Kridaning Ati Ora Bisa Mbedah Kuthaning Pesthi (Menuju Indonesia ‘Ngerti’)
Ingat, eling lan waspada, bahwa kehidupan ini terus berjalan, asa sebagai manusia dan atas nama bangsa dan negara juga harus terus ditumbuhkan. Namun, kita harus selalu sadar, bahwa ini adalah ikhtiar, selebihnya ketetapan itu ada pada-Nya
Nusantarapedia.net | JURNAL, RELIGI — Kridaning Ati Ora Bisa Mbedah Kuthaning Pesthi (Menuju Indonesia ‘Ngerti’)
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
“Lantas bila ketetapan itu milik-Nya, mengapa kita harus repot, kita berserah diri saja terus.”
SEKUAT apapun manusia (kita) berusaha, namun tak ada yang mampu melawan (benteng kota) ketetapan/takdir (kridaning ati ora bisa mbedah kuthaning pesthi).
Hal kematian (pesthi), perjodohan (jodo), jabatan (wahyu), kehormatan (kodrat), dan kekayaan (bandha) itu sudah digariskan.
Tugas manusia (kita) adalah menjalankan perintahNya dengan usaha-usaha sewajarnya, selebihnya (hasilnya) yang itu merupakan kemauan kita, hendaknya diserahkan kepada Tuhan (kawula mung saderma, mobah mosik kersaning Hyang Sukma).
Apapun hasil dari ikhtiar manusia (kita) untuk mencapai cita-cita tersebut, kita harus menerimanya dengan sabar, penuh kesadaran. Ekspektasi yang berlebihan dengan tidak diikuti sumber daya yang realistis, terkadang membawa kita pada kekecewaan, bahkan dirasa sebagai penderitaan hidup. Itu, karena tidak ditempatkan dalam keadaan yang ikhlas, atas ambisi nafsu dan keserakahan yang mendominasi.
Maka dari itu, terkait dengan kekayaan, manusia (kita) selalu ingin menjadi yang paling kaya, namun kekayaan tersebut sering dibawa dalam keadaan yang tidak syukur, selalu kurang dan kurang, lupa hingga merebut hak orang lain hingga menyerobot hak alam. Kekayaan yang dipunyai dari hasil usaha dan target-target tertentu, harusnya dipandang sebagai kebutuhan yang secukupnya saja (sing wis ana sukurana).
Bila itu terkait dengan harapan-harapan tertentu, kita boleh menunggunya (yen durung teka entenana), asalkan menunggu sesuatu hal yang itu mengandung kebaikan, keotentikan manusia, seperti menunggu (mencari) jodoh, menunggu datangnya buah hati.
Dalam perjalanan hidup manusia, tentu kita telah jatuh bangun dibawanya, namun lupakan (kegagalan/kepahitan) itu, kita harus selalu fokus ke depan, tidak boleh menengok ke belakang, kecuali sebagai refleksi. Bila ditinggal pergi orang yang dicintai, seperti diputus cinta dan silaturahminya oleh suami, istri, teman, dan lainnya, atau pernah mengalami hal buruk, tidak boleh larut dalam kesedihan dengan terus mengenangnya. Kita harus bisa melupakan (yen wis lunga lalekna). Move on!
Begitu juga, bila orang yang kita cintai meninggal dunia, atau harta kita habis ludes, juga jabatan kita berakhir, sesuatunya yang telah putus atau hilang, maka kewajiban kita adalah mengikhlaskan (yen ilang ikhlasna).
Nah, pada akhirnya, mau tidak mau, idealnya manusia (kita) harus punya target untuk menjadi lebih baik. Mampu mengasah kecerdasan pikirnya (mbangun landheping pikir), hingga bisa menempatkan dan meletakkan kelima angan-angan (cita-cita) tersebut secara ideal, sesuai ukuran, dengan budi pekerti.