Memahami Iman-Iman Yang Lain

22 Mei 2024, 17:31 WIB

Nusantarapedia.net | RELIGI — Memahami Iman-Iman Yang Lain

Oleh: Alvian Fachrurrozi

– semua agama itu tidak bisa lepas dari pemberian hormat dan sakralitas akan sesuatu hal yang bisa memicu munculnya semangat spiritual. Imajinasi pendukung ikonoklasme (kaum puritan perusak patung, makam, relik, lukisan, dan citra-citra religius) sebagaimana yang dianut Wahabisme (dalam konteks Islam) pada akhirnya akan menemui kebuntuan dan utopia –

“Sebab sesungguhnya yang lebih berbahaya itu bukan kultus-kultus bendawi, tetapi kultus pemberhalaan terhadap pemikiran, ide, dan ajaran yang merasa dirinya paling benar di segala tempat dan zaman.”

DULU, dulu sekali, berkaca pada pengalaman saya sendiri. Saya pernah pernah mempunyai “keyakinan” jika umat-umat agama lain (di luar agama saya) itu adalah orang-orang dengan IQ jongkok, yang mau-maunya disuruh menyembah dan menuhankan benda-benda seperti patung. Apa nalar sehat mereka itu dihack permanen oleh setan atau apakah Tuhan itu memang sebegitu lucunya, hingga membuat dagelan dengan menciptakan orang-orang bodoh di luar keyakinan agama saya itu.

Bahkan mereka itu tidak menyembah satu patung atau satu batu berhala yang dijadikan kiblat tunggal, melainkan menyembah dan menghormat pada banyak patung. Jadi pikir saya waktu itu, kebodohan umat agama lain senyatanya memang berlapis-lapis dan akut. Mereka selain menyakini jika Tuhan itu berwujud patung dengan seni indah yang mereka ciptakan sendiri, tetapi Tuhan itu juga mereka yakini ada sangat banyak, bukan Tunggal, bukan Maha Esa seperti dalam Pancasila yang merupakan falsafah kebangsaan negeri ini.

Tetapi apakah faktanya memang benar begitu? Apakah benar umat agama-agama lain itu adalah orang-orang dengan nalar primitif yang menyembah dan menuhankan patung, sehingga perlu dicerahkan kejahiliyahannya? Apakah benar ajaran-ajaran agama lain itu tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila dan sehingga patut diusir dari negeri ini?

Dan ternyata oh ternyata! Semua itu hanya iman jahat dan kegoblokan radikal saya, sebuah kebodohan polos yang sangat memalukan.

Tetapi setelah mempelajari pemikiran Psikologi Perkembangan Jean Jacques Rousseau (yang selanjutnya ‘saya kira’ mempengaruhi ajaran spiritual Jiddu Krishnamurti dan Osho), akhirnya saya mengetahui jika semua keyakinan jahat nan bodoh itu sesungguhnya tidak berakar dari kesadaran primordial atau kesadaran alamiah saya, melainkan semua itu bermula dari “pengkondisian” racun pemikiran ngawur yang dijejalkan oleh masyarakat dan lingkungan sosial di mana saya berada.

Sehingga wajar dulu saya merasa pede dan jumawa dengan kebodohan saya dalam memandang umat beragama lain itu, bahkan tanpa mempelajari ajaran dasar agama mereka saya sudah merasa paling mengerti ajaran dan seluk beluk kesesatan mereka.

Bahkan saya pikir, dulu saya tidak hanya terjangkiti iman yang bodoh tetapi juga terjangkiti iman yang penuh kedurhakaan.

Bagaimana tidak? Dulu saya tidak hanya “menyakini” jika agama-agama produk impor lain penuh kebodohan, bahkan saya juga “menyakini” jika spiritual yang asli lahir di negeri ini juga penuh kebodohan, dimana para leluhur begitu bodohnya tidak tahu soal sepele tentang keesaan Tuhan, sehingga perlu diberitahu oleh bangsa dari negeri lain.

Terkait

Terkini