Manthous, Benyaminnya Jogja! Dari nge-Band hingga Nembang (1)

Nusantarapedia.net | JURNAL, SENI — Manthous, Benyaminnya Jogja! Dari nge-Band hingga Nembang
SIAPA yang tidak mengenal Manthous? Ya, hampir setiap orang mengenalinya dari warna suaranya yang serak-serak basah alias ‘ngombak banyu,’ kala menyanyikan lagu langgam Nyidam Sari atau Aja Lamis yang diperdengarkan melalui aneka media audio visual. Menggema di sudut-sudut kota dan desa, melintas batas – kelas dalam hiruk pikuk sosial khas Indonesia.
Manthous, jelas identik dengan budaya Jawa, sang pelopor musik genre campursari. Penampilannya yang nyentrik dengan busana adat jawa, membawakan tembang macapatan sampai ura-ura gendhing jawa, terlebih aneka format lagu langgam yang dibawakannya, telah membawa pada gaya baru berkesenian masyarakat jawa.
Melalui musik campursari, Manthous telah berjasa dalam keturutsertaannya merevitalisasi kesenian musik daerah, terutama musik jawa dari induk musik gamelan, wayang dan aneka metrum tembang jawa klasik.
Namun jangan salah, sesungguhnya karir bermusik Manthous panjang. Keidentikan Manthous sebagai bapak campursari, itu hanya bagian kecil dari perjalanannya di dunia industri musik Indonesia.
Opini mengenai Manthous seorang penyanyi langgam Jawa atau penginisiasi musik campursari, dibenarkan, namun sesungguhnya mengawalinya di episentrum kebudayaan Indonesia. Di Jakarta, Manthous muda berproses dengan pengetahuan etnomusikologi Indonesia, yang mana tempat berkumpulnya seniman Nusantara.
Mengenai Manthous lebih dalam, adalah seorang bagian dari tokoh etnomusikologi Indonesia, bahkan turut andil dalam membesarkan gairah musik industri Indonesia yang mulai menggeliat pasca 65.


Biografi Singkat
Manthous (almarhum), lahir di Kecamatan Playen, Gunungkidul, Yogyakarta pada tanggal 10 April 1950, Anto Sugiartono nama aslinya, menggunakan nama panggung Anto SG, Mantho dan terakhir Manthous, juga ditulis Manthou’s hingga familier dengan nama Manthous.
Mengawali karirnya di Jakarta sebagai pemain musik, penulis lagu, arranger, ihwal seorang musisi dan seniman. Aktif dari tahun 1969 sampai tahun 2001. Dari tahun 2001 sampai 2012 terkena penyakit gula hingga stroke ringan dan berat, sampai meninggal dunia pada 9 Maret 2012 umur 61 tahun.
Manthous dianugerahi 6 orang anak, serta meninggalkan dua istrinya Utasih Kusumawati (m 1972–2012) dan Deasy Liana (m 1982–2012). (Wikipedia – butuh rujukan)
Lahir dari pasangan Wiryo Atmadja (bapak) dan Sumartinah (ibu). Ayahnya seorang PNS/guru SMP di Gunung Kidul. Manthous anak ke dua dari enam bersaudara. Lahir dari keluarga terpandang, ayahnya yang seorang pendidik juga seniman budaya jawa membuat Manthous kecil mewarisi bakat keluarga.
Manthous kecil sudah akrab dengan gamelan, wayang, kethoprak dari lingkup keluarga dan lingkungan sosial tempat tinggalnya. Seni budaya jawa khas Mataraman (Jogja: red), telah menjadi satu kesatuan pandang dalam kehidupan keluarga dan lingkungan tempat dibesarkannya sang maestro.
Namun, Manthous kecil berbeda dengan lainnya, agaknya Manthous lebih tertarik pada gairah musik diatonis. Basic seni musik (budayanya) yang pentatonik (lima nada jawa, slendro dan pelog) sudah terbiasa. Manthous tertantang, ingin tahu lebih dalam mengenai musik diatonis, yang mana pada tahun-tahun tersebut musik diatonis masih sangat langka, baik dalam bentuk pentas panggung (seni pertunjukan) maupun audio recording berupa piringan hitam dan kaset tape recorder yang disiarkan di radio dan televisi, berupa sajian musik band (pop), keroncong, orkes melayu (dangdut), maupun musik etnik Nusantara lainnya.
Akhirnya, hal tersebut yang membuat kekecewaan ayahnya. Harapan pada umumnya orang tua di Jawa, ingin anaknya jadi pegawai negeri, pamong desa atau pejabat daerah. Kala itu musik diatonis masih berasa tabu. Namun tidak dengan Manthous, yang akhirnya melanjutkan sekolah tingkat SMA saja tidak, meski sempat meneruskan pendidikan SMA nya di Jakarta. Pilihannya jatuh pada bidang musik, meski harus merantau ke Jakarta dengan tanpa restu orang tua. (dikisahkan alm. saat penulis ngobrol dengannya tahun 2000 di studio 21, kediaman Mantho’us)
