Ibu Kota Nusantara, Ibu Kota Baru Indonesia (2)
Negara tersebut ber-Ibu kota di kota Bhinneka Raya, yang berada di salah satu wilayah pulaunya, yaitu Borneo Island
Nusantarapedia.net — Ibu Kota Nusantara, Ibu Kota Baru Indonesia
“Nah, nama kota Nusantara sebagai IKN lebih pas dengan kata “Bhineka Raya,” yang mana jelas-jelas mewadahi entitas kultural Nusantara yang majemuk. Bukan merangkumnya menjadi sebuah definisi kota.”
Pengertian Nusantara
Minim bukti bahwa nama Nusantara menunjuk tempat yang spesifik, kata Nusantara sangatlah abstrak. Nusantara adalah sebuah nama penyebutan untuk mendefinisikan sebuah pulau-pulau kecil yang terletak di kawasan Asia Tenggara.
Jadi, Nusantara dalam peta dunia terletak di timur-selatan, dan lebih spesifik lagi terletak di tenggara. Akan tetapi, memang kawasan terbesar dari Nusantara adalah wilayah Indonesia berdasarkan batas-batas negara, seperti pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara saat ini.
Nusa berarti pulau dan antara berarti jarak, adalah sebuah pulau-pulau yang dibatasi oleh wilayah perairan, disebut sebagai Nusantara.
Pada saat Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, menyebutkan nama-nama daerah yang akan disatukan sebagai wilayah atau kawasan Nusantara, yaitu; Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik.
Daerah bernama Pahang adalah Malaysia, Tumasik adalah Singapura, dengan demikian kawasan Nusantara yang dimaksud adalah wilayah Asia Tenggara.
Muncul pertanyaan, mengapa Belanda memberikan nama Hindia Belanda menjadi Indonesia, karena memang kata Nusantara adalah nama kawasan, yang mana tidak pernah ada nama Nusantara yang dipakai sebagai nama kerajaan, hingga istilah tersebut kurang populer.
Trendingnya istilah Nusantara terjadi pada era modern karena faktor romantisme kesejarahan entitas Nusantara yang memang luar biasa hebat dalam percaturan geo-strategi dunia.
Hal tersebut seperti kehebatan pada suatu entitas Nusantara yang hebat akan budaya kemaritiman, hingga lahir penyebutan “Nenek Moyangku Seorang Pelaut.”
Penempatan Kata Nusantara Sesuai Konteks
Dengan dasar diatas, faktanya memang Indonesia mendiami kawasan terbesar di Nusantara. Penamaan kota Nusantara pada IKN yang baru, dimaksudkan sebagai landasan spirit untuk mengulang kejayaan bangsa-bangsa yang pernah berjaya pada eranya. Itu sah-sah saja.
Namun kiranya, Nusantara sebagai suatu kawasan milik bersama yang heterogen dari aspek sosiologisnya, tidak bisa disempitkan maknanya sebagai suatu miniatur kota. Nusantara harus berarti sebagai sebuah entitas kebudayaan dan kawasan yang raya.
Maka, lebih tepatnya nama Nusantara menjadi kontekstual sebagai nama kawasan dan entitas besar, yaitu Indonesia.
Usulan saya kiranya demikian ;
Viranegari Nusantara-Jaya Bangsa Jaya Nagara, adalah sebuah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, berada dikawasan Asia Tenggara yang dahulu disebut sebagai kawasan Nusantara.
Negara tersebut ber-Ibu kota di kota Bhinneka Raya, yang berada di salah satu wilayah pulaunya, yaitu Borneo Island.
Nah, nama kota Nusantara sebagai IKN lebih pas dengan kata “Bhineka Raya,” yang mana jelas-jelas mewadahi entitas kultural Nusantara yang majemuk. Bukan merangkumnya menjadi sebuah definisi kota.
Urgensi pemindahan IKN dari Jakarta ke Penajam
Bagaimana hubungan kota metropolitan Nusantara dengan geo-politik dan geo-strategi poros maritim?
Sumatra punya semenanjung Malaka, Jawa punya pesisir utara, Sulawesi dan kebudayaan Maluku punya Makassar dan laut Banda, begitu juga perairan di utara NTT-NTB hingga Papua, dan Kalimantan punya pesisir selatan seperti Penajam.
Konsep poros maritim ala pemerintah maksudnya baik, mengembalikan kembali kejayaan kemaritiman Nusantara, disitulah sebagai jalur perdagangan Nusantara yang terhubung dengan jalur pelayaran perdagangan dunia.
Poros maritim yang dimaksud sebagai bagian penting dari kesiapan infrastruktur, tentu harus disambut dengan produktivitas barang dan jasa yang ada di pulau-pulau. Tak lain bertujuan untuk kepentingan dalam negeri dan ekspor.
Pada tujuan intinya Indonesia berjaya akan produktivitas disemua bidang melalui infrastruktur kebaharian untuk dunia.
Nah, dengan demikian, kiranya tidak perlu menciptakan sebuah kota yang mengandung “Gigantisme,” seperti konsep kota Nusantara. Lantas gigantik yang manakah itu? 501 triliun adalah besar, tidak mengandung urgensitas dalam rangka pemenuhan amanat konstitusi.
Tujuan menjadi macan dunia yang dimaksud cukup memaksimalkan poros maritim yang ada dengan memaksimalkan potensi pelabuhan dan tentunya daerah-daerah yang produktif.
Pembukaan industri kerakyatan maupun korporasi yang berdaulat, berada di daerah sekitar pelabuhan di pulau-pulau se-Indonesia, itu sudah cukup membuat ketar ketir hegemoni barat seperti Amerika dan Cina.
Kembali pada road map awal pemindahan IKN dari Jakarta ke Penajam, bahwa seyogyanya Jakarta harus dibenahi sebagai ibukota, bukan dipindah, karena konsekuensi dari pemindahan tersebut akan membutuhkan adaptasi di semua bidang yang tidak mudah, membutuhkan waktu yang lama dan tingkat keberhasilan sesuai perencanaan yang rawan meleset atas situasi dan kondisi yang tidak stabil.
Atau memang pemindahan itu bukan sebagai jawaban persoalan. Berarti nawaitunya tetap menciptakan kota baru yg tidak ada koherensi dengan pemindahan IKN/Jakarta, itu terbukti dengan akan membuat kota baru yang spektakuler.
Bila masalahnya ada pada kebutuhan pemerintahan yang sudah cukup terganggu dengan kebisingan kota Jakarta, setuju IKN dipindah, namun justru hanya memindahkan kantor-kantor yang vital saja. Alasannya, pembiayaan tidak terlalu dipaksakan dengan anggaran yang besar.
Biarlah kantor maupun pusat pemerintahan tetap “sepi,” asalkan fasilitas terpenuhi dan aman dalam tinjauan SWOT dan privacy kenegaraan.
Dari sisi anggaran, pemindahan IKN yang awalnya ditarget sebesar 466 triliun, naik menjadi 501 triliun. Skema pembiayaan diatur melalui Menteri Keuangan, perinciannya sebagai berikut menurut rilis pemerintah pada April 2021, yaitu; (1) APBN porsinya 19,2% atau Rp.89,472 triliun. (2) Swasta dengan porsi 26,2%, Rp.122,092 triliun. (3) KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) porsinya 54,6%, atau sebesar Rp. 254,436 triliun.
Memang, negara/pemerintah punya keleluasaan dalam pembiayaan apapun manakala APBN tidak mampu membiayai (creative financing). Seperti, sistem pembiayaan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk dalam skema KPBU.
Disitulah muncul pembiayaan melalui Penanaman Modal Asing, termasuk sistem Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA), dan masih ada lagi model pembiasaan yang lain.
Yang dikawatirkan adalah, ketika pembiayaan IKN didapatkan dari modal asing, apakah itu tidak berpengaruh pada kebijakan negara, apakah tidak menjadikan jerat sistem yang akhirnya menjadi tidak berdaulat dalam keputusan strategis.
Kesimpulannya, narasi pemindahan IKN maupun menciptakan IKN baru tidak mengandung urgensi, 501 triliun lebih baik untuk mendorong kembali program poros maritim. Dan, mengingat beban APBN saat ini yang berat, terkuras akibat covid-19 juga menghadapi Pemilu serentak 2024.
Kalau bisa? jangan sampai kota Nusantara ngontrak! terlebih menyangkut marwah lembaga tinggi negara juga sebagai simbol negara.
Selesai
Daftar Bacaan ;
(1) Opini Joko Koentono, Facebook
IPM dalam Hak Hidup, Amanat Konstitusi dan Distribusi Keadilan
Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme