Melingsir, Mengusir dan Terusir di Bhumi Malayu (Prahara di Tanah Rempang-Galang [1])
Nilai-nilai kebangsaan seperti yang ada pada masyarakat adat tidak mengenal akan legalitas formil administrasi yang dibuat oleh organisasi atau negara yang dijalankan oleh pemerintahan/kekuasaan (government), karena melekat, telah dulu ada sebagai bagian yang fundamental.
Nusantarapedia.net | JURNAL – POLHUKAM — Melingsir, Mengusir dan Terusir di Bhumi Malayu (Prahara di Tanah Rempang-Galang [1])
Oleh : B. Ari Koeswanto ASM
“Bagaimana dalam hal ini negara (pemerintah) memutuskan itu menjadi keharusan. Apakah hal itu sudah tidak bisa untuk dilakukan renegosiasi, penjadwalan kembali atau reschedule?”
Juga, bisa saja kawasan Rempang-Galang ini sudah masuk ke dalam jerat hutang, yang mana sudah terjadi politik tukar tambah hitung-hitungan ekonomi dan keuangan dalam kesatuan pandang “penyelamatan” atau “peningkatan” APBN 2024?
HAK asal asul masyarakat atau indigenous, yang secara makro disebut dengan entitas suku (kesukuan) dan bangsa (kebangsaan) adalah kodrat Tuhan.
Tiada satu pun entitas masyarakat di dunia ini yang dapat memilih atas takdirnya sebagai suku atau bangsa tertentu. Tiada pula atas ketetapan-Nya menghindari takdir itu sebagai orang gunung maupun orang laut.
Tuhan senantiasa telah menciptakan umat manusia dengan penuh kemakmuran, dimanapun itu berada. Di situ ada kehidupan di situ tergelar kemakmuran.
Jazirah Arab yang tandus dan gersang nyata adanya, seperti bukan tempat yang layak untuk hidup, namun sesungguhnya, terkubur di dalam tanah sumber kehidupan, yaitu minyak bumi dan mineral yang tiada habisnya. Pun dengan Nusantara, adalah bumi emas tanah airku, gemah ripah loh jinawi. Tak perlu menggali bumi untuk mendapatkan minyak dan emas. Emas itu, ya gunung, laut, hutan, sungai, sawah dan ladang dengan kesuburan yang tiada terkira. Tongkat batu pun jadi tanaman!
Juga bangsa Eropa menjadi cerdas atas dorongan lingkungan yang ekstrem, memaksa otak untuk berpikir melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna merekayasa lingkungan, hingga menjadikannya sebagai bangsa berkultur pembelajar dan pemikir, semata untuk bertahan melangsungkan (keberlanjutan) hidupnya. Begitu juga dengan bangsa Afrika (negro) yang fisiknya besar dan kuat dibentuk oleh alam yang ganas.
Di situlah kiranya Allah mencukupkan kebutuhan hidup manusia, mengadilkan seluruh umatnya, agar bhumi ini selalu tegak (ada) sebagai bagian dari ketetapan itu sendiri, bagi (tanda) orang-orang yang mau berfikir dan beriman.
Selanjutnya, manusia sebagai suku-suku atau bangsa mengacu pada penduduk asli, disebut sebagai orang pribumi atau bumiputra dalam istilah (konteks) ke-Indonesiaan.
Kata pribumi adalah penegasan itu, bukan dalam stigma sebagai entitas budaya (masyarakat adat) yang anti pada bangsa pendatang, atau kelas sosial yang lebih tinggi, juga tuan rumah yang angkuh. Pendududuk asli yang dimaksud, mempunyai hak kepunyaan atau kepemilikan (penguasaan) yang mutlak atas Tanah Air dan ekosistem sosial budaya di dalamnya. Sekali lagi atas kodrat!
Dalam konteks hadirnya sebuah negara, syarat berdirinya negara adalah adanya wilayah, rakyat dan syarat formil seperti adanya pemerintahan dan pengakuan dari bangsa atau negara lain. Di sinilah negara meminta wilayah dan rakyat sebagai modal. Donatur berdirinya negara adalah adanya kesatuan masyarakat adat, meskipun sebelumnya entitas yang dimaksud di bawah kekuasaan kerajaan maupun kekuasaan monarki lainnya.
Sebuah bangsa lahir atas kodrat, sebuah negara lahir atas semangat yang sama untuk menyangga kelestarian entitas kebangsaan. Dengan senasib dan sepenanggungan, entah karena penderitaan maupun kebahagiaan. Negara tercipta dari proses merebut kemerdekaan dari tangan agresor maupun ikrar berdirinya sebuah negara.
Nilai-nilai kebangsaan seperti yang ada pada masyarakat adat tidak mengenal akan legalitas formil administrasi yang dibuat oleh organisasi atau negara yang dijalankan oleh pemerintahan/kekuasaan (government), karena melekat, telah dulu ada sebagai bagian yang fundamental.
Jelas, kebangsaan merepresentasikan nilai pewahyuan (penciptaan), sedangkan organisasi negara hanyalah kesepakatan bersama, bahkan ada negara yang berdiri hasil dari pendudukan (kolonialisme). Nilai kebangsaan adalah nilai yang otentik sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan, sedangkan negara adalah bentuk rekayasa antar manusia. Disinilah negara itu bertindak sebagai mandatory rakyat.
Sebelum hadirnya institusi – organisasi yang disebut negara, hak-hak tersebut sudah melekat – berlaku pada kelompok-kelompok masyarakat, yang kemudian disebut dengan masyarakat adat, juga masyarakat pribumi dengan identitas kesukuan dan kebangsaannya yang khas dalam membangun peradabannya.