Kurikulum Merdeka, Penggegasan Liberalisasi Menuju Generasi “Ambyar”
- Tanpa konstruksi manusianya yang berhasil dibentuk dan dibangun menjadi manusia yang berkebudayaan -- ber-ilmu pengetahuan atau manusia (insan) Pancasilais ala bangunan Indonesia sendiri, niscaya pendidikan hanya menghasilkan manusia sebagai mesin-mesin baru kapitalisme, seperti mencetak buruh, buruh millenial dan buruh gen-z -
Nusantarapedia.net | OPINI, PENDIDIKAN — Kurikulum Merdeka, Penggegasan Liberalisasi Menuju Generasi “Ambyar” (Bagaimana Presiden 2024?)
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
– dihapuskannya UN — dihadirkannya Kurikulum Merdeka, diglorifikasikannya semangat digitalisasi, adalah sepaket menuju program “generasi ambyar”. Bagaimana pemerintah mempunyai indikator capaian penilaian kualitas siswa dan parameter keberhasilan penyelenggaraan pendidikan nasional, baik sekolahannya maupun siswa lulusannya –
– Kita lupa pula bahwa muatan kebebasan itu belum saatnya diterapkan di Indonesia disaat tujuan Indonesia belum tercapai. Lain halnya dengan negara yang sudah mapan dan maju, IPM-nya sudah tidak ada masalah, maka kurikulumnya mau dibuat seperti apa pondasinya sudah kuat. Lulusannya pun sudah menjadi lulusan yang terdidik, memenuhi aspek intelektual dan emosional-spiritual. Pendek kata, selain cerdas juga memenuhi nilai etik-moralitas versi mereka di negaranya –
FEBRUARI 2022 diluncurkannya Kurikulum Merdeka oleh pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, juga disebut Kurikulum Merdeka Belajar (KMB).
Hingga saat ini pelaksanaan kurikulum pendidikan di jenjang (satuan) pendidikan sekolah (SD, SMP, SMA atau sederajat) oleh pemerintah diberikan dua pilihan, yakni menggunakan kurikulum sebelumnya yaitu K-13 (2013) atau Kurikulum Merdeka, tergantung kesiapan masing-masing.
Semenjak republik ini berdiri, sedikitnya sudah 12 kali pergantian kurikulum, dimulai dari Kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984/CBSA, 1994, 2004, 2006, 2013, terakhir Kurikulum Merdeka. Tentu seribu argumentasi dengan dalih keberpihakan bentuk mandatory negara untuk mencerdaskan rakyatnya (outlook), di samping urgensitas kebutuhan menjawab dinamika yang berkembang. Terlebih pasca reformasi, pastinya semangat atas (propaganda) globalisasi, dan update-nya menuju era transformasi digitalisasi dengan finish tercapainya masyarakat pintar civil society 5.0, dalam konteks Indonesia adalah tercapainya “Indonesia Emas 2045”. Disitulah sistem pendidikan nasional itu diciptakan dan diselenggarakan sebagai peta jalan yang semestinya terarah (arah pendidikan nasional).
Pertanyaannya, apa output dan outcame-nya bila capaian itu adalah cita-cita Indonesia, ketika bangsa ini selaku subyek manusia — negara sebagai alat. Tentu pendidikan itu hak kodrati, bersama urusan pangan dan kesehatan, Tuhan pun menjaminnya dengan berkah sumber daya alam. Oleh karena itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia harus dihadirkan nyata oleh negara, sebagaimana amanat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat: Mencerdaskan kehidupan bangsa. Pun mandatory spending 20 persen anggaran pendidikan APBN menjadi keharusan.
Lantas, sejauh mana capaian itu, ketika 78 tahun negara ini berdiri. Ketika masih banyak anak sekolah yang stunting, kurang gizi, migor dan gas timbul tenggelam, beras larang, pun dengan indeks korupsi. Sebagai contoh; Malaysia merdeka baru 1957, tahun 1966 impor guru dari Indonesia, tetapi pendapatan per kapitanya 2022 USD11.971, kita USD4.788 menjadi 5.000 itupun proyeksi. Jepang tahun 1942 luluh lantak, kini berjaya dengan teknologi nuklir, robotik – AI (artificial intelegence), bahkan aneka kuda besi bermesin tumbuh subur di Indonesia, sedangkan kita ekspor tenaga kerja ke Jepang untuk menanam sayur. Padahal, refleksi dan proyeksi Jepang sebagai modal membangun kembali Jepang dari nol, hanya mengandalkan jumlah guru dan petani yang tersisa sebagai garda terdepan. “Kok nggak investasi saja, ya, dengan beragam skema pembiayaan, kan percepatan, dan lapangan pekerjaan terbuka?”.
Berarti, pendidikan itu untuk memanusiakan manusia adalah kunci, karena tekad mewujudkan cita-cita Indonesia dengan syarat menempatkan manusia sebagai landasan idiil pembangunan — membangun manusia seutuhnya. Ini bagian strategis dalam penyelenggaraan pembangunan nasional yang terencana dan terarah untuk kunci suksesnya Indonesia. Tanpa konstruksi manusianya yang berhasil dibentuk dan dibangun menjadi manusia yang berkebudayaan — ber-ilmu pengetahuan atau manusia (insan) Pancasilais ala bangunan Indonesia sendiri, niscaya pendidikan hanya menghasilkan manusia sebagai mesin-mesin baru kapitalisme, seperti mencetak buruh, buruh millenial dan buruh gen-z.
Mengapa demikian, ini tidak linier dengan frasa “merdeka” Ki Hajar Dewantara dengan Kurikulum Merdeka. Jika Ki Hajar Dewantara mendobrak sistem pendidikan Indonesia dengan menghadirkan sistem baru “Merdeka Belajar”, semangatnya adalah bagaimana pendidikan Indonesia bisa bebas dari pengaruh kolonial yang membelenggu, yang mana output pendidikan tak ubahnya dipersiapkan menjadi jongos untuk melayani keinginan tuannya. Tentu, modeling pendidikannya berkiblat pada agresor – dengan pola pemikiran barat. Bukan dalam pengertian pendidikan barat tidak baik, karena kesetaraan itu belum didapat. Barat sudah maju, sementara posisi Indonesia kala itu masih terbelenggu.
Lantas, frasa “Merdeka” saat ini dalam Kurikulum Merdeka, seolah-olah tepat sekali untuk menghantarkan siswa menuju kesuksesan, menjadi generasi penerus bangsa yang ideal, pun dikuatkan dengan program didalamnya berupa projek P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), diniscayai kurikulum ini benar-benar akan menghantarkan siswa menjadi manusia Indonesia yang unggul (hebat).