Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (2)

9 Maret 2022, 11:37 WIB

Nusantarapedia.netMataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah

Perang Suksesi Jawa I

Suksesi tahta melanjutkan kepemimpinan Amangkurat II menimbulkan banyak pro dan kontra. Timbul banyak pendapat, alasan, perselisihan, faksi dan friksi, yaitu antara Raden Mas Sutikno dengan Pangeran Puger. Hingga menjadikan beberapa kubu dengan kepentingannya masing-masing.

Raden Mas Sutikno yang dijuluki Sunan Kencet, karena kakinya yang cacat di tumitnya, adalah satu-satunya putra Amangkurat II. Sedangkan Pangeran Puger adalah adik dari Amangkurat II, putra dari Amangkurat I Pleret. Pangeran Puger adalah paman dari Raden Mas Sutikno.

Akhirnya, melalui proses yang panjang Raden Mas Sutikno berhasil naik tahta menjadi Raja Kasunanan Kartosuro yang ke tiga, tahun 1703-1705 M, dengan gelar: “Ing Sajumeneng Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Hamengkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah”

Pada masa pemerintahannya lebih pada konflik internal atas kekecewaan Pangeran Puger yang terus berlanjut sejak kakaknya dilantik menjadi Hamengkurat Kapindo.

Kubu Pangeran Puger tidak terima atas penobatan itu. Banyak kalangan istana yang mendukung Pangeran Puger untuk naik tahta. Karena banyak dukungan, Raden Suryakusuma (putra Pangeran Puger), akhirnya memberontak kepada Amangkutat III.

Dirasa membahayakan stabilitas Mataram dan kedudukan raja, akhirnya keluarga Pangeran Puger dihukum fisik dengan di kurung (penjara) agar tidak melebar kemana-mana. Karena pertimbangan kemanusiaan, atas bujukan Patih Sumabrata akhirnya keluarga Pangeran Puger dilepaskan.

Tahun 1704, Pangeran Puger meninggalkan Kartosuro. Kepergiannya menjadikan spekulasi para petinggi istana, jangan-jangan menyusun kekuatan baru. Hamengkurat III segera mengirim utusan untuk memburunya, benar saja, Pangeran Puger terendus keberadaannya pergi menuju Semarang.

Diam-diam, atas dukungan VOC di Semarang, Pangeran Puger mengikrarkan dirinya sebagai Raja Mataram atau Kasunanan Kartasura yang baru dengan sebutan Pakubuwono I. Setelah penobatannya di Semarang, segera mengambil langkah-langkah taktis untuk menggulingkan Amangkurat III.

Tahun 1705, gabungan mobilisasi pasukan Puger bergerak menyerang istana Kartasura. Dan, Amangkurat III tak kalah gesit dengan membangun pertahanan di Ungaran yang dipercayakan kepada Arya Mataram. Tetapi, ternyata, Arya Mataram telah bersekongkol dengan Pangeran Puger dan membantunya secara diam-diam, yang tak lain juga pamannya.

Atas penyerangan ini, Pangeran Puger berhasil menduduki Istana. Amangkurat III dan keluarganya lari menuju Ponorogo. Adipati Pasuruan Untung Suropati segera membantunya dengan mengirim prajurit untuk melindungi raja dan keluarganya.

Setelah berhasil menduduki istana Kartasura, gabungan kelompok Pakubuwono I yang terdiri dari; Pasukan Kartasura, Madura, Surabaya dan VOC menuju Pasuruan untuk menghabisi Untung Suropati. Benar saja, akhirnya Untung Suropati tewas dalam sebuah pertempuran di Bangil. Merupakan pertempuran besar yang melibatkan 46.000 pasukan.

Akhirnya, keturunan Untung Suropati dan keluarga Amangkurat III bertemu dan tinggal di Malang untuk mengasingkan diri, karena sudah tidak mendapatkan lagi posisi di istana.

Namun demikian, kubu Pangeran Puger atau PB I belum puas sampai disitu, kecurigaan akan lahirnya pergerakan baru terus muncul.
Penderitaan Amangkurat III belum berakhir, sampai tahun 1707 M, prajurit PB I terus memburu keberadaannya, dan keluarga Amangkurat III terus menghindar dari Malang ke Blitar menuju Kediri dan Surabaya sampai tahun 1708 M.

Belum berakhir sampai disitu, Pangeran Blitar mencari Amangkurat III sampai di Surabaya untuk meminta pusaka-pusaka warisan dari Mataram, namun tetap tidak diberikan, kecuali Pakubuwono I sendiri. Selanjutnya, oleh VOC, Amangkurat III ditahan di Batavia untuk diasingkan di Sri Lanka, hingga wafatnya tahun 1734 M.

Keberadaan pusaka-pusaka tersebut dimungkinkan turut serta dibawa ke Sri Lanka. Hanya Amangkurat III sendiri yang tahu selain pihak VOC. Sementara Pakubuwono I di istana Kartasura dengan hanya menyisakan sedikit pusaka, melegitimasi kekuasaannya bahwa pusakanya adalah masjid Demak dan makam Sunan Kalijaga.

Waktu terus berjalan, Pakubuwono I wafat tahun 1719, tahta Mataram Kasunanan Kartasura dilanjutkan oleh putranya, namun tidak dengan sebutan Pakubuwono II, melainkan Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi. Sebutan untuk Pakubuwono II dipakai dikemudian sebagai lanjutan setelah Amangkurat IV.

Jadi, kalau penggunaan nama Amangkurat diteruskan, Pakubuwono II adalah Amangkurat V, atau Amangkurat IV adalah Pakubuwono II.
Ini dimaksudkan sebagai penghormatan pada kedua belah pihak atau bentuk rekonsiliasi, agar keturunannya tidak saling terlukai atas peristiwa ini, selain untuk menjaga tradisi Mataraman setelah era Sultan Agungan dengan sebutan Susuhunan Mataram Amangkurat.

Perang Suksesi Jawa II

Selanjutnya, Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi yang kemudian melahirkan raja-raja di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta juga cabangnya, Kadipaten Pura Mangkunegaran dan Pura Pakualaman di Solo dan Yogya.

Amangkurat IV bertahta di Kasunanan Kartasura tahun 1719-1726 M, dengan gelar:
“Ing Sajumeneng Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Hamengkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IV ing Nagari Mataram.”

Amangkurat IV mempunyai putra yang hebat yang kelak bertahta di kerajaan Mataram Anyar, yaitu;
(1) Pakubuwana II (RM Prabasuyasa) pendiri Kesunanan Surakarta dari permaisuri atau garwa padmi.
(2) Pangeran Mangkubumi alias Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Yogyakarta dari garwa ampil (selir).
(3) Pangeran Mangkunagara, ayah dari Mangkunagara I, pendiri Kadipaten Mangkunagaran dari garwa selir.
(4) Kiai Nur Iman Mlangi, tokoh agama atau ulama di Sleman, Yogyakarta dari garwa ampil.

Masa mudanya bernama Raden Mas Suryoputra. Amangkurat IV/Jawi belum sempat membuat rumusan akan rencana kerja kepemerintahan, gaduh di istana terjadi lagi. Dalam era kepemimpinannya, istana terpecah menjadi beberapa faksi, yaitu; Amangkurat IV dan kedua adiknya, anaknya sendiri serta pamannya dan saudara lainnya.

Kedua adiknya tersebut, yakni; Pangeran Purboyo dan Pangeran Balitar, juga Pangeran Arya Mataram (pamannya). Termasuk anaknya sendiri Pangeran Mangkunegara turut bergabung. Juga muncul pemberontak lainnya yang masih terdapat hubungan saudara, yaitu Pangeran Arya Dipanagara dan Surengrana.

Pada tahun 1719, Pakubuwana I meninggal dunia, nampaknya menimbulkan kecemburuan banyak pihak atas tahta tersebut yang diberikan kepada Pangeran Suryoputra (Amangkurat IV).

Pangeran Balitar menobatkan dirinya sebagai Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana yang berkedudukan di istana Kertasekar, bekas istana Sultan Agung di Kerta (Bantul). Sedangkan Pangeran Arya Dipanagara mengukuhkan dirinya bergelar; Panembahan Herucakra berkedudukan di istana Madiun. Pangeran Arya Mataram, memilih keluar dari Kartasura, bersama pasukannya mencoba menyerang wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela.

Sementara adiknya yang lain, Pangeran Purbaya terus memberontak pada sang raja, dengan bergabung maupun berdiri sendiri dengan saudara yang lain didukung kalangan agamawan.

Adik, putra dan saudara dari Amangkurat IV tersebut berdiri sendiri-sendiri sebagai faksi kepangeranan dengan menyusun kekuatannya masing-masing, tentu untuk mendapatkan legitimasi dalam kepentingan tahta raja untuk Mataram Kartasura.

Situasi ini disebut sebagai perang suksesi Jawa jilid 2. Sebelumnya, perang suksesi tahta Jawa jilid 1 berlangsung pada tahun 1704-1708 M, antara kubu Amangkurat III melawan kubu Pangeran Puger/Pakubuwono I.

Dalam jilid dua ini, rakyat Jawa semakin terpecah belah, rakyatpun menjadi bingung, hingga banyak opsi untuk memilih bergabung dengan beberapa faksi tersebut, yang telah menyatakan diri dengan gelar penobatan dan kedudukan istana masing-masing.

Pangeran Balitar berhasil menguasai Jayapuspita (Mojokerto) untuk menggempur Arya Dipanegara di Madiun, Dipanegara kalah oleh prajurit Kartasura milik ayahandanya, akhirnya menyerah dan bergabung kembali bersama-sama di Kertasekar.

Amangkurat IV dibantu VOC melawan Arya Mataram di Pati, Aryo Mataram kalah dan dihukum gantung di Jepara (1719 )

Tahun 1720 M, Mataram Kartasura menyerang Kertasekar, Pangeran Balitar melarikan diri ke wilayah timur, sampai wafatnya di Malang tahun 1721. Sedangkan Jayapuspita (Mojokerto), sekutu Kertasekar juga meninggal karena sakit.

Tahun 1723, semua pemberontakan yang dipimpin oleh adik, anak dan saudara bersama sekutunya dapat diredam oleh Amangkurat IV bersama VOC. Oleh VOC, Pangeran Purbaya dibawa ke Batavia, Panji Surengrana (adik Jaya Puspita) dibuang ke Sri Lanka, Arya Dipanagara dibuang di Tanjung Harapan.

Meski Pangeran Purbaya ikut diasingkan di Batavia, oleh VOC dijadikan cadangan untuk menggantikan Amangkurat IV. Hal ini untuk menjaga kemungkinan bila Kartasura tidak bisa dikendalikan oleh VOC.

Setelah pemberontakan reda, Amangkurat IV sempat bersitegang dengan Bupati Madura (Cakraningrat IV), yang memilih ikut VOC karena menganggap lebih makmur daripada ikut Kartosuro. Namun segera dapat dilokalisir oleh Amangkurat Jawi dengan menikahkan putranya.

Tahun 1726 M, Amangkurat IV mangkat, spekulasinya karena diracun atau jatuh sakit memikirkan situasi di Kartasura yang terus bergolak. Tidak diketahui siapa pelakunya dan kematiannya menyisakan misteri.

Candi Banyunibo, Simbol Sakralitas Keheningan

Tahta selanjutnya dilanjutkan oleh putranya yang kemudian menjadi Pakubuwono II, yang tentu ditata oleh kompeni.

Raden Mas Prabasuyasa nama kecilnya, bertahta dan berkedudukan di dua istana, Mataram Kasunanan Kartasura dan Kasunanan Surakarta. (1) Mataram Kasunanan Kartasura tahun 1726-1742. Bergelar Pakubuwono II, sebagai Raja atau Susuhunan ke-5/terakhir di Kartasura. (2) Kasunanan Surakarta, dari tahun 1745-1749. Bergelar Pakubuwono II atau
Raja pertama Susuhunan Mataram di Surakarta.

Saat naik tahta, usianya baru 15 tahun. Terjadi kekisruhan di istana dengan melibatkan dua kolompok, pro dan anti VOC. Pro VOC dipimpin oleh Ratu Amangkurat (ibu suri) ibu PB II dengan Patih Cakrajaya yang anti VOC bersama dengan Arya Mangkunegara. Sebelumnya terjadi spekulasi bahwa tahta pengganti PB I adalah Pangeran Arya Mangkunegara.

Aryo Mangkunegara merupakan kakak dari Pakubuwono II (lain ibu) yang melahirkan Raden Mas Said, yang kemudian menjadi Adipati Mangkunegara I di Praja Pura Mangkunegaran (Surakarta).

Meskipun bersama Patih Cakrajaya yang anti VOC, tetapi Cakrajaya tidak senang dengan Pangeran Mangkunegara karena terlibat perang suksesi yang ke-dua. Cakrajaya berdiri sebagai faksi tersendiri yang memainkan peran standard ganda.

Cakrajaya membuat skenario untuk menjebak seolah terjadi perselingkuhan antara Pangeran Mangkunegara dengan istri selir Pakubuwono II, akhirnya raja yang lahir dari ibu suri Ratu Amangkurat marah dan menyuruh VOC untuk membuangnya ke Srilanka dan Tanjung Harapan.

Dibuangnya Pangeran Mangkunegara dengan harapan agar tidak berpotensi kudeta, karena Pangeran Mangkunegara berbahaya bagi kekuasaan VOC dan tahta PB II.

Oleh VOC dan Pakubuwono II, segala potensi yang mengancam tahta raja dan kekuasaan harus disingkirkan, termasuk mengganti jabatan Patih Danurejo dari Cakrajaya diisi Patih Natakusuma, karena sikap Cakrajaya yang anti VOC dan berseberangan dengan PB II. Patih Cakrajaya pun akhirnya turut dibuang.

(bersambung bagian 3 …)

Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (3)
Mataram Pleret, Penaja Perang Suksesi Monarki Jawa

Terkait

Terkini