Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (3)
Nusantarapedia.net — Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah
Setelah dibuangnya Pangeran Mangkunegara, tidak membuat keadaan di Kartasura stabil. Mangkunegara hanya salah satu di antara pangeran atau bagian pihak yang terlibat pada serangkaian kegaduhan.
Nampaknya luka lama atas perang suksesi yang berjilid telah menjadi turun temurun, seolah melahirkan tradisi baru. Aroma balas dendam dengan melibatkan kubu dan kelompok-kelompok terus terjadi. Para Pangeran terus bergerak untuk mendapatkan posisi, juga atas dasar kembalinya supremasi Mataram yang utuh tanpa intervensi VOC.
PB II yang masih belia, banyak yang mendekat untuk mempengaruhinya. Di luar istana, banyak daerah-daerah bawahan Kartasura yang terus masuk dalam pusaran kepentingan VOC dan istana sendiri. Hal ini dipengaruhi atas kepentingan bisnis daerah-daerah akibat poros kekuasaan yang ganda.
Pada masa kepemimpinan Pakubuwono II, banyak pihak yang tidak sependapat dengan kebijakannya yang dianggap lebih pro kepada VOC daripada memihak rakyat.
Serangkaian kekisruhan sering terjadi tidak hanya di internal tetapi meluas melibatkan rakyat sipil, hingga akhirnya muncul pemberontakan Raden Mas Garendhi dalam peristiwa Geger Pecinan. Atas peristiwa ini, istana Kartasura di pindah di desa Sala atau Kedung Lumbu. Selanjutnya menjadi nama Surakarta dan berdiri keraton Mataram Kasunanan Surakarta (1745).
Perang Suksesi Jawa III (Geger Pecinan)
Pangkal masalah dari serangkaian peperangan dalam perang suksesi jawa 3, sudah melebar tidak hanya persoalan tahta. Perebutan lahan ekonomi juga menjadi faktor penting.
Dalam rangkaian perang pada masa pemerintahan PB II, terkluster dalam kelompok besar, yakni; Perang antara pihak istana yang di dukung VOC dan sebagian daerah kadipaten milik Kartasura melawan pihak gabungan milisi rakyat, Tionghoa dan kelompok kepangeranan.
Raden Mas Garendhi diangkat sebagai Raja Kasunanan Surakarta di luar pranata keraton, oleh persekutuan Jawa-Tionghoa yang anti VOC. Dinobatkan menjadi Raja Kartasura di Pati, pada 6 April 1742 dengan gelar:
Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotogomo Sri Sunan Amangkurat V”
Dijuluki sebagai Sunan Kuning atau Soen-An-Ing oleh orang Tionghoa.
Pergerakan ini juga didukung oleh Raden Mas Said, anak dari Mangkunegara yang dibuang ke Sri Lanka. Selanjutnya menjadi Adipati Mangkunegara I, bersama Kapitan Sepanjang atau Khe Panjang seorang tokoh Tionghoa.
Raden Mas Garendhi merupakan cucu Amangkurat III yang kecewa atas pemberontakan Pangeran Puger yang menjadikannya dibuang ke Pati oleh VOC.
Faksi Tionghoa mendukung pergerakan ini, karna sebelumnya, Tionghoa selalu kalah dengan VOC bersama kelompok pergerakan Jawa. Gabungan antara etnis Tionghoa, Raden Mas Said dan rakyat menjadi simbol kedaulatan rakyat atas ketidakadilan VOC dan Pakubuwono II.
Selain itu, poros Madura-VOC, menjadikan banyak daerah di Jawa Timur bagian timur dan Madura sendiri jatuh ke tangan VOC. Namun sebelumnya, Cakraningrat IV yang selalu menjadi musuh Amangkurat dan Pakubuwono, bisa berdamai dengan menikah dengan putri PB I. Tetapi Cakraningrat berhasil membuat posisi tawar kepada VOC, hingga diberikannya kekuasaan yang lebih di daerah Jawa Timuran sampai Madura.
VOC menyetujui permintaan Cakraningrat karena wilayah VOC di daerah pesisir utara semakin terdesak oleh pergerakan gabungan Jawa-Tionghwa. VOC memintanya bergabung untuk melawan pergerakan tersebut. Hal ini merupakan dampak geger pecinan yang meluas di Batavia tahun 1740.
Dengan demikian, posisi Cakraningrat sangat penting bagi VOC maupun PB II. Sumber daya miliknya berperan penting dalam keperluan posisi tawar. Meski begitu hubungan ketiganya bersifat parsial/putus nyambung.
Tahun 1742, gabungan pasukan Sunan Kuning sempat bertempur di daerah Boyolali dan Salatiga, dalam penetrasi selanjutnya berhasil meringsek ke istana dan menduduki istana.
Pakubuwono II diamankan pihak VOC dan mengungsi di sekitar Ngawi.
Setelah berhasil duduk di istana, Amangkurat V merencanakan menyerang VOC di Semarang dengan 1.200 lebih pasukan, dipimpin oleh Raden Mas Said. Pertempuran pecah di Welahan Jepara, Lasem, bahkan di pulau Mandalika, namun pasukan ini kalah.
Atas peristiwa pendudukan istana oleh Sunan Kuning, dalam persembunyiannya, Pakubuwono II menyusun strategi bersama aliansi Mataram Kartasura yang masih setia, Madura dan VOC merencanakan pembalasan.
Tahun 1742, akhirnya penyerangan merebut kembali istana Kartasura terjadi, VOC mengkonsolidasi kekuatan di barat, wilayah Boyolali, Ampel dan sekitarnya. Sedangkan Cakraningrat Madura di Bengawan Solo, dan Pakubuwono II dari Ngawi, akibatnya Sunan Kuning terkurung dan kalah.
Sunan Kuning akhirnya melarikan diri. Tahun 1643, Sunan Kuning menyerah kepada VOC di Surabaya dan akhirnya di buang ke Semarang, Batavia dan Sri Lanka.
Posisi Madura (Cakraningrat) semakin kuat, namun tidak mau tunduk dengan VOC dan berusaha menundukan wilayah di timur yang menjadi bagian dari Kartasura maupun VOC. Namun konsentrasi militer yang dilakukan Cakraningrat buyar, akibat gabungan pasukan VOC dan istana yang jumlahnya sangat besar.
Cakraningrat dapat ditumpas oleh VOC dan melarikan diri ke Banjarmasin. Di sana Cakraningrat ditangkap oleh pemimpin setempat dan diserahkan kepada VOC. Cakraningrat pun berakhir. Wilayah Madura dan sebagian Jawa Timur kembali milik VOC dan PB II dengan pembagian yang telah disepakati.
Pakubuwono II mendapati keratonnya yang sudah hancur dan dianggap tercemar, akhirnya membangun keraton yang baru di Kedung Lumbu desa Sala pada tanggal 17 Februari 1745. Dengan demikian, berakhirnya Mataram Kasunanan Kartasura.
Daftar Raja-Raja Mataram Amangkurat
- Amangkurat I, berkedudukan di Pleret (Bantul)
- Amangkurat II, berkedudukan di Kartasura
- Amangkurat III, berkedudukan di Kartasura. Menggunakan sebutan Susuhunan Pakubuwono I.
- Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi, berkedudukan di Kartasura. Tidak menggunakan sebutan Pakubuwono II
- Pakubuwono II, berkedudukan di Kartasura dan Surakarta. Tidak menggunakan sebutan Amangkurat V. Sebutan Amangkurat V digunakan oleh Raden Mas Garendhi atau Sunan Kuning.
Mataram Kasunanan Surakarta
Sejak pemindahan keraton tanggal 17 Februari 1745 dari Kartasura ke Surakarta, status Mataram Kasunanan Surakarta sebagai lanjutan Kartasura, belum disebut sebagai Mataram Anyar yang kemudian di pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Setelah perjanjian Giyanti 1775 M, Mataram benar-benar jatuh ke tangan VOC, sekaligus mengakhiri Kerajaan Mataram Islam.
Mataram Kasunanan Kartasura, benar saja bila sejak kelahirannya pun sudah kisruh. Tak heran bila tumbuh kembangnya terus gaduh. Benar-benar perang saudara yang Ruwet, Mbulet dan Mbundet.
Pemimpin yang lahir dari pecah belah akan terus berpotensi pecah belah.
Selesai
Ronggo Warsito, Pujangga Pamungkas Sastra Jawa Klasik
Kepustakaan ;
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa.
Adji, Krisna Bayu ; Achmad, Sri Wintala. (2014). Sejarah raja-raja Jawa : dari Mataram Kuno hingga Mataram Islam.
Graaf, Hermanus Johannes de (2001). Awal Kebangkitan Mataram.
Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647.
Kartodirdjo, A. Sartono, dkk. (1995). Negara dan Nasionalisme Indonesia; Integrasi, Disintegrasi, dan Suksesi.
Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara.
Iswara N Raditya (2018). Belanda Membelah Jawa dengan Perjanjian Giyanti.
Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (1)
Mataram Pleret, Penaja Perang Suksesi Monarki Jawa