Memahami Kemiskinan Bersama Hamsad Rangkuti

16 Februari 2022, 06:37 WIB

Nusantarapedia.net — Memahami Kemiskinan Bersama Hamsad Rangkuti – Tulisan ini muncul dari pembacaan saya terhadap buku kumpulan cerpen karya Hamsad Rangkuti berjudul Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah. Sebuah karya epik dari cerpen-cerpennya yang terbit bertebaran di berbagai media masa besar kala itu.

Boleh dikatakan bahwa tulisan ini tak jauh-jauh dari  resensi buku. Namun saya lebih memahami tulisan ini sebagai refleksi atas pembacaan saya, yang mana jikalau disebut resensi, saya kira pembahasan yang ditampilkan lebih serius dan universal, sedangkan tulisan ini serius saja belum dapat.

Kendati sudah sejak lama saya tidak membaca karya sastra, rasanya, kembali membaca karya sastra seperti memasuki labirin keindahan yang tak bisa kita dapati saat kita membaca buku-buku teori yang maha berat di kepala. Meski ibarat labirin, saya kira tersesat dalam pembacaan karya sastra sama sekali tidak menjadi suatu kekhawatiran dan menurut saya justru perlu dirayakan adanya.

Karyanya dalam memotret kemiskinan dengan gaya yang khas laiknya labirin yang indah juga menyeret kita bermuara kepada jawaban dari pertanyaan “apa ciri kongkrit dari miskin dalam kehidupan?”.

Kata Sapardi dalam pengantar buku ini, Hamsad ialah sosok yang piawai menggambarkan setiap realitas dengan sedetail mungkin. Meski obyek realitas yang kita amati sama dengan yang Hamsad amati pula, ia akan memberi potret narasi yang lebih tajam dan holistik daripada yang kita amati. Bahkan Sapardi menyebut Hamsad sebagai tokoh realis jika Hamsad seorang pelukis.

Oleh sebab itu kita tidak perlu susah payah menemukan kepiawaiannya karena membaca buku ini tidak menuntut harus komprehensif dan urut dari awal sampai akhir laiknya kita membaca buku teori. Kita hanya perlu membaca satu cerpennya dan kita akan menangkapnya.

Squid Game dan Fakta Kemiskinan di Indonesia

Sapardi lebih lanjut menuturkan bahwa buku ini secara menarik memotret figur yang oleh semua kalangan tak menghendaki menjadi bagian dari mereka, “kere” atau miskin, Poor, kelas bawah, Mustadh’afin, dsb. Sebab figur mereka adalah salah satu contoh kongkrit anomali pemahaman manusia yang sampai saat ini selain belum final dipahami, untuk tidak dikatakan tidak jelas, parameter maupun tingkah kongkritnya di kehidupan, juga dalam masyarakat kadung disebut sebagai biang kemunduran peradaban.

Bagaimana tidak? para analis terkemuka yang dipercayai dunia ketika mengukur kemiskinan hanya berdasar pendapatan mereka dan daya beli mereka. Miskin adalah mereka yang pendapatan juga daya belinya tak lebih dari 2 dolar AS per hari. Padahal ini hanya sebuah kemiskinan buatan mereka yang terkonstruksi oleh tangan panjang pasar bebas dunia yang hegemonik. Buktinya, tanpa pendapatan 2 dolar para petani pegunungan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya karena sudah disediakan oleh alam dan sisa dari hasil kebunnya bisa digunakan untuk biaya sekolah anak.

Jikapun kita menemukan figur yang kita anggap sebagai penolong kaum miskin mereka hanya sibuk untuk mendorong si miskin turut berkompetisi dalam sirkuit yang tidak adil dan tak pasti. 

Biasanya, mereka menganjurkan untuk upgrade pendidikan, keterampilan, relasi, dan lingkungan agar tercerahkan. Padahal jelas, yang berhasil dari yang gagal lebih banyak kegagalannya.

Kembali lagi pada karya Hamsad, bahwa karyanya dalam memotret kemiskinan dengan gaya yang khas laiknya labirin yang indah juga menyeret kita bermuara kepada jawaban dari pertanyaan “apa ciri kongkrit dari miskin dalam kehidupan?”.

IMG 15022022 172443 700 x 467 piksel 1
Kemiskinan secara umum adalah keadaan saat ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Yang jelas, Kita tidak bisa menemukan parameter kontemporer berupa pendapatan per-kapita, GDP, penguasaan aset, jaminan hari tua, dan lain sebagainya seperti yang sudah di singgung di atas.

Di sini (dalam karya Hamsad) kita diajak memahami detail dari tingkah laku kongkrit si miskin dalam setiap peristiwa, bukan dalam pola dialog batin mereka atau idealisme otak mereka, yang kadang justru bercampur dengan analisa yang kurang matang tadi.

IPM dalam Hak Hidup, Amanat Konstitusi dan Distribusi Keadilan

Artinya, cerpen ini tidak menyuguhkan pergulatan batin seorang yang miskin tentang hidupnya, maupun angan cita-cita si miskin menyoal masa depannya, apalagi narasi normatif orang miskin yang kadang diromantisir baik para politisi kadal saat kampanye atau agamawan feodal ketika sedang berkotbah.

Buku ini hanya memberi kejelasan aktual tingkah laku orang miskin. Yang oleh sosok Sapardi, dalam pengantarnya, ia sebut sebagai kejahatan sekaligus kekonyolan orang miskin.

Kita bisa memperhatikan beberapa alenia dari cerpen berjudul “Perbuatan Sadis”:

“Dia mengenakan kalung emas yang kutaksir dua puluh gram. Aku gellisah melihat kalung emas itu, sedang dia tenang-tenang saja. Dia buka sedikit kerah bajunya karena terik matahari itu. Kalung emas itu tampak dengan jelas lekat pada kulit dadanya yang putih. Dia seolah tampak ingin menyombongkan perhiasan itu. Memamerkan miliknya pada orang lain. Pada saat seperti itulah datang dua orang lelaki dari dalam gang dan langsung menodongkan dua pucuk pisau belati. Satu diarahkan kepadaku. Kejadian itu sangat singkat. Kalung emas itu dirantapkan oleh laki-laki yang menodongkan pisau belati ke leher si wanita dengan tangannya yang tak memegang pisau. Kalung itu tampak putus dan menimbulkan bekas merah pada wanita itu…

Aku lihat wanita muda itu tenang-tenang saja…

“Jangan Bung pikirkan kejadian itu. Itu kalung imitasi!

“Anda mengenakan kalung imitasi itu untuk apa?” Tanyaku

“…..makanya kita sesekali harus mengejek kemiskinan itu. Kedua orang itu terkecoh!”

Alenia diatas berikut dialog tokoh Aku dan Wanita Muda inilah yang disebut sebagai kejahatan dan kekonyolan kaum miskin oleh Sapardi.

Disini menceritakan kekonyolan wanita muda yang mengenakan kalung imitasi hanya untuk menipu orang lain, jelas wanita ini miskin, dan di saat yang bersamaan terjadi peristiwa perampokan yang tak lain adalah bentuk kejahatan kaum miskin lainnya.

Namun benarkah simplifikasi seorang Sapardi sepenuhnya tepat? Bahwa hanya kaum miskin yang bisa melakukan kekonyolan dan kejahatan sekaligus dalam realitas kehidupan mereka. Seperti yang saya singgung di atas tadi bahwa simplifikasi Sapardi ini problematis.

Inilah 10 Cara Hidup Hemat Agar Bisa Menabung – Coba dan Rasakan Manfaatnya!

Hal tersebut umum terjadi pada para sosok yang kita anggap sebagai intelektual. Bisa jadi sebab terlalu berjaraknya mereka dengan realitas kaum miskin, bisa juga karena tak memahami analisa kelas sosial dan kompleksitas nalar orang miskin yang dipahami oleh seorang cendekiawan yang tidak punya empati mendalam.

Saya kira Seabrook bisa menjadi jembatan pemahaman kita kepada kaum miskin yang disebut Sapardi sebagai konyol dan jahat itu. Seabrook, secara ringan memberikan gambaran betapa pembangunan saat ini hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan.

Alih-alih mengejar kesejahteraan umat manusia justru pembangunanisme laiknya pendulum yang di satu sisi mengayun pada pertumbuhan ekonomi yang amat tinggi, di sisi yang lain mengayun pada pemiskinan absolut sebab masyarakat dilucuti akses produksinya dan diarahkan menjadi buruh. Ini umum terjadi di negara berkembang.

Akhirnya, dari terbatasnya industri yang ada di sebuah negara meniscayakan residu berbentuk kaum papa sebab tak terserap sebagai tenaga kerja, dari sini muncullah kekonyolan dan kejahatan.

IMG 15022022 171830 700 x 448 piksel 1
Mereka hanyalah manifestasi dari subyek yang telah tersingkir untuk mengais rasa aman untuk dirinya hari itu juga tanpa dalih memperoleh standar kehidupan yang ditetapkan orang-orang kaya seperti hari libur, kolam renang, menonton film di bioskop, kecukupan gizi, layanan internet stabil, dsb.

Padahal menurut Seabrook, perilaku kaum miskin ini hanyalah sebuah upaya agar dirinya mendapat rasa aman di tengah gelombang pembangunan yang tak pasti. Sebagai kaum miskin mereka tak berhak memperoleh kepastian yang kini dikomersialkan.

Sosok perempuan yang mengenakan kalung imitasi dan perampok yang tertipu bukanlah atau tidak sesederhana disebut sebagai figur konyol dan jahat.

BTS Meal dan Fetisisme Komoditas

Mereka hanyalah manifestasi dari subyek yang telah tersingkir untuk mengais rasa aman untuk dirinya hari itu juga tanpa dalih memperoleh standar kehidupan yang ditetapkan orang-orang kaya seperti hari libur, kolam renang, menonton film di bioskop, kecukupan gizi, layanan internet stabil, dan sebagainya.

Bukankah kekonyolan dan kejahatan yang lebih sistematis dan kolosal telah dipraktikkan mereka yang berpunya ketika mereka melakukan ekspansi produk, ekstraksi surplus, monopoli, akumulasi keuntungan, dan sebagainya.

Ternyata menyisakan nasib bekerja yang rentan kemiskinan, alam yang rusak, petani yang gagal panen, nelayan yang tak mendapat hasil tangkapan? Sayangnya, kekonyolan dan kejahatan ini kadung dianggap sebagai keharusan dari peradaban modernisme.

Terkait

Terkini