Kurban dalam Dua Versi (Mbah Wahab dan Mbah Bisri)

"Oh, begitu. Tidak masalah Mbah, jangankan satu kambing, dua kambing pun saya siap. Yang penting kami sekeluarga bisa naik sapi di akhirat nanti."

10 Juli 2022, 08:12 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Religi — Kurban dalam Dua Versi (Mbah Wahab dan Mbah Bisri)

“Orang tersebut kemudian pamit pulang dengan hati yang galau. Maka, setelah itu ia pun pergi ke rumah KH Wahab Hasbullah, seorang ahli ushul fikih yang pemikirannya terkenal longgar dan dinamis.”

KISAH dua tokoh NU legendaris ini, KH. Wahab Chasbullah (pengasuh Tambakberas) dan KH. Bisri Syamsuri (pengasuh Denanyar), Jombang, Jawa Timur.

Seperti ditulis oleh Nadirsyah Hosen dalam bukunya 𝘔𝘢𝘳𝘪 𝘉𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘐𝘮𝘢𝘯, bahwa konon ada seseorang yang menemui KH. Bisri Syansuri, seorang Kiai pakar fikih yang sangat ketat. Orang tersebut sowan ke Mbah Bisri, hendak bertanya soal kurban.

“Mbah, saya mau berkurban sapi tahun ini. Saya ingin sapi itu menjadi kendaraan saya di akhirat.”

“Oh, bagus. Sapi itu untuk 7 orang. Berapa jumlah keluargamu?”

“Tujuh orang dengan tambahan anak yang masih kecil. Total berjumlah delapan. Apakah seperti itu boleh?”

“Wah, tidak boleh. Sapi hanya untuk tujuh orang,” jawab Mbah Bisri dengan tegas.

Orang tersebut kemudian pamit pulang dengan hati yang galau. Maka, setelah itu ia pun pergi ke rumah KH Wahab Hasbullah, seorang ahli ushul fikih yang pemikirannya terkenal longgar dan dinamis.

Di hadapan Mbah Wahab, orang tersebut mengajukan persoalan yang sama, maka jawaban Mbah Wahab, “Oh, boleh. Hanya saja, karena anakmu yang terakhir itu masih kecil, harus ada tangga atau penopang, agar ia bisa menaiki sapi itu. Tangga atau penopangnya adalah seekor kambing. Jadi, kamu kurban satu sapi ditambah satu kambing untuk semua keluargamu.”

“Oh, begitu. Tidak masalah Mbah, jangankan satu kambing, dua kambing pun saya siap. Yang penting kami sekeluarga bisa naik sapi di akhirat nanti.”

Kisah tersebut terdengar lucu, tapi mengandung nilai kearifan. Baik Mbah Bisri maupun Mbah Wahab sebenarnya pendapatnya sama, bahwa kurban sapi hanya untuk 7 orang saja. Namun, keduanya menggunakan pendekatan yang berbeda.

Solusi Mbah Wahab membolehkan kurban sapi untuk delapan orang, tapi harus ditambah kambing, sebenarnya mengartikan bahwa sapi hanya boleh untuk 7 orang dan kambing tersebut sebenarnya merupakan kurban untuk anak kecil yang sudah tidak bisa terakomodir di dalam kurban sapi tersebut.

Jadi, anak kecil tersebut sebenarnya bukan kurban sapi, melainkan kambing. Tetapi, cara Mbah Wahab menyampaikannya melalui cara yang cerdik dan tampak jenaka, sehingga membuat tamunya bisa menerima dengan senang hati. Ini sekaligus juga menunjukkan, bahwa betapa Islam sangat menghargai perbedaan pendapat. (Hosen, 2011:95)


Semoga dari kisah tersebut, kita semua bisa mengambil hikmah, bahwa dalam memutuskan sesuatu jangan ‘saklek‘ istilah jawanya. Dilihat dulu bagaimana persoalannya dan kadang kita harus merubah sudut pandang kita. Semua bertujuan untuk mendapatkan hal yang lebih baik. Insya Allah. Semoga bermanfaat. (MundySae)

Wisata Religi ke Masjid Agung Demak

Puasa Sunah Tarwiyah dan Arafah (Sikapi Perbedaan Dengan Bijak)
Tips Menyimpan Daging Kurban agar Tahan Lama
Rukun, Syarat dan Tata Cara Penyembelihan Kurban
Kisah Nabi Ismail As

Terkait

Terkini