Mabok ISBN, Akhirnya Ditegur, Ayo Sadar Mutu!

Demam ISBN ini didorong oleh persepsi keliru bahwa buku yang ber-ISBN lebih keren karena mendapat pengakuan internasional

22 April 2022, 12:34 WIB

Nusantarapedia.net — Mabok ISBN, Akhirnya Ditegur. Ayo Sadar Mutu!

Beberapa hari yang lalu mendengar berita menyedihkan dari dunia literasi internasional. Pasalnya, perpustakaan RI sebagai agensi ISBN Internasional di Indonesia mendapat teguran keras dari Badan ISBN Internasional.

Yang menyedihkannya lagi adalah teguran diikuti intruksi penundaan sementara pemberian ISBN dari badan ISBN Internasional yang berpusat di London, Inggris.

“Sekali lagi, menjadi penulis sadar mutu adalah solusi bijaksana menghadapi penangguhan ISBN ini. Tidak lagi bernafsu memiliki buku ber-ISBN adalah cara paling wise mengenali karya sendiri.”

“Agaknya kita perlu kembali mengingat definisi buku. Buku adalah kumpulan pengetahuan. Senjata kita memerangi kebodohan. Tanpa ISBN bukan berarti buku illegal atau tidak sah. ISBN juga tidak mempengaruhi kualitas buku.”

Ini terjadi karena ketidakwajaran produk buku di Indonesia. Dengan fakta rendahnya budaya membaca, juga rendahnya angka penjualan buku, jumlah output buku tahun belakangan ini dinilai tidak wajar.

Tahun 2020 saat pandemi dimulai, buku yang diberi ISBN mencapai 144.793 judul, sedangkan tahun 2021 mencapai 63.398 judul. Kenaikan yang sangat fantastis.

Dikutip dari laman teraju.id, Indonesia mendapatkan nomor khas blok ISBN adalah 978-623 dengan jatah ISBN sebanyak 1 juta ISBN. Diperirakan nomor itu habis dalam rentang waktu lebih dari 10 tahun ke depan. Bahkan beberapa negara menghabiskan angka 1 juta itu lebih dari 15 tahun, bahkan ada yang hingga 20 tahun.

Alokasi 1 juta nomor itu diberikan kepada Indonesia terakhir tahun 2018, tetapi tahun 2022 pemberian ISBN sudah membengkak lebih dari 50% mencapai 623.000 judul.

Kita bisa menghitung tinggal berapa sisa kuotanya? Hanya tersisa 370an kuota nomor ISBN. Jika Indonesia tetap saja seperti data Perpusnas RI tahun 2021 yang menghasilkan buku sebanyak 67.340 setiap tahunnya, maka nomor hanya akan tersisa kurang lebih enam tahun lagi.

Secara literatif, kita bisa mengatakan budaya literasi Indonesia meningkat. Kemampuan dan kemauan generasi untuk menulis meningkat, tetapi ini tidak megindikasikan kualitas isi buku atau isi tulisan itu sendiri.

Meningkatnya produksi buku-buku tidak dibersamai kemampuan menjualnya. Masa pandemi, di luar negeri, angka penjualan buku-buku meningkat tajam, tetapi di Indonesia justru merosot. Ini dikarenakan kebutuhan literasi di luar negeri begitu tinggi terlebih untuk mengisi waktu selama diberlakukan lockdown dan atau pembatasan.

Meningkatnya produksi buku justru sangat ironis dengan pendapatan penerbit-penerbit, terutama penerbitan indie atau self publishing. Tak bisa dipungkiri kehadiran para penerbit baru ini menyumbang banyak terhadap meningkatnya produksi buku di Indonesia.

Jika kita seorang penikmat medsos yang memanfaatkan medsos untuk ajang belajar menulis, tentu kita akan paham, seringnya penerbit-penerbit berbasis self publishing ini berseliweran di timeline, menggelar event kepenulisan virtual, menjanjikan dibukukannya semua karya dan menerbitkannya dengan ISBN.

Selain itu, menjamurnya komunitas kepenulisan berbasis online (medsos) juga turut memperpanjang deret antrian pengajuan nomor ISBN.

Bisa dibayangkan jika setiap event menulis bersama akhirnya dibukukan dan mendapat ISBN. Sementara kualitas editing dan isi buku masih sangat diragukan dan jauh dari ideal.

Miris memang, munculnya oknum penerbitan-penerbitan baru kebanyakan sebenarnya jauh dari ruh penerbitan itu sendiri. Hanya berorientasi bisnis dan mengabaikan upaya adding knowledge dalam setiap terbitan buku-bukunya.

Untuk apa ISBN itu?

Agaknya kita perlu kembali mengingat definisi buku. Buku adalah kumpulan pengetahuan. Senjata kita memerangi kebodohan. Tanpa ISBN bukan berarti buku illegal atau tidak sah. ISBN juga tidak mempengaruhi kualitas buku.

Demam ISBN ini didorong oleh persepsi keliru bahwa buku yang ber-ISBN lebih keren karena mendapat pengakuan internasional. Buku ber-ISBN lebih afdol sebagai buku yang profesional. Buku ber-ISBN menunjukkan pemenuhan standar mutu. Padahal, tidak ada hubungan sama sekali.

Memang ada, sih, kebijakan mutu pemberian ISBN yang diberikan oleh Council Of Europe. Semua karya tulis yang diajukan harus melalui kebijakan pemenuhan standar mutu. Atau kalau di Indonesia seperti yang pernah diberlakukan oleh LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN) ketika ada peneliti yang meminta ISBN. LIPI Press bukan pemberi ISBN. Jika buku hendak diterbitkan oleh LIPI Press atau menggunakan ISBN LIPI Press, buku harus memenuhi standar mutu LIPI Press.

Lalu apa fungsi ISBN?

ISBN (International Standard Book Number) memiliki fungsi mempertegas identitas buku. Buku-buku yang sudah memiliki deretan angka ISBN, dijadikan sebuah tanda bahwa, buku tersebut secara resmi telah terdaftar di perpustakaan nasional. Sebenarnya itu saja, sih, fungsi utama ISBN.

Penulis yang sadar mutu adalah penulis yang mengenali tulisannya perlu mendapat ISBN atau tidak. Sadar mutu di sini memiliki arti bahwa buku yang dihasilkan untuk kalangan pribadi atau untuk diperjual belikan secara komersil. Banyak penulis yang membukukan karya-karyanya hanya untuk koleksi dan kebutuhan eksistensi, bukan untuk diperjual belikan.

Solusi

Sekali lagi, menjadi penulis sadar mutu adalah solusi bijaksana menghadapi penangguhan ISBN ini. Tidak lagi bernafsu memiliki buku ber-ISBN adalah cara paling wise mengenali karya sendiri.

Jika karya tersebut memang hanya untuk kebutuhan arsiparis atau eksistensi sebaiknya tidak perlu mengajukan ISBN.

Buku yang layak diberi ISBN adalah buku yang berada pada rantai pasok industri. Ciri-cirinya sebagai berikut;

  1. Tersedia untuk public secara luas, baik gratis maupun berbayar
  2. Buku diperjualbelikan dalam jumlah banyak. Karena itu ISBN relevan digunakan sebagai basis metadata untuk memperlancar rantai pasok buku. Ia berguna di hilir industry buku untuk mengidentifikasi buku, terutama distribusi dan penjualan.

Dua poin di atas adalah prinsip. Patokan tegas layak tidak buku mendapat ISBN. namun, budaya negeri ini. Semua produk tulisan di-ISBN-kan hingga skripsi, laporan kegiatan, laporan tahunan lembaga juga ikut-ikutan di-ISBN-kan.

Seharusnya, publikasi yang sifatnya hanya selingkung atau terbatas serta tidak tesedia diakses publik apalagi tidak diperjual belikan tidak relevan diajukan ISBN.

Perlu ketegasan pemerintah untuk menertibkan penerbitan-penerbitan yang tak memenuhi standar. Belakangan muncul penerbitan yang sebenarnya jauh dari ruh penerbitan itu sendiri, yaitu mencerdaskan masyarakat dengan buku. Orientasi hanya bisnis yang akhirnya mengabaikan editing dan kualitas isi buku buku tersebut.

Pusat Perbukuan Perpusnas RI sedang menyiapkan akreditasi penerbit. Ini bisa menjadi salah satu jalan atau solusi untuk menghadapi euforia penerbitan buku oleh penerbit-penerbit baru.

Langkah ini sangat memungkinkan upaya ke depan bagi Perpusnas untuk menyeleksi penerbit pengaju ISBN hanya boleh penerbit yang terakreditasi.

Semoga kita bisa menjadi insan literasi yang bijaksana.

Menjadi Pegiat Literasi
Hari Kartini, Momentum Literasi Perempuan
Perempuan, Sastra dan Uforianya
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
Sanjungan Batu Sandungan

Terkait

Terkini