Memaknai ”Indonesia Pusaka” di Tengah Wabah

- beta menyadari dirinya (individu) berhadapan dengan tanah air yang merasa memiliki tanah air itu sebagai miliknya pribadi: Indonesia tanah air beta, tetapi bukan berarti milik ia pribadi yang sesungguhnya

27 April 2022, 13:17 WIB

Nusantarapedia.net — Memaknai ”Indonesia Pusaka” di Tengah Wabah

“Penggambaran romantis memang mengajak pada sesuatu yang indah dan menyentuh perasaan walaupun terkadang bertolak belakang dengan kenyataan dalam penulusuran yang mendekati realitas.”

Oleh Edi Warsidi
Penulis tinggal di Bandung, bekerja di ITB Press

Memaknai ”Indonesia Pusaka” di Tengah Wabah

Di tengah wabah Covid-19 yang makin meresahkan, ada satu komunitas yang memberikan pencerahan dan membangkitkan semangat bangsa Indonesia yang sedang berjuang memutus mata rantai penyebaran virus mematikan tersebut. Komunitas Melting Pot namanya; mengoordinasi sebagian anak-anak pelajar untuk menyanyikan secara bersama-sama lewat media daring, salah satu lagu perjuangan karya Ismail Marzuki, yakni lagu ”Indonesia Pusaka”.

Menyanyikan lagu ”Indonesia Pusaka” di tengah wabah Covid-19 sangat mengharukan, tetapi menjanjikan suatu harapan ke masa depan dan memperkuat keyakinan akan keabadian tanah tumpah darah tercinta.

Indonesia tanah air beta/Pusaka abadi nan jaya/Indonesia sejak dulu kala/tetap dipuja-puja bangsa//Di sana tempat lahir beta/Dibuai dibesarkan bunda/Tempat berlindung di hari tua/Sampai akhir menutup mata.

Wacana Pamungkas

Konsep syair lagu itu bercerita tentang individu dari lahir hingga akhir hayat, sedangkan kehidupan sesudah kematian, merupakan narasi lain lagi—yang diambil dari sumber lain sebagai wacana pamungkas, yang dalam semiotika sastra dikenal sebagai studi interteks.

Dalam bait ini, beta menyadari dirinya (individu) berhadapan dengan tanah air yang merasa memiliki tanah air itu sebagai miliknya pribadi: Indonesia tanah air beta, tetapi bukan berarti milik ia pribadi yang sesungguhnya.

Sama dengan orang yang mengatakan, ”Bung, ini kampung beta,” bukan berarti seluruh kampung tersebut miliknya pribadi, melainkan artinya ia ini penghuni kampung itu atau punya hubungan historis dengan kampung tersebut tempat ia bisa mudik ke sana pada saat-saat tertentu.

Demikian pula dengan ”pusaka abadi nan jaya,” tidak berarti ia memusakai sebagai warisan untuk hak yang sesungguhnya, seperti memusakai tanah waris dari orang tuanya yang bisa ia jual atau dihibahkan kepada pihak lain. Pusaka di sini berarti milik bersama.

Hal itu menunjukkan bahwa ungkapan lirik lagu itu bersifat romantis. Sebagai individu, beta sangat terbatas dibandingkan dengan tanah air yang akan terus terselenggara walaupun beta telah mati. Tanah air yang berusia 75 tahun mungkin dalam takaran usia negara masih muda, sedangkan angka usia itu pada beta, pertanda perannya tidak terlalu lama lagi akan berakhir sebab beta saat ini sudah jarang yang mencapai usia 80 tahun, sedangkan tanah air kemungkinan mencapai usia1000 tahun itu masih terbuka, sebagaimana diungkapkan Chairil Anwar, ”Aku ingin hidup seribu tahun lagi,” yang dimaksud secara real dalam metafora itu adalah aku sebagai simbol tanah air.

Penggambaran romantis memang mengajak pada sesuatu yang indah dan menyentuh perasaan walaupun terkadang bertolak belakang dengan kenyataan dalam penulusuran yang mendekati realitas. Misalnya, pernyataan ”wajahnya bagai bulan purnama” adalah pernyataan romantis, tetapi tatkala orang telah sampai bulan ternyata permukaan bulan itu kasar dan mengandung batuan, romantisme pada bulan jadi berkurang.

Beta juga melihat tanah air sebagai tempat kelahiran; tempat ia dibesarkan; tempat ia berlindung di hari tua; dan tempat ia menutup mata. Beta menggambarkan proses lahir, hidup masa kecil, hidup di hari tua, dan saat kematian. Ada satu bagian kehidupan beta yang ia tidak singgung dalam syair; saat beta menjadi pemuda dan manusia dewasa.

Padahal, masa itu adalah bagian yang sangat signifikan sebab kehidupan di kala muda dan sebagai manusia dewasa itu lebih realistis penuh dengan cobaan dan tantangan kehidupan. Pada saat itulah seseorang menjadi tokoh; pemuka agama, pengusaha, perajin, pedagang, dan pemimpin yang perlu ingat akan adanya tanggung jawab sesudah mati karena kala itu tidak ada amnesti (syafaat) sama sekali.

Adapun kehidupan romantis memang ada ketika masih kecil, setelah tua (nostalgia) ketika sampai akhir menutup mata (alyaqin). Kehidupan setelah kematian itu sebaliknya akan mengungkap kembali kehidupan realitas dunia sebagai wacana pamungkas (Q.S. al-Muddatsir: 42—47).

Pada suatu tempat, terjadi dialog orang di dalam surga tentang orang yang berdosa. Salah satu pertanyaan kepada orang berdosa, ”Apakah sebabnya kamu sampai masuk Saqar?”

Orang di Saqar menjawab, ”Beta (kami) di dunia tidak teratur ibadah” dan kami tidak membela hidup orang miskin, bahkan kami berlaku tidak adil kepada mereka dengan mengambil harta mereka, menggusur dengan aniaya, curang, dan berkolusi, lupa bahwa akan ada hari terakhir. Beta melakukan hal itu hingga hari tua sampai akhir menutup mata (hataa atanaanal yaqiyn).

Gloomy Sunday, Lagu Kematian hingga Bunga Terakhir Bebi Romeo
Hari Kartini, Momentum Literasi Perempuan
Memahami Kemiskinan Bersama Hamsad Rangkuti
Dua Pisang, Uang, dan Topeng
Jalur Pantura dan Pansela, Solusi Menghindari Puncak Mudik 28 – 30 April 2022 di Jalur Tol

Terkait

Terkini