Legenda “Aprang Tandhing” Arya Penangsang vs Danang Sutawijaya di Bengawan Sore (2)

Dengan segera, Sutawijaya memotong ekor kuda betina yang ditumpanginya. Seketika, kemaluan kuda betina terlihat dengan jelas, bahkan aromanya menebar ke segala arah angin.

5 Agustus 2022, 19:13 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sejarah, Legenda — Legenda “Aprang Tandhing” Arya Penangsang vs Danang Sutawijaya di Bengawan Sore

“Waktu telah tiba, genderang tambur dan bende telah dibunyikan bertalu-talu. Kedua belah pihak sudah stand by di lokasi, duo Pajang beserta Danang Sutawijaya dengan senjata Tombak Kyai Pleret, sementara Arya Penangsang tentu dengan membawa keris saktinya Setan Kober dan kuda tunggangan bernama Gagak Rimang yang beringas.”

Prabu Adiwijaya terus berfikir untuk meramu formulasi yang tepat dalam upaya menumpas pemberontakan Arya Penangsang. Hingga kemudian, strategi penumpasan Arya Penangsang didapatkan dan disiapkan dengan beberapa skenario, operasi, taktik dan strategi.


Sementara itu, kehidupan Prabu Adiwijaya di Pajang dijalani dengan baik-baik saja, hubungan kekeluargaan dan kekerabatan berlangsung dengan cair. Prabu Adiwijaya bahkan mengambil Danang Sutawijaya sebagai anak angkat.

Danang Sutawijaya dipersaudarakan dengan anaknya sendiri Pangeran Benawa, sebagai kakak adik. Antara keduanya mendapatkan perlakuan yang sama dari ayahandanya.

Danang Sutawijaya sendiri adalah anak dari Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan mengabdi kepada sang Prabu hingga mempunyai posisi sebagai lurah wiratamtama. Awalnya tinggal di sebuah kampung yang bernama Gremet, Manahan (Surakarta). Kemudian keluarga Pemanahan tinggal di sebelah utara pasar dalam kawasan kedaton Pajang. Selanjutnya Danang Sutawijaya juga dijuluki sebagai Raden Ngabehi Loring Pasar, karena tinggal di sebelah utara pasar tersebut.

Seiring berjalannya waktu, pergerakan Arya Penangsang semakin merajalela, saatnya harus dihentikan dan ditumpas. Prabu Hadiwijaya merasa enggan untuk bertarung langsung dengan pihak Jipang Panolan (Arya Penangsang), karena masih sama-sama mewarisi trah dari Demak. Atas dasar tersebut, Prabu Adiwijaya bersiasat dengan mengadakan sayembara.

Prabu Adiwijaya pada suatu waktu mengumumkan sayembara berhadiah, yang isinya: bagi siapa saja yang dapat mengalahkan dan menumpas pemberontakan Arya Penangsang, diberikan imbalan berupa tanah perdikan di bumi Metaram (Yogyakarta) dan bumi Pati.

Sampai batas waktu yang ditentukan, tidak ada yang mendaftar sayembara tersebut, mengingat kesaktian Arya Penangsang sangat ditakuti oleh siapa saja. Rekam jejak Arya Penangsang yang tega membunuh Sunan Prawata dan Raden Hadlirin, suami dari Ratu Kalinyamat, bukti keganasan Arya Penangsang, berdampak sepinya peminat sayembara.

Akhirnya, para senopatinya sendiri yang mengajukan usulan dengan mengajukan strategi bertempur kepada sang Prabu untuk melawan Arya Penangsang, ialah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.

Tawaran tersebut diterima oleh sang Prabu, Ki Pemanahan dan Ki Penjawi segera menyusun taktik dan strategi menghadapi Arya Penangsang.

Namun, Ki Ageng Pemanahan mengajukan kepada sang Prabu dalam berperang melawan Arya Penangsang, meminta ijin untuk melibatkan putranya Danang Sutawijaya, masuk dalam skenario, dengan alasan agar tumbuh menjadi pemuda yang pemberani.

Melihat pemaparannya yang berisiko buat putra kesayangannya, sekalipun anak angkat, sang Prabu menolaknya. Namun berkat bujukan yang terus dilakukan Pemanahan, akhirnya sang Prabu menyetujuinya.

Duel Hidup dan Mati (Perang Tanding)

Pada hari yang dijanjikan tiba. Kedua belah pihak, antara kubu Pajang (Prabu Adiwijaya) yang diwakili oleh Ki Pemanahan dan Ki Penjawi serta mengajak Danang Sutawijaya, melawan Arya Penangsang, disepakati untuk melakukan perang tanding (aprang tandhing) di pinggir Bengawan Sore (Bengawan Solo).

Pada saat yang telah ditentukan, agenda sudah direncanakan, persiapan dan kesiapan kedua belah sudah dilakukan dengan matang untuk perang tanding atau duel di pinggir sungai.

Pada hari yang dijanjikan untuk pertempuran tersebut, sungai Bengawan Sore dalam keadaan kering karena saat musim kemarau berlangsung, hanya ada sedikit air dengan arus sungai yang kecil, hingga bisa di lewati dengan mudah untuk menyeberang.

Waktu telah tiba, genderang tambur dan bende telah dibunyikan bertalu-talu. Kedua belah pihak sudah stand by di lokasi, duo Pajang beserta Danang Sutawijaya dengan senjata Tombak Kyai Pleret, sementara Arya Penangsang tentu dengan membawa keris saktinya Setan Kober dan kuda tunggangan bernama Gagak Rimang yang beringas.

Posisi Arya Penangsang berada di timur sungai, dari arah kota praja Jipang Panolan (Bojonegoro-Blora), sedangkan trio Pajang berada di sebelah barat sungai dari arah Pajang.

Arya Penangsang dengan kekuatan penuh dan ampuh, kuda jantannya yang kuat dan beringas, ditambah senjata andalannya bernama keris Setan Kober yang telah memakan banyak korban, sangat membuat lawan keder.

Arya menunggang kuda dengan penuh heroiknya. Sinar matanya tajam, raut mukanya memerah, rambut kumis dan jambang tumbuh lebat di wajah, dada dan tangannya, membuat tampilannya sangat garang, menyeramkan dan terlihat mematikan.

Sementara itu, Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengatur strategi, bahwa bukan dirinya berdua yang akan berduel dengan Arya Penangsang, tetapi justru Danang Sutowijaya dijadikan algojo untuk berduel melawan Arya Penangsang.

Sebuah pemandangan yang kontras. Usia Sutawijaya yang masih belia, seolah tidak memungkinkan adanya potensi kemenangan di pihak Pajang. Dari segi pengalaman kalah jauh, usia kalah, dalam pokok semua sumber daya kalah dibandingkan Arya Penangsang.

Namun begitu, meskipun masih sangat belia, jiwa kepemimpinan, keberanian, telah tertampak pada raut mukanya. Energi pemenang, energi petarung terlihat dalam sifat, sikap dan mimik muka dan gestur tubuh Sutawijaya.

Nampaknya Danang Sutawijaya telah akrab dengan dunia militer sejak kecil, ketika sering melihat para prajurit Pajang berlatih kemiliteran. Apalagi ayahnya seorang lurah wiratamtama.

Danang Sutawijaya juga menunggang kuda, namun hanya kuda betina. Dengan keberaniannya, Sutawijaya dengan membawa tombak sakti bernama Kyai Pleret.

Dari kejauhan, Ki Pemanahan dan Ki Penjawi akan memberikan instruksi dan aba-aba kepada Sutawijaya saat berduel. Tentu telah disiapkan dengan matang taktik dan strateginya, dengan telah menganalisis kelebihan dan kekurangan kekuatan lawan (SWOT).

Pada saat tambur perang dimulai, kuda keduanya berlari kencang, turun ke kali untuk duel hidup atau mati.

Keberingasan Gagak Rimang kuda Arya Penangsang berlari liar, instruksi Penangsang kepada kudanya terus berjingkrak-jingkrak dengan suara meringik-ringik kencang.

Kedua kaki depan kuda saling beradu ke atas, sesekali baik Penangsang dan Sutawijaya saling melepaskan pukulan dari atas kuda.

Kedua kuda saling berputar-putar, kedua sorot mata senopati tersebut terus beradu untuk saling menjatuhkan mental.

Kedua kaki kuda terus beradu, kali ini kuda Sutawijaya goyah, sepakan kaki Gagak Rimang membuat kuda betina Sutawijaya limbung.

Dengan secepat kilat, pukulan Penangsang berhasil mengenai dada Sutawijaya. Kuda Sutawijaya pun mundur.

Jual beli pukulan keduanya terus terjadi, sepakan kaki kuda juga terus dilakukan. Sutawijaya terdesak, jual beli pukulan dan sepakan tidak seimbang. Bila Gagak Rimang dengan sepuluh kali sepakan, kuda Sutawijaya hanya dengan tiga kali sepakan yang akurasinya meleset.

Begitu juga pukulan tangan Penangsang ke Sutawijaya bertubi-tubi mengenai sasaran dada, punggung dan wajah Sutawijaya. Intensitas pukulannya berbeda jauh, sepuluh berbanding tiga.

Melihat pertarungan yang tidak seimbang tersebut, segera Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengeluarkan jurus pamungkasnya. Memberikan instruksi kepada Sutawijaya, perihal tak tik yang akan dikeluarkan dengan telah dipersiapkan sebelumnya.

Dengan segera, Sutawijaya memotong ekor kuda betina yang ditumpanginya. Seketika, kemaluan kuda betina terlihat dengan jelas, bahkan aromanya menebar ke segala arah angin.

Seketika itu, kuda jantan Gagak Rimang timbul hasrat seksualnya, bahkan sangat bernafsu liar. Maka kuda betina itu pun diburunya, dengan sigap Sutawijaya menarik tali kekang kudanya agar berlari sekencang mungkin dengan meliuk-liuk, bermanuver ke sana kemari.

Gagak Rimang berlari mengejar kuda betina dengan tidak terkendali. Penangsang berusaha mengendalikan tali kekang Gagak Rimang, namun tidak dihiraukan. Penangsang semakin kewalahan mengendalikan kuda tumpangannya.

Sutawijaya terus mempermainkan Gagak Rimang dengan menarik tali kekang kudanya dengan terus meliuk-liuk dan berputar, juga berhaluan ke segala arah. Gagak Rimang semakin bernafsu, semakin liar tak terkendali. Gagak Rimang sudah lupa dengan tuannya, instruksi Penangsang tak dihiraukan lagi.

Arya Penangsang terus berusaha mengendalikan kuda yang terus terfokus mengejar kuda betina Sutawijaya yang bolak balik menyeberang kali Bengawan Sore. Penangsang kehilangan kendali, tidak bisa fokus untuk menyerang Sutawijaya.

Pada saat Penangsang benar-benar kewalahan, maka, … Tombak Kyai Pleret menghujam tepat di perut Penangsang oleh Sutawijaya dengan sempurna.

Akhirnya, Arya Penangsang jatuh tersungkur ke tanah, dan mendapati tuannya jatuh terkapar, Gagak Rimang pun berhenti mengejar kuda betina.

Di saat Arya Penangsang terluka parah, namun Penangsang tetap kuat dan masih mampu berdiri dengan sempurna. Maka dicabutlah senjata ampuhnya keris Setan Kober.

Saat mencabut kerisnya, dasar Penangsang orang yang sakti dan tangguh, tidak menyadari bahwa ususnya telah terburai. Dicabutlah keris Setan Kober untuk dihujamkan dengan maksud ke arah tubuh Sutawijaya, dalam duel tanpa menunggang kuda. Namun, … keris Setan Kober yang dicabutnya tanpa disengaja memutus usus Penangsang sendiri yang terburai, dan usus pun terpotong menjadi beberapa lipatan potongan hanya dengan sekali cabutan keris yang beracun tersebut.

Keris Setan Kober penuh energi dahsyat tersebut, justru membunuh tuannya sendiri. Arya Penangsang tewas!

)* bersambung bagian 3

Legenda “Aprang Tandhing” Arya Penangsang vs Danang Sutawijaya di Bengawan Sore (1)
Joko Tingkir dalam Diskursus Sejarah, Tokoh Imajinatif hingga “Ngombe Dawet” (1)
Lagu “Joko Tingkir Ngombe Dhawet”, Simbol Semangat Kerja versus Pelecehan Sejarah
Politik Ekspansi Panembahan Senopati dan Susuhunan Hanyakrawati
Geopolitik dan Strategi Sultan Agung Menuju Kejayaan Nusantara di Pentas Dunia (1)

Terkait

Terkini