Membaca Isu Penculikan Anak? (Hantu Pocong-Dukun Santet-Kolor Ijo)

- Isu ini telah menjadikan kepanikan dan bahkan cara berfikir yang i-rasional, klenik, sampai halusinasi hingga di tingkat sosial -

4 Februari 2023, 15:52 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Humaniora — Membaca Isu Penculikan Anak? (Hantu Pocong-Dukun Santet-Kolor Ijo)

“Namun kekecewaan itu kemudian menjadikan kebingungan pikiran yang tidak mampu diuraikan oleh sosial namun dirasakan dalam praktiknya.”

PUBLIK Tanah Air resah atas isu penculikan anak yang marak terjadi hampir di seluruh Indonesia sebagai teror. Hampir seluruh instansi pemerintah daerah (Pemda) hingga institusi vertikal (Polisi) dan pihak yang berkepentingan mengambil kesimpulan tegas bahwa isu penculikan anak adalah hoaks. Meskipun “hoaks” yang dimaksud tetap diiringi himbauan untuk hati-hati dan waspada. Menandakan sebagai langkah agar tidak dipersalahkan bila muncul kasus yang nyata meski sangat kasuistik dan variabel, tidak mewakili isu penculikan anak secara umum.

Isu penculikan anak dengan bumbu jual beli organ tubuh, yang didalamnya melibatkan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), dsb, telah membuat teror (kepanikan) bagi orang tua terhadap keberadaan anak-anaknya, karena anak adalah kelompok rentan yang belum mampu melindungi dirinya, belum mengerti batasan hak-hak individu dan umum, wilayah privat dan sosial. Menjadi kewajaran bagi para orang tua, pun dengan kesigapan pihak pemerintah untuk meluruskan isu tersebut sebagai bagian dari terjaganya situasi keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara umum bentuk stabilitas keamanan nasional.

Reaksi Orang Tua
Tak perlu panik bagi para orang tua, selalu siaga dan waspada, jaga jarak dengan orang asing, jaga durasi obrolan dengan orang tak dikenal, dsb. tentu kalimat-kalimat umum yang lazim sebagai bentuk menenangkan suasana bathin dan praktik di lapangan.

Selain itu, pandangan orang tua yang dianggap lemah dalam menjaga anak-anaknya di luar rumah atau di sekolah dan lingkungan sosial, serta perlunya peran serta pengawasan di sekolah dan di masyarakat oleh pihak yang berkepentingan adalah bentuk aware satu sama lainnya. Hingga kemudian bentuk protektif para orang tua telah menjadikan ketakutan bagi anak-anak untuk bermain di luar rumah atau berinteraksi dengan dunia luar.

Bahkan anak-anak atas isu/aksi dan reaksi orang tua dan pihak lainnya, telah membawa anak pada kondisi mean world syndrome atau sindrom dunia kejam, adalah fenomena atau kepercayaan seseorang dalam mempersepsikan dunia lebih kejam dan menakutkan daripada kenyataannya.

Kompleksitas Faktor
Di atas adalah isu dan kasus nyata dalam hubungannya dengan pengambilan sikap. Lantas, ada apa, bagaimana, dan benarkah isu penculikan anak itu? Sampai saat ini polisi mengatakan bahwa isu tersebut adalah hoaks, verifikasi pada kasus ini secara umum adalah dis-informasi atau hoaks atau isu, meski di beberapa kasus penculikan anak diverifikasi sebagai benar-benar kasus.

Isu ini telah menjadikan kepanikan dan bahkan cara berfikir yang i-rasional, klenik, sampai halusinasi hingga di tingkat sosial. Banyak faktor, misalnya akan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, sedangkan penghasilan hanya pas-pasan. Nilai mata uang tidak sepadan dengan jerih payah bekerja bila dikonversi dengan nilai barang-barang kebutuhan (biaya hidup). Dalam arti telah nampak kemiskinan struktural.

Dalam kesimpulan, perlunya dilihat akan distribusi keadilan yang sesungguhnya di tingkat akar rumput. Bagaimana pemenuhan hak hidup dalam indeks pembangunan manusia (IPM) benar-benar dalam praktik yang adil, seperti kebutuhan makan yang layak dan standar, kebutuhan pendidikan yang benar-benar gratis tidak menimbulkan syarat dan ketentuan lanjutan, dan kebutuhan biaya kesehatan yang benar-benar adil tanpa syarat atas hak-hak manusia/individu sebagai makhluk yang diciptakan (kodrati).

Paradoksal kekayaan alam dengan praktik kesejahteraan, upah yang sepadan, tidak menjerat dalam supplai and demand, menjerat hasrat dan keinginan, serta informasi yang “benar” memanusiakan manusia tidak memanipulasi pikiran akan praktik wacana publik tentang arti hidup yang ideal, bermartabat sesuai dengan kodratnya. Tidak nampak (massive) hal yang manipulatif, di awangawang, semu, dsb. setidaknya perlu dihitung sebagai faktor triger dan akumulasi dari kebijakan akan berkembangnya isu-isu sosial yang mempengaruhi mood pikiran dan suasana kebatinan rakyat (sosial).

Isu yang tengah berkembang di masyarakat atas akumulasi ketidakadilan misalnya, di tingkat sosial tidak terlihat koneksi kemarahan, kekecewaan atas sebuah kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil. Namun kekecewaan itu kemudian menjadikan kebingungan pikiran yang tidak mampu diuraikan oleh sosial namun dirasakan dalam praktiknya.

Contohnya, hampir seperti teori “bola liar” atau premis mayor dan minor. Akibat kekecewaan dari kebijakan A, karena ketidaktahuan menguraikan persoalan, yang harusnya kekecewaan itu ditujukan kepada A, justru diperuntukkan untuk B, sebaliknya akar persoalannya ditimbulkan oleh B, tetapi pelampiasannya kepada A dan C hingga D.

Di sinilah kekuatan pengolahan informasi publik yang manipulatif dan “berhasil” untuk sebuah kepentingan, namun tetap ada batas kekuatan bertahannya, yaitu ketika urusan tuntutan hidup tidak terjadi lagi keseimbangan (linier). Akhirnya, satu kasus penculikan yang nyata dapat menjadi isu nasional atas imajinasi dan pelampiasan kekecewaan dan kebingungan di atas. Diibaratkan orang bergembira di tengah kehilangan kegembiraan. Berarti semu!

Terkait

Terkini