Lelaki Tangguh
"Menua bersamamu adalah impianku, Asih. Biarkan suka duka kita lewati bersama."
Nusantarapedia.net — Lelaki Tangguh
“Pak, aku rela kalau seandainya sampeyan pengin nikah lagi?” kata perempuan bernama Sulasih itu lirih, bahkan terkesan bergumam pada dirinya sendiri.
Dia tergolek tak berdaya di atas kasur yang sudah usang. Tubuhnya tinggal kulit dan tulang. Seakan tidak ada daya yang mampu membuatnya bersuara lebih keras.
Sementara sang suami, bernama Pak Teguh. Menjawab mantap dengan penuh penekanan, seolah sudah bosan memberikan jawaban, karena pernyataan itu sudah puluhan kali diutarakan istrinya.
“Dengarkan Asih! Aku tidak akan pernah menikah lagi, sampai kapan pun dan bagaimana pun keadaan kamu?”
“Tapi Pak, kau berhak bahagia. Sampai kapan kau akan mengurus aku seperti ini?”
“Sampai Gusti Allah bilang, cukup sampai di sini. Aku mohon jangan kau ulangi pernyataan itu, Asih.”
Pak Teguh meraih dan mencium jemari istrinya yang sudah tinggal tulang itu dengan penuh kasih sayang. Tak ubahnya seperti dulu waktu pertama kali mereka bersama setelah melaksanakan akad nikah di KUA setempat.
Meski sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu, rasa cintanya tak pernah terkikis sedikit pun oleh waktu.
Sulasih tergugu, bulir-bulir bening membasahi pipinya. Dalam hati bersyukur telah diberi pendamping hidup seperti Pak Teguh.
‘Terima kasih sudah mencintaiku sampai detik ini, Pak, meski dengan keadaanku yang seperti ini sekarang,’ kata hatinya bicara.
Hangat mentari mulai menunjukkan diri. Sinarnya masuk melalui celah-celah kayu. Dari rumah semi permanen itu terlihat aktivitas pagi seperti biasanya. Sebelum berangkat mencari nafkah Pak Teguh menyempatkan diri untuk memasak dan menjerang air. Setelah semua aktivitas pagi selesai, baru dia berangkat dengan kendaraan yang sudah hampir tigapuluh tahun menemaninya keliling kota untuk mendapat lembaran rupiah.
“Sih, aku berangkat dulu,” pamitnya pada istri yang semakin hari semakin lemah kondisinya. Sulasih tersenyum mengiyakan.
“Hati-hati Pak, semoga dapat rejeki yang berkah,”
“Aamiin…,” jawab pak Teguh, kemudian berlalu.
Segelas susu tergeletak di samping nakas. Sulasih terlihat susah payah bangkit dari tidurnya. Entah kenapa tubuhnya terasa lemas sekali. Seakan tidak ada semangat hidup di pancaran matanya yang sayu.
Kondisi yang tak pernah diinginkan wanita, harus dia alami. Entah kenapa Allah memberikan ujian itu. Sepuluh tahun yang lalu dia harus rela rahimnya diangkat. Bukan karena apa, sudah empat kali dia mengalami keguguran dan itu dikarenakan kondisi rahimnya yang lemah. Dan tindakan terakhir yang dokter lakukan untuk menyelamatkan nyawanya dengan operasi pengangkatan rahim.
Pernyataan itu sekaligus memupus keinginannya untuk memiliki keturunan. Hidupnya hancur, sebagai makhluk yang dikodratkan menjadi seorang wanita. Dia tidak bisa memiliki keturunan untuk selamanya. Kondisi jiwanya pun terguncang, raganya pun ikut remuk. Setelah operasi itu, kian hari kian lemah yang dia rasakan. Beruntung ada suami yang selalu memberikan semangat, hingga Sulasih bisa kuat menjalani hari hari yang dirasakan begitu memilukan.
Tek…, Tek…, Tek…!
Suara klakson becak yang ditarik pak Teguh. Dia hanya seorang penarik becak. Pekerjaan itu sudah digelutinya hampir tiga puluh tahun lamanya. Dari dulu saat dia masih telihat gagah dan kuat, sampai sekarang usianya yang melebihi setengah abad.
Semua dijalani dengan rasa ikhlas yang selalu dia tanamkan dalam hatinya.
Satu keistimewaan yang dimiliki Pak Teguh adalah tidak pernah absen membawa Al Qur’an kecil yang dia masukkan dalam saku bajunya. Saat ada waktu luang dan menunggu penumpang, digunakan untuk mengaji. Tak peduli di mana pun berada, asal dalam keadaan suci dari hadats, tak pernah dia terlupa untuk membaca ayat-ayat Allah. Maka tak heran, kadang ada bagian surat dalam Al-Quran yang hafal di luar kepala, saking seringnya dia membaca. Istilah one day one juz, sudah bukan hal baru bagi Pak Teguh karena itu sudah dilakukannya dari dulu.
Daripada ngobrol bersama teman-teman sesama penarik becak, dan berkeluh kesah tentang sulitnya mencari rupiah, apalagi dimasa pandemi ini, Pak Teguh lebih senang menyendiri dan membuka Al Qur’an sakunya. Salat sunat Dhuha pun tidak pernah dia tinggalkan. Sudah menjadi kebiasaannya, sehingga kalau sampai tidak melaksanakan seperti ada yang hilang. Begitulah kebiasaan positif pak Teguh, yang dikenal para penarik becak lainnya dan juga pelanggan.
Meski wajahnya kini menghitam karena terpanggang sinar matahari setiap hari, tapi hatinya bersih. Tak heran banyak pelanggan yang kadang dengan sukarela memberikan uang lebih untuk Pak Teguh.
Saat ini dia diuji dengan kondisi istrinya yang sudah lima tahun terakhir ini dijalani. Sabar menjadi kunci dalam menyikapi segala macam cobaan yang Allah berikan untuknya. Mencoba tetap setia menemani dan mendengar keluh kesah sangat istri, sepulang dari berusaha mengais rejeki. Esok paginya pak Teguh mesti harus bergelut di dapur menyiapkan segala keperluannya dan juga istri.
“Pak, aku istri yang tidak berguna ya? Tidak bisa melayani suami, bahkan sekedar untuk membuatkan secangkir tehpun, tidak bisa aku lakukan, malah harus bapak yang melayaniku,” ucap Sulasih hampir setiap harinya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku melakukan itu semua ikhlas Asih, sudah puluhan tahun kau menemaniku dan mempersiapkan segala kebutuhanku, bahkan tak segan kau membantu bekerja dulu, saat kau masih sehat. Sekarang ketika Allah mengujimu dengan keadaan seperti ini, apa kau pikir aku tega meninggalkanmu? Aku tidak akan pernah melakukan itu, percayalah!” kata pak Teguh meyakinkan Sulasih, wanita yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu. Kini sudah tidak ada binar kebahagiaan dimatanya.
“Menua bersamamu adalah impianku, Asih. Biarkan suka duka kita lewati bersama.”
Setitik air mata pun jatuh dari kelopak mata Asih. Dalam lemah dia merasa terharu dan merasa beruntung. Ternyata suaminya masih seperti dulu, penuh kata-kata romantis, meski kini usia sudah tak lagi muda.
Saat muda dulu Pak Teguh suka bikin puisi-puisi cinta yang dia tulis di sebuah buku. Jaman dulu belum seperti sekarang kemajuan di dunia literasi. Jadi puisi romantis yang pak Teguh tulis, hanya untuk koleksi pribadi, yang ditulis dalam lembaran kertas, bertinta hitam.
Masih teringat sebait puisi yang pak Teguh tulis untuknya, tiga puluh tahun yang lalu. Saat akan melamar dirinya.
Untuk Asih Sulasih:
Indah itulah dirimu
Dengan senyum bersahaja yang menggoda
Ingin kumiliki senyum dan juga ragamu.
Untuk itu, maukah kau menikah denganku? Melewati indah dunia berdua, hingga senja dan menua bersama…,
Semoga Allah kabulkan,
Dari yang mencintaimu,
Ahmad Teguh.
Senyum terukir dari bibir Sulasih yang memucat, sedikit memberikan pendar kebahagiaan, meski kini raganya kian renta. Namun, garis kecantikan itu tetap tidak pudar dari wajahnya.
Pagi ini rasanya ringan sekali Pak Teguh menjalani rutinitasnya. Rumah sederhana itupun nampak bersih. Entah kenapa seolah ada energi positif yang memancar dari rumah semi permanen itu.
“Asih, aku berangkat dulu ya,”
Ada yang lain dari wajah istrinya pagi itu. Tampak lebih pucat dari biasanya. Seulas senyum yang terakhir dari bibir Sulasih, membuang gamang yang ada dalam hati.
“Berangkatlah Pak, aku baik baik saja. Oh ya, Al Qur’an sakunya sudah dibawa belum?” tanya Sulasih mengingatkan.
“Sudah, insyaallah tidak akan lupa,” jawab Pak Teguh meyakinkan.
“Terima kasih ya Pak…, sudah mau menemaniku sampai detik ini. Aku minta maaf, bila selama mendampingimu banyak salahnya,”
“Sudah pasti, kau tidak bersalah.”
Pak Teguh pun meninggalkan istrinya seperti hari-hari biasanya. Sebelum berangkat dia menitipkan pada tetangga depan rumah, jika ada apa-apa untuk mohon bantuannya.
“Ar_rohman…, ‘allamalqur’an, kholaqol insan, ‘allamahul bayan …,”
Dengan fasih Pak Teguh membaca Ayat demi ayat dari surat Arrohman di atas becak tuanya, sambil menunggu pelanggan yang datang. Entah kenapa sedari pagi ini belum ada pelanggan yang datang. Hatinya mulai resah, teringat segala kebutuhan yang sudah menipis. Juga kebutuhan membeli diapers untuk istrinya, dia lihat tadi hanya tersisa satu diapers. Rencananya pulang nanti akan sekalian beli, namun jika hari ini tak ada penumpang yang datang, maka keinginan untuk membelinya pun harus tertunda.
“Allahu Akbar…, Allahu Akbar…, “
Tak terasa azan Zuhur sudah berkumandang, segera Pak Teguh mengayunkan langkah kaki tuanya ke masjid. Gegas mengambil air wudhu dan berniat iktikaf. Dia keluhkan apa yang ada di hatinya hanya pada Allah, melalui butiran tasbih yang dia putar, mulutnya tak berhenti berzikir sambil menunggu iqamah.
Selesai salat dia rebahkan sejenak tubuhnya yang lelah.
Saat matanya hampir terpejam, tiba-tiba ada seorang pemuda yang mendekatinya. Pak Teguh pun bangkit.
“Assalamu’alaikum, benar dengan Pak Teguh, ya?” tanya pemuda itu, seraya mengulurkan tangannya
.
“Nggih, leres (benar).”
“Kalau boleh saya tahu, Sudah berapa lama Bapak menjadi penarik becak?”
“Sudah lama, Mas, hampir tiga puluh tahunan.”
Pemuda itu menangguk-angguk, kemudian terlihat obrolan seru antara keduanya. Cukup menghibur hati Pak Teguh yang sampai siang ini belum dapat selembar rupiah pun.
“Bapak kenal saya, dan tahu maksud tujuan saya menemui jenengan (anda)?”.
Pak Teguh menggeleng, sedikit bingung akan arah pembicaraan pemuda itu. Lebih bingung lagi ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan setumpuk uang berwarna merah dan diberikan untuk Pak Teguh.
“Pak, ini ada rejeki dari Allah, saya hanyalah perantara saja. Oh iya, saya bekerja disebuah yayasan amal, yang mencari orang-orang yang kurang beruntung, untuk bisa pergi ke Tanah Suci. Dan bapak menjadi salah satu yang terpilih karena keistiqomahan Bapak. Baik itu dalam bekerja dan juga melanggengkan membaca Al-Quran, di;sela-sela kesibukan Bapak mengais rupiah. Kami dari pihak yayasan salut atas perjuangannya. Selamat ya, Pak, semoga berkah.”
Pemuda itu menjelaskan panjang lebar.
Sementara Pak Teguh masih belum percaya, menatap tumpukan uang di depannya. Semuanya seperti mimpi yang menjadi nyata.
Pergi ke Tanah Suci adalah impiannya sejak dulu. Dia sudah berusaha menabung tiap harinya dari menarik becak, dan uang yang terkumpul pun sudah cukup banyak. Namun, semua uang tabungan habis untuk berobat istrinya.
Tak pernah terbersit dalam benaknya akan mendapat ganti sebanyak dan secepat ini. Pak Teguh sujud syukur, airmata bahagia pun tak mampu dia tahan.
“Alhamdulillah, Terima kasih ya Allah, telah Kau jawab doa doaku selama ini.”
“Oh ya, kami dari pihak Yayasan, sudah mendaftarkan anda untuk pergi Umroh, dan secepatnya kami akan mengurus persyaratannya. Saya permisi dulu, Pak. Assalamu’alaikum.”
“Iya, sekali lagi terima kasih untuk rejeki ini, Waalaikumsalam” jawab Pak Teguh.
Pertemuan yang membahagiakan itu pun berakhir. Jabatan tangan dan pelukan hangat Pak Teguh rasakan dari pemuda baik hati itu.
Selepas itu, segera dikayuh becak tuanya untuk pulang ke rumah. Tak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah, untuk menemui istrinya dan menceritakan apa yang terjadi hari ini. Pasti Sulasih ikut bahagia.
Dalam hati, tak henti-hentinya rasa syukur Pak Teguh panjatkan.
Setelah setengah jam perjalanan, Pak Teguh dan becaknya pun sampai di rumah. Dia masuk sambil tak lupa mengucapkan salam. Segera dia masuk ke kamar untuk menemui istrinya. Namun, wanita itu masih terpejam. Pak Teguh merasa aneh karena biasanya kalau dengar dia pulang akan menyambut, meski hanya dengan seulas senyuman dan jawaban salam.
Dalam pikiran Pak Teguh, sang istri masih tertidur karena dia pulang lebih awal, biasanya sore baru pulang sementara hari ini masih siang. Namun, setelah setengah jam berlalu, pikirannya mulai kalut, saat sang istri tidak jua membuka mata. Dirabanya kening dan pergelangan tangan istrinya itu. Ternyata sudah tidak ada denyut nadi yang dia rasakan.
“Innalillahi wainna ilaihi rajii’un…,” lirihnya.
Pak Teguh, sosok lelaki tangguh yang tidak pernah mengeluh itu terkulai lemah, disamping pembaringan sang istri. Dia sadar sepenuhnya bahwa wanita yang menemani hidupnya selama ini sudah tiada, dan menutup mata untuk selamanya. Tanpa sepatah kata pun ada kalimat perpisahan.
Akan tetapi, Pak Teguh yakin istrinya pergi dengan tenang, terlihat dari sesungging senyum di bibir istrinya itu, yang lebih tampak seperti orang tertidur.
“Selamat jalan Sulasih. Semoga Allah beri tempat terbaik untukmu. Penderitaanmu selama ini semoga sebagai penggugur dosa-dosa. Semoga kelak Allah pertemukan kita kembali di Surga-Nya. Aamiin.”
Ternyata suka dan duka itu harus datang beriringan, menyapa sosok laki-laki tangguh itu dalam waktu yang berdekatan.
Baru beberapa jam lalu dia menangis bahagia, karena mendapatkan rejeki yang tidak pernah diduga. Sekarang dia berduka, menangis sedih dan harus ikhlas melepas kepergian istri yang dicintainya dengan sepenuh jiwa itu, menghadap yang Maha Kuasa lebih dulu.
Manusia memang hanyalah seorang hamba Allah, yang tak pernah bisa sedetikpun menghindar dari takdir_Nya.
Magelang, 19 Ramadhan 1443 H
Bapak, Jangan Menangis
Bingkai Kenangan Saat Ramadan
Jalan ke Surga
Harga Sebuah Kejujuran
Melia Pada Prosa Hati …
Surat yang Terbawa Angin, Lalu Terbaca Olehmu
Pencak Silat, Tradisi Pendekar Atraksi Seni hingga Cabang Olahraga
Yang ber-Otak Tak Bakal Mengekor
Tanaman Mirten