KPK Tangkap Bupati, Pertanda Fungsi Kontrol LSM “Impoten”
- Menonton berita yang mengabarkan penangkapan Bupati Bangkalan, orang nomor satu di tanah kelahiran. Dalam perasaan, terasa ada sesuatu yang menghantam kepalaku -

Nusantarapedia.net, Netizen | Artikel — KPK Tangkap Bupati, Pertanda Fungsi Kontrol LSM “Impoten”
Oleh: Muhammad Imron Taher
Editor: Hasan Hasir
“Gagal memberikan kontrol menjadi pertanyaan buat seluruh aktivis di Bangkalan–apakah benar aktivis hadir untuk menjadi bagian kontrol sosial atau hanya sekedar ‘me-rammeh’,”
JARAK antara Surabaya dan Bangkalan hanya sepelemparan lembing. (Eits.., jangan protes dulu. Yang lempar anaknya Gatot Kaca). Sejak dibangun Jembatan Suramadu, akes Surabaya-Bangkalan (Madura) menjadi lebih singkat. Biaya aktivitas niaga menjadi lebih hemat. Meminjam bacotnya ekonom, lebih efisen. Begitulah kira-kira.
Bangkalan sebagai tetangga terdekat Kota Surabaya, daripada tiga Kabupaten lainnya di Madura. Seharusnya Bangkalan juga ketularan laju perkembangan pembangunan.
Meski sudah berpuluh tahun silam jembatan penghubung difungsikan. Tapi akses penyeberangan di atas laut itu belum memberikan dampak positf terhadap perkembangan ekonomi masyarakat Madura.
Sepanjang jalur ujung pulau Madura, pembangunan infrastruktur masih belum tampak akselerasinya. Keadaan masih menunjukkan jalan santai. Persiapan infrastruktur merupakan komponen vital yang sangat dibutuhkan untuk menyokong Madura memacu gerakan ekonominya, sebagai penyangga ekonomi wilayah Jawa Timur (Jatim), seperti dari penyangga dari kota-kota lainnya di Jatim.
Masyarakat atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum siap atau pemimpinnya yang tak punya kapasitas dan kapabilitas ataukah mamang ada yang sengaja melakukan pembiaran seperti itu?
BPWS (Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura) yang dipercayai pusat untuk membantu memikirkan–merancang pembangunan Madura, paska diresmikan jalur penghubung Jembatan Suramadu. Ternyata, terlihat tak berdaya.
Menonton berita yang mengabarkan penangkapan Bupati Bangkalan, orang nomor satu di tanah kelahiran. Dalam perasaan, terasa ada sesuatu yang menghantam kepalaku. Semula tak percaya dengan kenyataan yang dikabarkan itu. Tapi indera tak sanggup menolak, memang seperti itulah faktanya.
Perasaan sedih menyelimuti dinding rawan dalam hati. Tak tega melihat bupati harus berperkara dengan institusi antirasuah. Terlepas perkara yang disangkakan. Bupati tetap bapak dari masyarakat Bangkalan, dan saya merasa sebagai bagian dari kegagalan dalam masyarakat yang gagal dalam andil pengawasan.
Seharusnya kasus itu tak perlu terjadi, bila masyarakatnya secara bersama-sama ikut berperan aktif memberikan pengawasan. Keseriusan memberi pengawasan tentu sejak awal akan bisa menghalau dari kemungkinan praktik nakal yang melawan hukum.
Gagal memberikan kontrol menjadi pertanyaan buat seluruh aktivis di Bangkalan–apakah benar aktivis hadir untuk menjadi bagian kontrol sosial atau hanya sekedar “me-rammeh,” (penyemarak, bahasa Indonesia) atau hanya nyari “pes–tepes,” (pameo untuk menyebutkan istilah terima uang amplop).
Dua kali KPK menangkap kepala pemerintahan dari kota berjuluk Kota Shalawat dan Dzikir. Sejarah berulang, hanya pelakunya berbeda. Apakah yang terjadi itu lantaran luput menaruh ungkapan Shalawat dan Dzikir sebagai penghias kota, daripada seharusnya menjadi lentera penerang hasrat hati dan suluh jalan berpikir. Entahlah, mungkin untuk menerima jawabannya, perlu melakukan tirakat yang ketat dan perenungan yang dalam.
Sebagian orang hanya bisa menjadi pencatat sejarah, tanpa mampu mengubah jalan ceritanya. KPK datang kembali di Bangkalan, dan pergi dengan membawa lima petinggi penting.
Seharusnya semua pihak merasakan kesedihan. Meratapi gagalnya peran fungsi LSM, sebagai elemen kontrol dalam sosial. Bagaimana tidak, Bangkalan bukan hanya kota salak, bukan hanya kota santri. Tapi Bangkalan juga menjadi kota LSM.