Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (1)

8 Maret 2022, 17:02 WIB

Nusantarapedia.netMataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah

Selama 68 tahun Mataram Kartasura berdiri (1677-1745), hampir kehilangan peran dan kesempatan untuk membangun tatanan prajanya akibat perang saudara. Perang tahta jawa atas suksesi raja Mataram yang berjilid-jilid melahirkan era dan bentuk yang lebih baru lagi sebagai Mataram Surakarta. Pun tidak berhenti disitu, gaya monarki jawa baru pun lahir di kemudian.

Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, disusul Praja Mangkunegaran telah benar-benar tenggelam dari bentuk asli monarki jawa. Siapa lagi kalau bukan VOC dan Hindia Belanda aktornya, yang mengikis watak kultural jawa asli yang penuh spirit, konsisten bagai pendekar, menjadi mental feodal yang kompetitif, penjilat, sendiko dawuh. Juga faktor internal sendiri atas perebutan tahta oleh para Pangeran.

Tidak satunya kata dan perbuatan yang dibalut ke dalam aneka ruang dan media telah benar-benar menjadikan kultur yang tidak sehat. Hingga akhirnya, kesadaran kolektif sebagai puncak keterbelengguan bangsa jawa harus dilepaskan melalui masa kebangkitan Indonesia tahun 1908.

Jawa berada dalam matahari kembar yang tumbuh dari rahim yang tidak sehat, tak jelas arah dan tujuannya sebagai organisasi institusi. Sejarah jawa yang panjang dari akulturasi kebudayaan dunia harus terus mencari format ke dalam wadah yang ideal.

Kekuasaan telah membuat bongkar pasang tatanan yang berdiskursus tiada akhir. Kekuasaan telah menanamkan perlombaan untuk menjadikan yang terbaik dengan cara yang jauh dari nilai-nilai baik.

Setuju atau tidak, terserah anda? faktanya Indonesia yang juga lahir dari sumbangsih Mataram harus mencari format baru pada Pemilihan Umum Serentak 2024.

Catatan perpindahan Keraton Mataram dari Pleret ke Kartasura

Sri Susuhunan Hamengkurat II atau Amangkurat II, memerintah Mataram Kartasura tahun 1677-1703 M, berkedudukan di Keraton Kartasura (Sukoharjo/Solo).

Sebelumnya, Radan Mas Rahmat merupakan putra mahkota Hamengkurat I Pleret berkedudukan di Keraton Pleret (Bantul). Namun tragis buat sang raja yang harus melarikan diri ke daerah Banyumasan hingga meninggal dunia di Tegalarum Tegal, karena pemberontakan Trunojoyo Madura dan akibat serangkaian konflik internal kerajaan yang tidak berkesudahan.

Amangkurat I atau Susuhunan Hamengkurat Agung, tidak secakap ayahandanya Sultan Agung. Juga dengan putra mahkotanya Raden Mas Rahmat yang sama saja tabiatnya dengan ayahandanya. Keduanya terlibat konflik bapak dan anak yang berakibat fatal. Hancurnya Mataram Pleret karena keegoan keduanya.

VOC tidak bisa dituduh sebagai aktor utama kejatuhan Mataram Pleret. Pengelolaan atas kelangsungan sebuah praja tetap berada di pundak sang raja. Terlebih gaya birokrasi monarki Jawa yang super absolut.

Pada saat perang melawan Trunojoyo, VOC sudah membantu Raden Mas Rahmat dan ayahnya (Amangkurat I ), meskipun tidak total. Mas Rahmat meminta kepada VOC untuk melantiknya menjadi Raja Amangkurat II, atas banyak faktor dari latar belakang situasi dan kondisi Mataram pasca runtuhnya Mataram Pleret.

Pertikaian dengan Trunojoyo yang belum berakhir, ditambah Mataram yang sudah tidak mempunyai istana. Atas dasar tersebut posisi VOC di atas angin dengan memberikan opsi-opsi sebagai bergaining pada calon Amangkurat II. Atas dasar tersebut melahirkan Perjanjian Jepara (1667).

Perjanjian tersebut antara pihak Raden Mas Rahmat selaku pewaris Mataram dengan pihak VOC yang diwakili oleh Cornelis Speelman.
Isinya: daerah di pesisir utara jawa mulai Kerawang sampai Panarukan (hanya menyisakan Banten dan Batavia), digadaikan kepada VOC sebagai jaminan perang Trunojoyo dan serangkaian penataan berdirinya Mataram yang baru “Kasunanan Kartosuro.”

Tahun 1677, akhirnya Raden Mas Rahmat dilantik menjadi Raja Kasunanan Kartosuro (Hamengkurat Kapindo). Dalam perjanjiannya VOC berjanji dapat memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Benar juga, VOC bersama gabungan pasukan Mataram berhasil mengakhiri pergerakan Trunojoyo, bahkan Amangkurat sendiri yang menghukum Trunojoyo dengan ditusuk memakai keris, Trunojoyo tewas seketika!

Amangkurat II juga disebut sebagai Sunan Amral, karena raja pertama yang memakai busana kebesaran hasil campuran busana Mataraman dan busana militer VOC bernama Admiral. Penyebutan Admiral menjadi mudah dengan kata Amral dalam lafal Jawa, selanjutnya disebut Sunan Amral. Amangkurat II merupakan raja pertama yang dilantik oleh VOC.

Istana yang semula berada di Pleret dipindah ke Kartasura, karena istana yang lama dianggap sudah tercemar oleh pihak musuh maka harus dipindah. Dalam pemahaman kosmologi jawa para bangsawan waktu itu, keraton yang sudah pernah dikuasai musuh dipercayai tidak bisa membuat ketentraman dan kemakmuran praja. Mengandung spirit yang tidak baik.

Atas bantuan VOC keraton didirikan di sebelah barat bekas kerajaan Pajang. Nama Kartasura diambil dari nama istana eyangnya Sultan Agung di Kerta. Dari kata Kerta:Karto:Kartosuro, yang berarti tujuan yang tercapai, tujuan yang makmur:baik.

Sebelum Trunojoyo dihukum mati Amangkurat, masih berlangsung ketegangan yang cukup lama. Perang antara Trunojoyo yang bermarkas di Kediri dengan gabungan pasukan Kartosuro dan VOC menyerang Kediri.

Perselisihan antara Trunojoyo dengan Karaeng Galesong (sekutu saat penyerangan Amangkurat I), dapat diredam dengan jalur menikahkan kedua anak-anaknya.

Karaeng Galesong sebagai faksi politik yang berdiri sendiri terus bertempur dengan siapa saja termasuk VOC. Cukup merepotkan kompeni hingga akhirnya ada kesepakatan berdamai namun akhirnya deadlock.

Pertempuran terus berlangsung, Trunojoyo terdesak lari ke timur, sedangkan markas di Kediri dapat direbut. Markas tersebut berisi benda berharga milik Mataram dan pataka dari Majapahit hasil penjarahan di keraton Pleret, kemudian diberikan kembali VOC kepada Amangkurat II.

Perang belum berakhir dan menjadikan banyak poros dan afiliasi politik. Poros tersebut diantaranya: (1) Karaeng Galesong (Makasar-Madura ) vs VOC (Amangkurat-Arru Pallaka Bone dan faksi politik Ambon). (2) Trunojoyo (Karaeng Galesong-Makasar-Madura) vs Amangkurat (VOC-Sekutu-Arru Pallaka Bone dan Ambon).

Perang ini menggunakan medan pertempuran dihampir seluruh wilayah Jawa Timur. Hasilnya, semua dapat ditumpas oleh VOC dan sekutunya, pasukan Bugis Makassar pendatang bersama Karaeng Galesong keturunan pribumi dipulangkan ke daerahnya dan sebagian tetap tinggal di Jawa. Sedangkan Trunojoyo dihakimi oleh Amangkurat di Kediri.

Posisi Giri Kedhaton pada masa Mataram dikalahkan oleh Sultan Agung, kali ini bergabung dengan Trunojoyo yang sebelumnya turut menghancurkan Amangkurat I. Setelah kematian Trunojoyo, Giri Kedathon terus bersitegang dengan Amangkurat II namun berhasil dikuasai oleh Amangkurat II berkat bantuan VOC melalui Panembahan Notoprojo Adilangu (Kadilangu Demak).

Selanjutnya, adik dari Raden Mas Rahmat atau Amangkurat II yaitu Pangeran Puger, tetap tidak mau tinggal di istana baru Kartasura, namun tetap memilih tinggal di Kajenar dan Pleret, bekas istana ayahnya Amangkurat I dengan terus memobilisasi sisa kekuatan. Puger kecewa karena kakaknya yang pro VOC dan memindahkan istana.

Terjadi ketegangan antara Pangeran Puger dengan Amangkurat II (kakaknya) dan VOC, karena beredar isu bahwa Raja Amangkurat II bukan kakaknya, melainkan anak Cornelis Speelmen yang menyamar. Atas isu tersebut, meletuslah perang antara Pleret melawan Kartasura. Perang antara kakak dan adik, namun akhirnya Pangeran Puger menyerah.

Dibagian lain, Untung Suropati atau Sutawira Aji seorang pemuda dari Bali, menjadi budak pada keluarga VOC. Diberikan nama “Untung” karena membawa keberuntungan pada keluarga tersebut. Untung besar di jawa pada saat perbudakan marak dilakukan oleh VOC.

Atas penderitaan tersebut yang kemudian membuat Untung tumbuh menjadi pemuda pemberani untuk berniat membalas kelakuan VOC pada orang pribumi. Untung menjadi pemuda yang anti VOC dan memeranginya.
Nama “Suropati” didapat dari Sultan Cirebon. Untung berkelahi dengan Suropati, merupakan anak angkat Sultan, tetapi perkelahian itu terjadi atas kesalahan Suropati, akhirnya anak angkat tersebut dihukum mati dan nama Suropati diberikan padanya, akhirnya menjadi nama Untung Suropati.

Singkat cerita, Raden Ayu Gusik Kusuma, putri dari Patih Nerangkusuma di istana Kartasura yang sangat anti terhadap VOC, bertemu dengan Untung Suropati saat melakukan penyerangan terhadap VOC. Pemuda bernama Untung Suropati yang telah melakukan usaha terus bertempur dengan VOC, menjadikan terkenal. Dan akhirnya menikah dengan Raden Ayu Gusik Kusuma.

Apa Itu Almanak atau Penanggalan Sultan Agungan?

Di istana Kasunanan Kartosuro, Amangkurat II mengetahui betul pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap istana. Menjadikan banyak faksi kekuatan politik yang berkembang di istana maupun di luar. Ada kelompok yang pro pada istana tapi menentang VOC, ada yang pro pada keduanya, juga ada kelompok yang kontra dengan keduanya.

Dari pemetaan tersebut membuat sikap sang raja sangat berhati-hati, bahkan harus dilakukan dengan bermain mata pada banyak kelompok tersebut. Salah satunya pergerakan Patih Nerangkusumo dan Untung Suropati yang anti VOC terus menyusun kekuatan untuk berperang melawan kompeni. Usaha ini diketahui oleh Amangkurat II dan didukung secara terselubung karena takut diketahui VOC.

Serangkaian pertempuran melawan VOC yang digerakkan oleh kekuatan lokal diluar istana dengan melibatkan orang dalam istana dengan dukungan terselubung masif terjadi, membuat VOC kewalahan dan frustasi karena sulit mengidentifikasi mana lawan dan mana kawan. Peristiwa ini termasuk kematian Kapten Belanda bernama Kapten François Tack, seorang Kapten yang ikut membantu penumpasan Trunojoyo pada operasi pemadaman pemberontakan Untung Suropati.

Atas peristiwa tersebut VOC marah kepada Amangkurat II yang bersikap mendua kepada VOC dan membantu pergerakan terselubung melawan VOC. Memang benar, Amangkurat diam-diam membantu dalam serangkaian pergerakan Patih Nerangkusumo dan Untung Suropati melawan VOC di daerah-daerah yang didukung VOC, termasuk Pasuruan. Tetapi intelijen VOC akurat, bahkan menemukan surat-surat yang dikirim kepada Johor, Palembang, Cirebon, bahkan kedutaan Inggris untuk bersekutu melawan VOC.

Tahun 1703, Amangkurat mangkat, karena jatuh sakit memikirkan situasi di istana yang kacau. Sebelum kematiannya Amangkurat sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan VOC, namun sayang krisis kepemimpinan sudah mendera Kartasura. Banyak ketidakpercayaan antar pihak, kecurigaan terus mengemuka, gap kelompok politik semakin terlihat. Kekacauan di Kartasura kian rumit dan meluas.

Namun demikian, VOC tetap menguasai situasi dan kondisi. VOC memegang kemudi dan kartu truft atas kelangsungan Kartasura. Bahkan, banyak pula pihak-pihak yang mulai mendekat untuk kepentingan suksesi tahta Kartasura. Kegaduhan dimulai lagi di jilid kedua dan Perang Suksesi Jawa I dimulai.

Rangkaian ketegangan, konflik bersenjata yang melibatkan internal kerajaan, kerajaan sekutu, pemberontak, rakyat dan VOC sendiri dimulai pada masa ini dengan terang-terangan dan kepentingan masing-masing.

(bersambung bagian 2 …)

Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (2)
Mataram Pleret, Penaja Perang Suksesi Monarki Jawa

Terkait

Terkini