Legenda “Aprang Tandhing” Arya Penangsang vs Danang Sutawijaya di Bengawan Sore (1)
Atas rangkaian teror yang dilakukan Arya Penangsang kepada keturunan Sultan Trenggana, termasuk Ratu Kalinyamat, maka benar-benar kekuasaan atas Demak beserta sumber daya, budaya dan infrastruktur kerajaan Demak dipindahkan dari sisa-sisanya ke Pajang.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah, Legenda — Legenda “Aprang Tandhing” Arya Penangsang vs Danang Sutawijaya di Bengawan Sore
“Gonjang ganjing tersebut yang kemudian Joko Tingkir mendirikan dan sekaligus memindahkan Demak ke Pajang. Di bagian lain, Arya Penangsang dengan terus membangun kekuatan dan memobilisasi militernya dilakukan di Jipang Panolan, yang kemudian melakukan pemberontakan terhadap Pajang (Prabu Adiwijaya).”
Tersebutlah sebuah kerajaan di bekas wilayah kerajaan Medang i Mataram, terletak di sebelah barat sungai Bengawan Sore, bernama kerajaan Pajang. Letaknya yang tersembunyi, terkurung gunung Lawu, gunung Seribu dan gunung Merapi. Rajanya bernama Prabu Adiwijaya, raja yang kuat, gagah berani, arif dan bijaksana.
Prabu Adiwijaya mendirikan Pajang selepas runtuhnya kerajaan Demak Bintoro di pesisir utara Jawa. Demak terpecah menjadi tiga bagian, di sebelah barat milik Cirebon, di sebelah timur menjadi persekutuan kadipaten Brang Wetan (Surabaya), dan Pajang dengan daerah kekuasaan melingkupi klakah Mataram, (jawa bagian tengah).
Keruntuhan Demak tak lain karena perang saudara. Ayahanda Arya Penangsang, Pangeran Surowiyoto atau Raden Kikin, dibunuh oleh Sunan Prawata raja keempat Demak, anak dari raja ketiga Sultan Trenggana.
Atas peristiwa tersebut, menjadikan Arya Penangsang sakit hati. Arya terus-menerus mengajak berperang dengan siapapun dan terus menginginkan tahta Demak sebagai haknya. Yang mana seharusnya tahta Demak dari Raden Fatah ke Pangeran Surowiyoto seterusnya ke Arya Penangsang, namun menjadi dari Raden Fatah ke Pati Unus, lengser ke Sultan Trenggana seterusnya ke Sunan Prawata.
Namun kemudian, Sunan Prawata dibunuh oleh Arya Penangsang.
Hingga akhirnya status Arya Penangsang tetap diakui oleh pengikutnya sebagai raja kelima Demak, itu pun hanya di daerah kecil sekelas kadipaten bernama Jipang Panolan (Blora), dan ketika Demak sudah benar-benar bubar. Artinya, Arya Penangsang tidak benar-benar dinobatkan menjadi raja di kerajaan Demak.
Justru, tahta Demak dan kelanjutan kultural Demak jatuh dan dilanjutkan oleh orang lain dari prajuritnya sendiri (Demak), yakni Joko Tingkir. Peristiwa tersebut atas dorongan permintaan dari keturunan Sultan Trenggana, yakni Bupati atau petinggi Demak Ratu Kalinyamat di keraton Jepara.
Atas rangkaian teror yang dilakukan Arya Penangsang kepada keturunan Sultan Trenggana, termasuk Ratu Kalinyamat, maka benar-benar kekuasaan atas Demak beserta sumber daya, budaya dan infrastruktur kerajaan Demak dipindahkan dari sisa-sisanya ke Pajang.
Ratu Kalinyamat berfikir, bahwa yang bisa menandingi dan meredam teror pemberontakan Arya Penangsang hanyalah Joko Tingkir (Adiwijaya).
Gonjang ganjing tersebut yang kemudian Joko Tingkir mendirikan dan sekaligus memindahkan Demak ke Pajang. Di bagian lain, Arya Penangsang dengan terus membangun kekuatan dan memobilisasi militernya dilakukan di Jipang Panolan, yang kemudian melakukan pemberontakan terhadap Pajang (Prabu Adiwijaya).
Sebelumnya, pada masa-masa awal Joko Tingkir mendirikan dan memindahkan Demak, Joko Tingkir perlu melegitimasi dirinya agar secara spirit berdiri menjadi raja mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyatnya. Maka dari itu, penobatan Joko Tingkir menjadi raja dengan gelar Prabu Adiwijaya, dinobatkan dan dilantik oleh Sunan Mrapen (Prapen) di pesantren atau kedatuan Giri Kedathon (Gresik).
Namun, di tengah-tengah pelantikan tersebut, seluruh hadirin terbelalak, bahwa Sunan Mrapen dalam forum tersebut sempat meramalkan, bahwa tak kan lama lagi akan berdiri sebuah kerajaan besar, dengan raja besar atau ratu tanah Jawa yang masyur, berdiri di daerah Mataram. Dan, Pajang pun akan dikalahkan Mataram. Seluruh forum kaget, apakah mungkin, Mataram hanya sebuah desa kecil dengan hutan yang lebat, meskipun dahulu pernah ada kerajaan besar Medang i Mataram.
Setelah penobatan, Pajang benar-benar telah berdiri. Raja Prabu Adiwijaya memimpin Pajang dengan sangat baik, wilayahnya yang melingkupi klakah Mataram (Jawa Tengah) dikelolanya dengan maju dan tumbuh pesat sebagai kerajaan baru.
Prabu Adiwijaya membangun Pajang dengan serius, konsep ketatanegaraan dan tata pemerintahan khas pesisir utara Jawa sebagai daerah hegemoni Islam diterapkan, meskipun Adiwijaya juga menaruh harap akan kultural Majapahitan yang masyur, di samping mewarisi genetik ibunya yang berasal dari keturunan Majapahit.
Namun akhirnya, politik global Islam telah mendunia saat itu, seiring kekuasaan Turki Utsmani yang terus berekspansi ke seluruh benua, hingga Pajang pun entah secara langsung dan tidak ikut berporos kepada Utsmaniyah. Hingga kemudian, Pajang didefinisikan sebagai Kesultanan Pajang dengan rajanya Sultan Adiwijaya.
Selanjutnya, Prabu Adiwijaya dalam tata kelola pemerintahannya, mempunyai pembantu yang cerdas. Para menteri-menteri, senopati, pembantu-pembantu hingga prajuritnya dengan tingkat loyalitas dan kesetiaan yang tinggi terhadap raja. Pajang pun tumbuh dan berkembang dengan soliditas tinggi.
Banyak kebijakan Prabu Adiwijaya atas masukan dan konsep para senopatinya, yaitu: Ki Juru Martani, Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, selanjutnya mereka bertiga dijuluki sebagai tiga serangkai Mataram atau Three Musketeers of Mataram.
Dalam perkembangannya, Pajang berhasil menyatukan kembali wilayah persekutuan Brang Wetan (Jawa Timuran) kembali menjadi satu. Banyak cara dalam politik ekspansi Pajang, salah satunya dengan jalur diplomasi dan perkawinan.
Sebelumnya, Joko Tingkir semasa di Demak telah menikah dengan Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana. Dari pernikahan tersebut melahirkan anak laki-laki dan beberapa anak perempuan (putri). Anak laki-lakinya yang kemudian menjadi Bupati Jipang dan Raja ketiga Pajang yang hanya setahun bernama Pangeran Benowo.
Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya (ketua persekutuan Brang Wetan), putri lainnya dengan Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri Bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak raja Demak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang Arya Pangiri sebagai penerus garis suksesi Sultan Demak pada waktu itu.
Selanjutnya, Pajang terus tumbuh dalam suasana yang damai. Stabilitas politik relatif terkontrol dengan baik, hanya ada satu kekuatan yang terus menerus mengganggu stabilitas Pajang, tak lain adalah Arya Penangsang.
Dendam kesumat Arya Penangsang terus menggelora pada seluruh keturunan Sultan Trenggana. Arya terus menebar teror di Demak, Jepara dan sekitarnya, termasuk di Pajang yang dianggapnya sebagai (sekutu) penerus Sultan Trenggana.
Arya Penangsang melakukan serangkaian uji coba menyerang Prabu Adiwijaya, tetapi selalu gagal. Antara Adiwijaya dan Arya Penangsang adalah orang terampuh yang mempunyai ilmu kanuragan selevel.
Penyerangan Arya Penangsang ke Pajang semakin massiv, meski dapat dikendalikan, namun tetap menjadi ancaman yang serius buat Adiwijaya, terlebih telah mengancam stabilitas politik Pajang. Arya Penangsang terus memancing amarah Prabu Adiwijaya, mengajak berkonfrontasi dengan raja secara langsung, maupun aksi-aksi kegaduhan lainnya.
Atas pergerakan yang semakin membabi buta tersebut, kesabaran Adiwijaya sudah tidak tertahan lagi. Saatnya Arya Penangsang harus ditumpas, sebelum mobilisasi militer di Jipang Panolan semakin besar, meluas ke selatan dan barat daya dengan mencaplok wilayah kekuasaan Pajang dan mempengaruhi para pemuda.
Namun demikian, sikap Prabu Adiwijaya tidak gegabah. Hitungannya, perang frontal melawan Arya Penangsang (Jipang Panolan) tidak mudah, tentu akan banyak menguras potensi sumber daya Pajang.
Prabu Adiwijaya terus berfikir untuk meramu formulasi yang tepat dalam upaya menumpas pemberontakan Arya Penangsang. Hingga kemudian, strategi penumpasan Arya Penangsang didapatkan dan disiapkan dengan beberapa skenario, operasi, taktik dan strategi.
)* bersambung bagian 2
Legenda “Aprang Tandhing” Arya Penangsang vs Danang Sutawijaya di Bengawan Sore (2)
Joko Tingkir dalam Diskursus Sejarah, Tokoh Imajinatif hingga “Ngombe Dawet” (1)
Lagu “Joko Tingkir Ngombe Dhawet”, Simbol Semangat Kerja versus Pelecehan Sejarah
Politik Ekspansi Panembahan Senopati dan Susuhunan Hanyakrawati
10 Pemetaan Wilayah Kebudayaan Jawa Timur (1)
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)