Manthous, Benyaminnya Jogja! Dari nge-Band hingga Nembang (2)
Nampaknya, pengalaman karir Manthous selama bermusik di Jakarta hingga pulang ke Gunung Kidul membentuk grup campursari CSGK, dan menggarap banyak album di Dasa Studio Semarang, telah menjadikan Manthous sebagai maestro campursari.
Lagu-lagu Manthous dalam versi campursari kebanyakan diambil dari lagu-lagu lama. Namun, juga banyak lagu yang diciptakan saat campursari telah dimulai, diantaranya; Rondo Kempling, Lare Gunung, Sopo Wonge, Sido Opo Ora, Ojo Sembrono, Ojo Digondeli, Getun, dsb.
Kerjasama dengan musisi lain juga dilakukan, lagu milik Budi Jolong/Eling-Eling Emut, Jujuk Eksa, A. Riyanto, Is Haryanto, Farid Harja juga dirilis ulang kembali. Untuk garap karawitannya, Manthous disupport oleh adiknya S. Harjono, yang mana juga seorang seniman adik letting Anjar Any.
Manthous mengangkat seniman-seniman daerah untuk berpartisipasi dalam grup CSGK yang digawanginya. Banyak sinden, penyanyi, pemain musik, niyogo (pemain gamelan) direkrutnya. Dan, hadirnya campursari mampu menggeliatkan ekonomi seniman daerah.
Apabila diperhatikan saat ini, bahwa komposisi musik dalam campur sari versi Manthous sangatlah sederhana dan mudah untuk ditiru. Namun orang sering lupa bahwa, kelahiran sebuah karya tersebut berawal dari ide kreatifitas didalamnya dari perjalanan panjang. Atas ide tersebut, tidak bisa dinilai hanya dengan materi, bahkan dikatakan mahal. Kemahalan tersebut terletak pada ide rumusannya. Jadi perlunya menghargai sebuah karya apapun dari melihat prosesnya yang berliku.
Manthous telah berhasil merevitalisasi kesenian daerah. Para anak-anak muda atau penyanyi orkes yang awalnya tidak mengenal tembang dan gending karawaitan, lewat campursari bisa mengerti dan turut melestarian, sekalipun dalam wadah yang berbeda, dari karawitan ke campursari.
Berangkat dari campursari tersebut, kini Manthous dikenal sebagai penyanyi dan tokoh campursari. Tetapi, sesungguhnya bagian yang bernama campursari tersebut merupakan gong dari rangkaian perjalanan berkesenian sang maestro.
Manthous, dari sekian banyak karyanya, rata-rata lagu yang diciptakan murni lahir dari rangkaian nada yang orisinil. Sangat sedikit lagu yang diambil dari potongan-potongan nada lagu yang sudah ada. Kekuatan nadanya sangat kuat dalam merepresentasikan suasana lagu. Bila sedih sangatlah menyayat hati, bila gembira riangnya bukan main.
Bagi penulis, ada dua lagu yang sangat indah, sense musikalitasnya membuat interpretasi pikiran dan hati sangatlah imajinatif, yakni Lamis dan Yogya Priangan. Sayang, sampai saat ini belum ada aransemen yang pas buat kedua lagu tersebut oleh beberapa cover. Akan sangat dahsyat dalam memaksimalkan nada dalam lagu Lamis dengan aransemen blues minor etnik dan pop etnik dalam lagu Jogja Priangan.
Takdir berkata lain, Manthous meninggal di puncak karir, Didi Kempot pun juga sama. Memang, pekerjaan seniman tidak semudah yang dikatakan orang, bekerja sambil hiburan. Jangan salah, justru profesi seniman yang pikirannya dipaksa untuk terus berkreasi mengharmonisasi dengan rasa hati dan keadaan sosial, telah membuat potensi kematian lebih awal.
Makmur, sehat dan bahagia selalu seniman Nusantara.
Manthous, tenang di sisi-Nya.
Selesai (asm)
(diolah dari beberapa sumber)
Manthous, Benyaminnya Jogja! dari nge-Band hingga Nembang (1)
Macapat dalam Medium Garap Penyajian Karawitan
Aloha ‘Oe, Maluku Tanah Pusaka hingga Pulanglah Uda menjadi Motif Lagu Budaya
Gloomy Sunday, Lagu Kematian hingga Bunga Terakhir Bebi Romeo
Lagu “Anoman Obong” Karya Ranto Edi Gudel, Dinamika Lagu Yang Unik-Sound of Nusantara