan. Mampukah manusia mewujudkan kodratnya sebagai pemelihara bumi untuk keseimbangan, ataukah justru sebaliknya, menciptakan peradaban yang dis-harmonis. Menghadirkan sederet tatanan hidup yang terus bergerak menuju kehancuran maupun keselarasan hidup.

Kehidupan sosial melahirkan budaya sebagai tatanan hidup masyarakat. Lahirlah entitas sosial dari gabungan unsur individu. Hingga munculnya produk kebijakan (pemimpin) sebagai tata kelola di dalamnya. Apakah menciptakan keadilan atau tidak, pada prakteknya individu lahir dalam status masyarakat yang berbeda-beda. Hidup dalam konteks sosial yang tidak berimbang. Melahirkan aneka ketimpangan di dalamnya.

Produk kebijakan yang dimaksud didasari pada hasil kekuasaan dari alat politik sebagai tujuan bersama sesuai kesepakatan.

Dari landasan di atas, jelas bangsa Nusantara hidup dalam keadaan yang “gemah ripah loh jinawi,” hidup dalam kecukupan dan kemakmuran akan sumber daya alamnya. Cukup bisa dibayangkan, betapa rasanya hidup makmur dengan melimpahnya hasil alam yang lebih dari cukup untuk menjamin hajat hidup manusia (masyarakat).

Lahirnya era kerajaan-kerajaan Nusantara, memunculkan tata laksana baru hidup dalam tatanan institusi. Ada yang memerintah dan diperintah. Pada masa ini, bangsa Nusantara mengalami jatuh bangun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diadministrasi oleh kerajaan.

Dari era kerajaan Salakanegara sekitar awal Masehi, dilanjut kerajaan Kutai, Sriwijaya, Tarumanagara, Kalingga, Mataram, Medang Jawa Timuran hingga Mataram Islam dan masa kolonialisme VOC-Hindia Belanda.

Tentu memiliki pengalaman empirik yang menjadi bahan pembelajaran. Hal yang dapat dipetik pada era kerajaan sedikitnya ada dua kesimpulannya besar, yakni; tidak terwariskannya peradaban secara utuh dari generasi ke generasi hingga kini. Penyebabnya adalah, konflik internal sebagai definisi perang saudara untuk kekuasaan dan bencana alam geologi seperti gempa bumi. Akhirnya, kerajaan di Nusantara dengan pola Bangun-Hancur dan Pindah. Akibatnya, proses pewarisan kultural menjadi terpotong-potong.

Selanjutnya, dimulainya abad ke 15-16, muncul era baru sebagai bentuk kolonialisme dunia. Datanglah berbagai bangsa Eropa ke Nusantara. Pada kesimpulannya, wilayah Nusantara yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan jatuh ke pemerintah kolonial, sampai terbentuk menjadi pemerintahan Hindia Belanda sebagai pemerintahan administratif Republik-Kerajaan Belanda.

Apa warisan kultural yang diperoleh. Bangsa ini terseret dalam pemikiran dan praktik feodalisme yang membelenggu. Membentuk peradaban kultural yang terstruktur mendarah daging.

Menjadikan bangsa yang akhirnya bermental inferiority, mental penjilat dan kompetitif sesama bangsa sendiri dengan mudah di adu domba. Desain kultural yang diciptakan oleh agresor, telah benar-benar membutakan aneka kesadaran kultural dan kesadaran akan sumber daya alam dan manusia dari historiografi yang panjang maupun atas takdir itu sendiri.

Akhirnya, hidup dalam keterbelengguan dan keterjajahan sungguh tidak berkemanusiaan, berkeadilan dan berkeadaban. Sesuai dengan hak hidup atas takdir Tuhan dan kesadaran sumber daya.

Akhirnya, melalui era Budi Utomo sampai era pergerakan kemerdekaan Indonesia, akhirnya lahirlah negara Indonesia melalui Proklamasi 17-08-1945 yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Bahwa, bangsa Indonesia menyatakan merdeka dan berdaulat membentuk kesatuan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Merdeka dan berdaulat yang dimaksud dengan konsekuensi berdiri di atas kaki sendiri (mandiri) untuk menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara pada semua bidang dan tatanan.

Bangsa Indonesia telah sepakat dengan aturan dasar membentuk sistem konstitusi untuk menentukan arah perjalanan bangsa ke depan. Dan sepakat untuk membentuk pemerintahan dengan sistemnya.

Lahirlah UUD 1945 sebagai arah haluan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mengikat seluruh komponen isi. Isi yang paling pokok adalah terselenggaranya pemerintah oleh kekuasaan, untuk mengatur masyarakat dan mengelola sumber daya alam (wilayah).

Dengan demikian, tujuan negara Indonesia dirumuskan berlandaskan nilai-nilai konstitusi termasuk Pancasila serta mengarah pada segi nasional dan internasional. Tujuan negara dibuat tidak hanya untuk mencari kekuasaan semata, tetapi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan seluruh masyarakatnya.

Menurut pendapat Maleha Soemarsono: “Negara Hukum Indonesia Ditinjau dari Teori Tujuan Negara” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, tujuan bernegara Indonesia, yaitu;

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Merupakan tujuan negara untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia yang heterogen, mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, dan ras.

2) Memajukan kesejahteraan umum. Memiliki arti mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik dari sisi ekonomi maupun spiritual. Kesejahteraan yang sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa akan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Dalam hal usaha mencapai kesejahteraan ekonomi harus berdasarkan pada nilai Pancasila, yaitu keadilan sosial.

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan dalam hal mencerdaskan ini menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia yang dipercayakan kepada negara. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi bangsa yang sadar bernegara dan memiliki kesadaran hukum yang baik.

4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dengan landasan di atas, cukup jelas bahwa negara bertanggungjawab akan kelangsungan kehidupan seluruh isi di dalamnya. Sebaliknya, masyarakat juga berkewajiban bersama negara berperan aktif melaksanakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan arah yang dijalankan oleh pemerintahan atau kekuasaan yang sah.

Konteks Kekinian

Saat ini, Indonesia sejak proklamasi telah berumur 77 tahun, sejak era Majapahit 1500 an telah berjalan selama 522 tahun, sejak Medang Mataram tahun 1.000 an sudah berumur 1022 tahun. Sungguh perjalanan bangsa yang panjang dengan segenap pelajaran yang didapat di setiap perjalanannya.

Dari masa kemerdekaan, telah merasakan era revolusi Indonesia, orde lama, orde baru, dan kini era reformasi yang sudah berlangsung 24 tahun sejak tahun 1998.

Reformasi diharapkan sebagai masa perbaikan dari era Orba, era Orba sebagai pembaharuan Orla. Orla berangkat dari semangat pergerakan ingin merdeka. Dari semangat pergerakan kemerdekaan didasari dari suasana kebodohan, kemelaratan dan keterbelengguan akibat pemerintahan kolonial. Begitu seterusnya genealogi sejarah bangsa Indonesia berlangsung.

Pertanyaannya? sudahkah kini cita-cita tujuan bernegara di atas apakah sudah tercapai menurut konstitusi. Apakah Indonesia saat ini sudah mencapai titik yang ideal sebagai sebuah bangsa dalam konteks sebagai negara Indonesia.

Jawabannya, jauh dari tercapai! buktinya, bangsa ini harus kembali merumuskan kembali sistem bernegaranya melalui Pemilihan Umum Serentak tahun 2024 sebagai sistem baru. Artinya? sistem yang selama ini berjalan mengandung arti tidak berjalan sebagaimana mestinya. Atau ditafsirkan, memang sengaja bangsa ini dijebak dalam urusan administratif birokratif yang terus merongrong keberadaan konstitusi untuk terus dirubah atau di amandemen dengan alasan dinamika yang berkembang.

Di lain sisi, selama itu perjalanan bangsa dengan pengalamannya di setiap masa, mengapa tidak seperti kebanyakan bangsa/negara maju lainnya yang mampu menjadi negara yang produktif, atau paling tidak menjadi negara yang masyarakatnya hidup dalam keadaan yang mapan dan makmur.

Mengapa? justru Indonesia yang kaya dengan potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia dengan demografinya yang besar, hingga saat ini masih berlangsung atraksi-atraksi krisis multidimensi.

Hampir di pelbagai bidang, masih terasa banyak problem yang belum terselesaikan, yang seharusnya itu sudah selesai sejak puluhan tahun yang lalu. Problem politik, problem sosial, problem ekonomi, dan problem lainnya yang saat ini masih berlangsung.

Melihat fakta kekinian saat ini, seolah-olah sangat bias dirasakan rakyat mengenai tujuan yang sebenarnya bernegara.

Bila melihat perbandingan dengan negara-negara maju lainnya di dunia, kurang apa modal Indonesia untuk menjadi negara yang unggul, atau paling tidak sejajar dengan bangsa Eropa. Yang mana, mereka justru tidak mempunyai modal untuk berpotensi menjadi negara maju.

Urusan hajat hidup rakyat yang paling pokok pun masih terus bermasalah. Bangsa ini belum ideal untuk urusan pangan. Masih di bawah standart rata-rata dunia untuk urusan pangan yang berkualitas.

Urusan pendidikan, bahkan saat ini perguruan tinggi dengan badan hukumnya, telah berhaluan bisnis. Bahkan di banyak sektor pendidikan telah terjadi komersialisasi pendidikan. Sektor pendidikan tak mampu berperan sebagai lembaga penyumbang intelektual negara dan riset, namun justru larut dalam paradigma global yang tidak jelas.

Urusan kesehatan apalagi! seharusnya, kesehatan adalah akses yang paling prioritas dan sederhana yang difikirkan negara untuk rakyat, karena termasuk pemenuhan dasar bagi rakyatnya. Namun, akhirnya, harus ditempuh dengan pemaksaan iuran kesehatan. Tidak masalah bagi si kaya, bagaimana dengan si miskin? dan selalu berdalih dengan penerbitan kartu sebagai solusi. Bahkan, diperhadapkan kepada rakyatnya sendiri untuk bergaining aneka akses administrasi.

Komponen di atas hanyalah hak yang paling dasar yang harus diterima oleh setiap warga negara, tetapi mengapa? akses tersebut begitu kaku. Padahal, disitulah indeks pembangunan manusia Indonesia di ukur. Bila laporannya selalu dalam level yang terpenuhi atau dengan standar kelayakan, praktiknya jauh panggang dari api.

Bagaimana urusan yang lain? sedangkan kita lupa, jangan-jangan cadangan sumber daya alam (energi) sudah habis atau tergadaikan.

(bersambung halaman 2)

IPM dalam Hak Hidup, Amanat Konstitusi dan Distribusi Keadilan
Geopolitik Negara dan Sumber Daya (1)
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme
11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)
Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah (1)
Arah Gula Nasional, dari Raja Gula, Swasembada dan Impor
Transformasi Pertanian Subsisten Menuju Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri

Terkait

Terkini