Kronik Kali Opak, dalam Romantisme, Manajemen Air dan Gempa (2)

Sejak abad ke 16 makanan Rempeyek sudah hadir pada kebudayaan Mataraman, berdasarkan catatan yang ditulis oleh De Graaf dalam tulisannya yang berjudul Mataram Islam

27 Februari 2022, 00:23 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah — Kronik Kali Opak, dalam Romantisme, Manajemen Air dan Gempa

“Catatan yang dipercayai benar-benar meletus perang antar keduanya terjadi pada tahun 1582, penyebabnya karena Sutawijaya membela adik iparnya, yakni Tumenggung Mayang yang dihukum buang ke Semarang oleh sang Prabu Hadiwijaya. Perang tersebut dimenangkan pihak Mataram.”

Kali Opak era Pajang — Mataram Islam

Prabu Hadiwijaya memberikan tanah perdikan Bumi Pati kepada Ki Penjawi tahun 1549. Sedangkan Ki Pemanahan baru mendapatkan Bumi Mataram tahun 1556. Keduanya mendapatkan hadiah atas penumpasan pemberontakan Arya Penangsang.

Tahun 1575 Ki Pemanahan meninggal, di lanjutkan putranya Danang Sutawijaya yang juga putra angkat dari Prabu Hadiwijaya.

Mataram berkembang menjadi besar di bawah kepemimpinan Sutawijaya. Di bawah kepemimpinannya Sutawijaya terus memberikan pengaruhnya kepada daerah-daerah milik kekuasaan Pajang agar membelot dan menjadi bagian dari Mataram.

Sejak saat itu, Danang Sutawijaya enggan melaporkan keadaan Mataram ke Pajang, bahkan Sutawijaya membangun Mataram dengan membentuk prajurit-prajurit, istana keraton dan banyak infrastruktur, terutama untuk menunjang kebutuhan angkatan perang.

Keistimewaan dan kebebasan Mataram yang diberikan oleh Pajang mampu dimanfaatkan oleh Sutawijaya, dan bersiap untuk menggantikan hegemoni Pajang menjadi Mataram.

Tahun demi tahun berlalu, Mataram semakin kuat, meski statusnya hanya kadipaten di bawah Pajang. Serangkaian konfrontasi dan ketegangan terus terjadi antar keduanya.

Meski tidak ditemukan catatan yang jelas dan akurat mengenai perang antar keduanya, banyak yang meyakini bahwa Mataram ingin melepaskan diri dari Pajang, bahkan memberontak dan mengkudeta benar adanya.

Catatan yang dipercayai benar-benar meletus perang antar keduanya terjadi pada tahun 1582, penyebabnya karena Sutawijaya membela adik iparnya, yakni Tumenggung Mayang yang dihukum buang ke Semarang oleh sang Prabu Hadiwijaya. Perang tersebut dimenangkan pihak Mataram.

Serangkaian perang keduanya telah meletus dari tahun 1575 hingga 1582. Ada kisah yang menarik ketika Pajang mengalami kekalahan dan harus mundur dari penyerangannya ke Mataram akibat meletusnya gunung Merapi.

Kala itu, Pajang geram dengan sikap Mataram yang ingin melepaskan diri. Ribuan pasukan Pajang berangkat ke Mataram untuk berinisiatif melakukan penyerbuan. Dan Mataram pun bersiap untuk menghadapi.

Pasukan keduanya bertemu di Kali Opak. Pajang berada di sebelah Timur Sungai, sedangkan Mataram di sebelah Barat Sungai.

Kekuatan keduanya tidak imbang, Pajang jauh lebih besar dan kuat, tidak ada sumber daya yang membuat Mataram bakal menang. Merupakan pertempuran antara bapak dan anak, pemerintah pusat melawan daerah. Hadiwijaya melawan Sutawijaya.

Pasukan Mataram membunyikan tambur dan bende untuk mengobarkan semangat tempur. Bende Kyai Bicak sebagai pusaka Mataram dibunyikan, apabila terdengar nyaring maka Mataram akan memenangkan pertempuran dan sebaliknya.

Mataram terus menggelorakan semangatnya, kekuatan penguasa alam ikut diberdayakan untuk membantu pertempuran. Penguasa laut Selatan dan Gunung Merapi dilibatkan secara spiritual guna menangnya Mataram.

Ketika situasi semakin memanas dan selangkah lagi kontak fisik dimulai, tiba-tiba Gunung Merapi meletus. Aliran lava menerjang Kali Opak, material piroklastik terbawa angin menyebar ke berbagai penjuru. Seketika langit menjadi gelap, suasana mencekam dan suara gemuruh dari letusan Merapi tiada hentinya berbunyi.

Akhirnya, pasukan Pajang mundur dan kembali lagi ke Pajang. Atas peristiwa tersebut opini menjadi mengemuka diseluruh daerah bawahan Pajang, bahwa Pajang telah jatuh ke tangan Mataram. Perlahan, Pajang runtuh adanya, Danang Sutawijaya mentahbiskan dirinya sebagai penguasa baru dengan gelar Panembahan Senapati Ing Alaga.

Kali Opak dan Rempeyek

Sejak abad ke 16 makanan Rempeyek sudah hadir pada kebudayaan Mataraman, berdasarkan catatan yang ditulis oleh De Graaf dalam tulisannya yang berjudul Mataram Islam.

Bermula dari perjalanan Ki Ageng Pamanahan bersama dengan rombongan untuk melakukan Bedhol Desa yang diperintahkan oleh Sultan Hadiwidjaya.

Sebelumnya, Ki Ageng Pemanahan mendapatkan hadiah tanah perdikan di Bumi Mataram tepatnya di hutan Mentaok. Danang Sutawijaya berhasil menumpas pemberontakan Arya Penangsang atas siasat ayahandanya. Hingga diberikannya tanah tersebut, akhirnya keluarga dan pengikut Bedhol Desa (pindah) ke Mataram.

Peristiwa ini melegenda dalam cerita Babad Alas Mentaok, juga di singgung dalam naskah Babad Tanah Jawi.

Kala itu rombongan harus menempuh jarak dari wilayah Pajang (Makamhaji, Surakarta) menuju Alas Mentaok (Pasar Legi Kota Gede, Yogyakarta) yang berjarak lebih dari 70 km.

Di ujung perjalanannya, rombongan dijemput oleh Ki Gede Karanglo, saat itu rombongan bertemu di pinggir sungai opak.

Para rombongan melihat lihat kali Opak sembari menikmati pemandangan yang berlatar candi Prambanan. Perjalanan yang sangat jauh menjadikan gerah, rombongan diperintahkan untuk beristirahat dan bersih-bersih di sungai tersebut sambil mandi.
Dengan begitu bisa melepas lelah dan membersihkan diri untuk menghilangkan penat.

Sesampainya para rombongan di kediaman Ki Gede Karanglo mereka dipersilahkan untuk beristirahat dan disajikan makanan. Saat itu menu yang disajikan adalah nasi putih, sayur pecel, peyek, dan sayur kenikir.

Untuk pertama kalinya, rempeyek dianggap sebagai makanan yang mudah untuk dibuat dan memberikan rasa asin di tengah-tengah makanan hambar seperti nasi dan sayur saja. Sejak saat itu para masyarakat Jawa bisa mengenal rempeyek dan bisa membuatnya.

Kali Opak Batas Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta

Setelah Mataram Kartosuro runtuh akibat gaduh berkepanjangan, maka pusat kerajaan di pindah dari Kartosuro ke Kedung Lumbu, Desa Sala, selanjutnya menjadi nama Surakarta.

Peristiwa ini disebut sebagai Bedol Keraton Kartosuro saat pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II (1729-1749).

Ontran-ontran belum berakhir, adik sang Raja yaitu; Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said terus melakukan perlawanan kepada pihak VOC atas tujuan satunya kembali supremasi Mataram yang utuh. Sementara sang Raja (PB II) dianggap pro pada VOC.

Hal tersebut membuat pusing pihak VOC, dan tidak mau terus merugi finansialnya akibat perang yang berkepanjangan. Akhirnya, VOC mengajukan damai dan didapatkan kesepakatan antara VOC, PB II dan Pangeran Mangkubumi.

Kesepakatan damai tersebut tertuang dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang isinya; membagi Mataram Surakarta menjadi dua bagian dengan berdirinya kerajaan baru Kasultanan Yogyakarta.

Pembagian wilayah tersebut disebutkan, bahwa wilayah Kasunanan mendapatkan wilayah di sebelah Timur Kali Opak, sedangkan Kasultanan Yogyakarta di sebelah Barat kali opak.

Dengan demikian, Kali Opak menjadi batas alami wilayah perbatasan dua kerajaan kembar Surakarta dan Yogyakarta, Timur dan Barat kali Opak.

Sabda Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga pernah bersabda “wilayah Mataram bisa makmur jika Kali Progo dan Kali Opak bersatu”.

Sabda tersebut diyakini oleh masyarakat Mataraman hingga menginspirasi Sultan Hamengku Buwono IX dengan idenya membangun Selokan Mataram.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan cerdas-cerdik dan bijaksana berhasil menyelamatkan warga Yogyakarta dari kekejaman kerja paksa Romusha Jepang.

Sang Raja mengusulkan kepada Jepang agar warganya diperintahkan untuk membangun selokan saluran air yang menghubungkan Sungai Progo di bagian Barat dan Sungai Opak di Timur yang mengapit kota Yogyakarta. Alasannya, agar pertanian menjadi maksimal. Fungsi selokan untuk sarpras irigasi pertanian. Harapannya dapat menghasilkan pangan atau padi yang dapat memasok kebutuhan pangan Tentara Jepang. Pihak Jepang pun menyetujui usulan Sultan.

Atas siasat tersebut, masyarakat Yogyakarta terbebas dari kerja paksa pemerintahan Jepang, sekaligus keberadaan Selokan Mataram dapat digunakan seterusnya untuk irigasi pertanian, menjadikan rakyat Yogyakarta makmur.

Atas banyak kronik di atas, saatnya kita merekonstrusi pikiran kita agar menjadikan pemikiran yang fungsional. Kecepatan dan gairah pembangunan harus menjadikan konsep dan pelaksanaan dengan prinsip pembangunan kawasan berwawasan ekologi.

Tidak ada alasan pengerukan sungai-sungai untuk penambangan pasir dan batu yang tidak terkendali, tidak ada alasan membuang sampah dan limbah beracun pabrik ke sungai.

Semuanya harus dalam kesatuan pandang harmonisasi alam dan manusia dengan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana.

(diolah dari beberapa sumber)

Kronik Kali Opak, dalam Romantisme, Manajemen Air dan Gempa (1)
Candi Kedulan, 13 Kali Tertimbun Erupsi
Tsunami Alat Legitimasi, Ungkap Peristiwa berbasis Geo-Mitologi
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)
Candi Kalasan, Wujud Toleransi Masa Mataram Kuno

Terkait

Terkini