Kuasa Hukum Kapolres Nagekeo Menyerahkan Bantahan Resmi ke Kompolnas dan Divisi Propam Mabes Polri
Nusantarapedia.net, NTT — Kuasa hukum Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata, S.H., S.IK., Tobbyas Ndiwa, S.H., pada Selasa tanggal 16 Mei 2023 kemarin menyambangi Kompolnas dan Divisi Propam Mabes Polri guna menyerahkan bantahan secara resmi terhadap pengaduan yang disampaikan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) terhadap kliennya.
Ada pun salinan materi bantahan yang diterima Nusantarapedia.net dari Tobbyas Ndiwa, Rabu (17/05/2023). Dalam isi materi bantahan tersebut dijelaskan bahwa, selain keterangan yang disampaikan dari kliennya, Tobbyas juga menyerahkan barang bukti berupa hasil screen shoot percakapan Grup WhatsApp Nagekeo Berbicara, screen shoot percakapan Grup WhatsApp KH Destro, screen shoot pertemuan kesepakatan bersama pihak intelkam Polres Nagekeo dengan keluarga oknum penghadang mobil Kapolres, serta screen shoot judul berita kontroversi sebagai awal kegaduhan yang membuat masyarakat adat suku Nataia tersinggung.
Selain itu, terdapat 3 barang bukti lainnya yang ikut diserahkan ke Kompolnas dan Prompam Mabes Polri diantaranya, video utuh ihwal penancapan sangkur yang dilakukan oleh kliennya, video kesaksian sekaligus bantahan dari tokoh masyarakat adat Suku Kawa dan video klarifikasi sekaligus kecamatan oleh ketua Suku Nataia pasca permintaan maaf wartawan Tribun Flores Patrianus Meo Djawa.
“Dalam bantahan yang saya serahkan selain keterangan yang disampaikan dari klien, kami juga menyerahkan barang bukti berupa hasil screen shoot percakapan Grup WhatsApp Nagekeo Berbicara, screen shoot percakapan Grup WhatsApp KH Destro, screen shoot pertemuan kesepakatan bersama pihak intelkam Polres Nagekeo dengan keluarga oknum penghadang mobil Kapolres, serta screen shoot judul berita kontroversi sebagai awal kegaduhan yang membuat masyarakat adat suku Nataia tersinggung. Selain itu saya juga menyerahkan 3 bukti video utuh, diantaranya video peristiwa sangkur, video bantahan masyarakat adat suku Kawa, video klarifikasi dan kecaman ketua suku Nataia Patris Seo, pasca permintaan maaf jurnalis Tribun Flores Patrick Meo Djawa, serta video klarifikasi dan penegasan panitia pembangunan mushola di desa Nanganumba yang secara sepihak menyeret dan memfitnah klien kami” demikian kutipan asli salinan materi bantahan tersebut.
Dalam materi bantahan itu juga disebutkan dimana ada salah satu oknum tokoh dari Nagekeo di WhatsApp Group Nagekeo Bebas Bicara, secara vulgar melecehkan institusi Kepolisian dengan menyebar ujaran kebencian kepada polisi di Polres Nagekeo.
“Salah satu barang bukti yang diserahkan yaitu screen shoot dari ‘Grup WA Nagekeo Berani Berbicara,’ dimana ada oknum seorang tokoh yang jelas-jelas secara vulgar telah melecehkan institusi kepolisian dengan menyebar ujaran kebencian kepada institusi baju coklat tersebut. Karena narasi yang ia tulis dalam percakapan dalam komunikasi di WhatsApp grup dimaksud, direspon oleh beberapa orang untuk membenci polisi. Seharusnya sebut saja secara subyektif oknum siapa yang diduga melakukan perbuatan tercela. Perlu diingat Polisi itu simbol negara khusus dalam bidang hukum, sebagai salah satu instrumen catur wangsa penegakan hukum selain Jaksa, Hakim dan Advokat. Kasihan dong, bagi anggota polisi lain di seluruh Indonesia yang tidak tau, tak ada kaitan dengan peristiwa itu. Padahal beberapa orang yang aktif di dalam grup WA tersebut hanya sebagai pegiat sosmed dan sumbernya pun dari sosmed, lalu menyimpulkan dan menyudutkan klien kami dengan narasi-narasi membangun ujaran kebencian,” kata Tobbyas dalam tulisan materi bantahannya.
Menurut Tobbyas, setiap orang dalam menyampaikan pendapat di muka umum tak terkecuali di media, seharusnya mengedepankan prinsip kehati-hatian. Sebab, orang yang menjadi korban dari ujaran kebencian berupa penghinaan, pencemaran nama baik, bukan tidak bisa melaporkan hal tersebut ke kepolisian.
“Menurut saya, perlu hati-hati dalam kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum termasuk di media sosial. Selama kita bisa membuktikan itu tak menjadi soal. Apabila tuduhan kepada seseorang yang telah kita sampaikan di muka umum lalu tidak bisa dibuktikan secara hukum sesuai kwalitas barang bukti, itu bisa menjadi boomerang. Dalam KUHP, ujaran kebencian berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Pihak yang merasa menjadi korban bisa melaporkan hal tersebut ke kepolisian. Penyidik dapat menerapkan aturan dalam KUHP Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, maupun Pasal 311. Ancaman hukuman untuk orang yang menyebarkan ujaran kebencian yaitu paling lama empat tahun. Belum lagi ancaman Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 28 junto Pasal 45 ayat (2), bagi orang yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan menimbulkan rasa kebencian maupun permusuhan, juga dapat dipidana penjara paling lama enam tahun. Jadi jelas ancaman pidana tidak main-main,” tulis Tobbyas.