Macapat dalam Medium Garap Penyajian Karawitan

17 November 2021, 12:55 WIB

Nusantarapedia.netMacapat dalam Medium Garap Penyajian Karawitan

Kesusasteraan Jawa modern saat ini hasil dari pembentukan kasusastran periode Jawa baru pada tahun 1800-an. Sebelumnya, periode Jawa madya atau tengahan dalam rentang waktu 1500-1800 M, hasil pengembangan kesusasteraan Jawa kuno periode Medang Kamulan tahun 1000-1500 M.

Dasar dari kesemua seni kesusasteraan Jawa berawal dari periode sebelum tahun 1000 M, masa Mataram kuno.

Teori evolusionisme kebudayaan telah membawa pada bentuk baru kasusastran Jawa saat ini. Sebuah tembang berupa prosa atau puisi Jawa kuno yang disebut “Kakawin” berkembang menjadi Kidungan,” “Macapat dan membentuk menjadi bermacam-macam format dan struktur sastra dalam tinjauan tembang.

Pasca 1800-an berkembanglah aneka tembang Jawa dengan metrum atau paugeran yang telah disepakati (membentuk).
Sekar Ageng, Sekar Tengahan dan Sekar Macapat (Alit) contohnya.

Tinjauan Tembang Macapat

Sekar Macapat berdiri sendiri sebagai tembang yang disajikan dalam format solo, tidak ada set orkes yang mengiringi sebagai medium, kalaupun ada dalam bentuknya yang sederhana.

Kesejarahan terbentuknya tembang ini berawal dari ritus spiritual yang akhirnya menjadi sarana ekspresi seni dan hiburan dalam seni pertunjukan. Pada kajian yang lebih luas, hubungan timbal balik/dialog didalamnya telah memenuhi ruang-ruang sosial sebagai sarana aktualisasi kelompok dalam entitas kultural.

Jadi, tembang tersebut lahir dari budaya teks, tulis atau naskah dan menemukan medium ekspresi. Kaidah kesastraan menuju seni dan menjadi kesepakatan format yang dapat diuji keindahannya, derajad isinya (filosofi) dan aspek sosiologis lainnya yang terukur sebagai kesatuan seni.

Dari penyajiannya yang sederhana, macapat telah digunakan dalam penyajian musik Karawitan” (gamelan), kesederhanaan pembawaan sebelumnya telah di eksplorasi sebagai bentuk keindahan seni dalam aneka seni pertunjukan.

Road Map Sastra Jawa

Sebelumnya, macapat bebas dibaca dan dilagukan tanpa aturan keindahan didalamnya, mengingat fungsinya sebagai sarana piwulang (pembelajaran) kehidupan manusia.
Tidak ada nada dasar pakem dalam membawakannya, tergantung individu yang melagukan dengan tuning rendah atau tinggi, karena tidak memerlukan iringan musik.

Macapat tidak memerlukan keindahan vocal dengan teknik cengkok, luk, gregel, vibra, improvisasi dan bagian ukuran lainnya dalam teknik vokal. Macapat hanya membutuhkan artikulasi yang jelas, nada yang sederhana, dan point dari liriknya tersampaikan sebagai pesan kepada audiens.

Dengan demikian, macapat dari sekedar tembang solo telah menjadi satu dalam bagian komposisi musik karawitan, didalamnya terikat akan aturan penyajiannya.

Perkembangan komposisi ini, antara macapat dan gamelan terjadi pada era Mataram Anyar, sebagai kebanggaan identitas lokal (pride identity) sebuah praja yang saling ber-rivalitas akibat politik pecah belah VOC/Belanda, yaitu Kasunanan Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegaran, yang selanjutnya menjadi kiblat gaya berkesenian dengan ciri khasnya masing-masing pada seni karawitan, pakeliran/wayang kulit, tari, kethoprak dan lainnya.

Contoh; karawitan gaya Surakarta, gaya Mataraman (Yogya), juga gaya seni yang lebih universal pada wilayah kebudayaan Jawa, yaitu; gaya Suroboyoan, Malangan, atau Banyumasan, Purwodadinan, dan lainnya.

Berikut Jenis Tembang Macapat Sekar Alit dengan ciri metrumnya berupa Guru Gatra (jumlah baris), Guru Wilangan (suku kata) dan Guru Lagu (akhiran huruf vokal).

11 Metrum Sekar Macapat;

  1. Maskumambang: 12i, 6a, 8i, 8a
  2. Pucung: 12u, 6a, 8i, 12a
  3. Gambuh: 7u, 10u, 12i, 8u, 8o
  4. Megatruh: 12u, 8i, 8u, 8i, 8o
  5. Mijil: 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u
  6. Kinanthi: 8u, 8i, 8a , 8i
  7. Durma: 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i
  8. Pangkur: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i
  9. Asmaradana: 8i, 8a, 8e, 8a, 7a, 8u, 8a
  10. Sinom: 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a
  11. Dhandanggula: 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a

Tinjauan Seni Musik Karawitan atau Gamelan

Bila kita membayangkan set orkes gamelan dalam penyajian seni musik klasik karawitan, betapa mewahnya, tak kalah dengan pertunjukan orkestra besar di Wina atau Eropa lainnya.
Sekurang-kurangnya terdapat 15 – 20 pemain dan vokalis, bahkan sampai 40 pemain.

Gamelan gaya Solo & Yoga, tidak ujug-ujug membentuk kesatuan set orkes yang demikian.
Sama seperti tembang macapat, awalnya hanya satu dua instrument untuk mengiringi ritus spiritual. Instrument “Engkuk-Emong,” “Gong,” atau bilah-bilah “Saron” yang sederhana.

Dalam perkembangannya telah menjelma menjadi set musik yang komplit dengan alat musik yang menimbulkan bunyi dengan banyak teknik dan golongan bunyi. Teknik dipukul, seperti; kendang, balungan, bonang, gong. Di gesek; rebab. Di petik; siter/kacapi. Di tiup; suling.

Pada repertoarnya, musik karawitan berkembang membentuk penyajian yang terikat oleh paugeran/aturan. Bentuk penyajian musik karawitan dapat di klasifikasikan menurut bentuk dasar dan struktur musiknya.

Gloomy Sunday, Lagu Kematian hingga Bunga Terakhir Bebi Romeo

Ada bentuk Lancaran, Ketawang, Ladrang, Gendhing (kethuk 2 kerep minggah 4, kethuk 4 kerep minggah 8). Selain itu masih banyak varian yang penggunaannya bermacam-macam. Ada garap; Gangsaran, Bubaran, Soran atau Bonangan, Palaran, Sampak, Srepeg, Jineman, Ayak-Ayakan, dan lainnya.

Koherensi Macapat dan Karawitan

Macapat membutuhkan medium sebagai jawaban akan perkembangan berkesenian. Ketauladanan sebagai filosofi tuntunan kehidupan dalam syair macapat tidak lagi menjadi prioritas, seperti peruntukan syar dan dakwah.

Gairah seni pertunjukan sebagai ruang sosial yang kompleks telah membawa tembang macapat dalam gairah ekspresi yang indah dengan mediumnya, yaitu musik musik karawitan.

Macapat di bawakan dalam tetembangan yang memenuhi aspek seni vokal dan musikalitas yang kaya kaidah seninya. Di bawakan tidak lagi dengan dibaca; maca per-empat suku kata, tidak lagi ditembangkan solo, namun ditembangkan dengan iringan gendhing-gendhing karawitan.

Lahirlah, Ketawang Sinom Parijoto atau Sinom Nyamat yang bermetrum Macapat Sinom, berstruktur repertoar Ketawang, dan di mainkan dengan garap Jineman.

Ladrang Pangkur Ngrenas, merupakan komposisi klasik karawitan yang berstruktur Ladrang, dengan mengambil lirik tembang Macapat bermetrum Pangkur, disajikan dengan garap Gending Ladrangan dengan irama Kibaran, Ciblonan, Jineman, dengan Andeg-Andegan juga garap Palaran.

Begitu juga muncul kreasi Ladrang Asmorondono, Ketawang Mijil Wigaringtyas/Sulastri, juga Dhandanggulo cengkok Semarangan, cengkok Kethoprak dan masih banyak lagi.

Begitu juga sebaliknya, penyajian gendhing-gendhing karawitan memerlukan lirik atau syair atau cakepan untuk vokalnya pada bagian Gerongan (koor), Sindhenan, dan Bowo.

Dengan demikian, macapat dan karawitan sebagai medium yang saling membutuhkan dalam kesatuan komposisi musik pertunjukan.
Hal ini sama perjalanannya dalam penyajian seni pakeliran wayang kulit maupun wayang wong.

Dahulu, tembang ada-ada, sulukan, adalah media dakwah para Sunan, bahkan kekidungan era Medang Kamulan Jawa Timuran telah lahir.

Akhirnya melebur dalam kesatuan penyajian seni pertunjukan lengkap dengan unsur-unsurnya. Wayang kulit, Ketoprak, Tari, lengkap dengan komposisi iringan musik dan vokal di dalamnya dengan ciri khasnya masing-masing.

Tembang Macapat dalam Penggunaan Seni Pertunjukan

Pernahkah kita mendengar kondangnya Kethoprak Kodam IV Diponegoro, Kethoprak Jawa Timuran; Wahyu Budoyo dan Siswo Budoyo, juga sang penulis naskah Kethoprak Bondan Nusantara, atau pemain legendaris Kethoprak; Widayat dan Marsidah Jogja, Pujo Sewoko Tulungagung dan lainnya.

Menjadi sangat spesial ketika dalam gelaran kethoprak terdapat adegan percintaan (Gandrung), versi anak muda menyatakan cinta atau “Nembak,” disitulah macapat dijadikan maksud komunikasi atau dialog untuk menyampaikan pesan yang dilagukan atau ditembangkan dengan iringan garap karawitan, baik bentuk ketawang, jineman, palaran dan lainnya.

Namun, tidak hanya untuk adegan gandrung, bisa untuk adegan laga menyatakan perang, dengan ekspresi kemarahan maupun kesedihan atau pralaya akan kejadian yang menyedihkan.

Dalam seni pertunjukan lainya juga demikian, seperti pertunjukan sendratari Langendriyan, Mandrawanaran, dan Wayang Wong, yang dialog di dalamnya menggunakan tembang.

Khusus pada penyajian komposisi karawitan, macapat menjadi penyumbang terbesar lirik vokal pada garap gending karawitan, selain lirik pada Sekar Ageng dan Tengahan.

Sastra dan Musik dalam Perkembangan Modern

Tidak salah, bila tetembangan macapat dilagukan dengan iringan set orkes instrument keroncong, seperti pada keroncong gaya Surakarta. Manthous, membawakan gending-gendhing karawitan dan macapat dalam format campursari.

Begitu juga electone orgen tunggal atau keyboard, ringkesan, menyajikan karawitan dengan iringan elektronik.
Pun, dengan musik kolosal orkestra, musik epic, tembang macapat digunakan sebagai penguat narasi musikalitas.

Kreasi anak muda pun tak ketinggalan, kolaborasi musik dan instrumen etnik dengan mengambil repertoar gendhing karawitan dan macapat disisipkan dalam komposisinya. Jazz Etnik, Groovy Ballad, bahkan Dangdut, dengan menggandeng penyanyi keroncong atau sinden seperti Waljinah, Soimah, atau Endah Laras.

Dan, perkembangan itu terus berjalan ketika musik industri masuk dengan bentuknya yang sampling, menjadi musik elektronik.

Aplikasi atau software recording digital sudah sebegitu canggihnya, software seperti Sonar, Nuendo, Cubis, dan lainnya telah memberikan ruang berkreasi dengan alat music digital dan sampling.

Voice atau suara Syntheiser, Midi, Keyboard, sudah sedemikian canggih untuk menyajikan garap gending-gendhing klasik karawitan, yang hasilnya sangat mirip. Hal ini juga berlaku bagi musik tradisional di Nusantara, seperti; Gondang Batak, Talempong Minang, Gamelan Bali, Gitar Sape Kalimantan, dan lainnya.

Lantas, resahkah kita, tidak! Definisi kuno dan modern adalah bias, definisi klasik dan baru hanyalah garis waktu yang terus dan harus dilalui.

Hal yang terpenting adalah, mampukah modernitas yang sudah mengaktualisasi pakem klasik mampu ditangkap sebagai peluang baru. Peluang apa? bisnis dan industri. Merusak tradisikah? jati diri? tidak juga! Kemajuan teknologi tidak bisa dilawan, namun justru mampu ditangkap sebagai aneka peluang tanpa meninggalkan ruhnya.

Aloha ‘Oe, Maluku Tanah Pusaka hingga Pulanglah Uda menjadi Motif Lagu Budaya

Betapa cerdasnya teknologi yang masuk dalam algoritma seni, berkembang menjadi potensi pasar. Mereka mampu membawa seni tradisional Nusantara dalam gaya modern yang elektronik.

Bermain gamelan tak perlu repot membeli gamelan senilai 750 juta, bermain Talempong, Gondang Batak, Gamelan Bali dan sebagainya, cukup bermodal platform digital musik dan sederet aplikasi musik sampling didalamnya, terutama bagi content creator musik studio.

Terkait

Terkini