Membaca Kenaikan Tarif TN Komodo, Terdapati Kesamaan Pola dengan Borobudur

Untuk itu perlunya dikaji ulang, sejauh mana bentuk investasi tersebut berkeadilan, sejauh mana kapling kawasan strategis nasional yang kemudian dijalankan oleh Badan Otorita berpihak kepada rakyat kecil.

3 Agustus 2022, 12:48 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Tourism — Membaca Kenaikan Tarif TN Komodo, Terdapati Kesamaan Pola dengan Borobudur

“Muncul spekulasi, bagaimana kalau Danau Toba juga akan diberlakukan hal yang sama, seperti di Candi Borobudur dan TN Komodo dengan argumentasi yang sama pula, yaitu konservasi cagar budaya, alam dan penggeliatan ekonomi itu sendiri bagi masyarakat,”

Pada Senin, (27/6/2022) yang lalu, Koordinator Pelaksana Program Penguatan Fungsi TNK Carolina Noge menyampaikan perihal rencana kenaikan tiket masuk dan pembatasan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Komodo dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TN Komodo)

Akhirnya, pemerintah secara resmi per Senin, 1 Agustus 2022, harga tiket masuk ke TN Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) resmi naik. Tarif yang sebelumnya Rp.150 ribu menjadi Rp.3,75 juta.

Selain tarif, juga diberlakukan pembatasan jumlah pengunjung lebih kurang 200 ribu per tahun dengan sistem manajemen kunjungan terintegrasi berbasis reservasi online.

Hasil dari kajian perhitungan pihak TN Komodo, bahwa tiket sebesar Rp.3,75 juta tersebut agar sebanding dengan biaya konservasi sebagai kompensasi dari setiap adanya kunjungan, yang mana berkisar antara Rp.2.943.730 hingga Rp.5.887.459.

Pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Jokowi mengatakan, bahwa kenaikan tarif tersebut sebagai upaya menjaga kelestarian kawasan konservasi sekaligus meningkatkan ekonomi pemerintah setempat lewat kepariwisataan. Antara konservasi dan keinginan meningkatkan ekonomi lewat tourism, lewat wisatawan harus seimbang.

Hubungannya dalam hal ini, TN Komodo yang akan dikhususkan untuk konservasi adalah Pulau Komodo dan Pulau Padar. Sedangkan Pulau Rinca sebagai bagian dari TN Komodo, meskipun juga terdapat hewan Komodo tetapi tidak secara khusus untuk konservasi Komodo. Wisatawan masih bisa melihat komodo di Pulau Rinca dengan tarif yang masih sama, atau tarif sebelumnya.

Dengan demikian, tarif Rp.3,75 juta tersebut berlaku di Pulau Komodo dan Padar, jika dengan tarif yang murah cukup di Pulau Rinca.

Selain argumentasi tersebut, bahwa kenaikan tarif masuk TN Komodo juga atas usulan dari para pegiat lingkungan dan konservasi, tujuannya untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi tersebut.

Atas kenaikan tarif masuk TN Komodo dan pembatasan jumlah pengunjung tersebut, memicu dan mengundang reaksi dengan aksi dari banyak pihak, terutama pelaku kepariwisataan dari hulu sampai hilir yang berhubungan dengan TN Komodo atau dalam kesatuan kepariwisataan di Labuan Bajo.

Dikutip dari CNN, banyak pelaku pariwisata yang menentang kebijakan tersebut:

“Ini namanya pemerintah membunuh kami secara perlahan,” kata Wakil Ketua DPC Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri) Manggarai Barat Budi Widjaya pada demonstrasi beberapa hari lalu.

Media labuanbajo.id, melaporkan situasi pada Senin (1/8/2022), di hari pertama pemberlakuan aturan tersebut bandara Komodo sepi, ada juga hotel yang sudah tutup bookingan online-nya, ada beberapa tempat usaha juga yang meliburkan sementara karyawannya sambil melihat perkembangan suasana di Labuan Bajo.

Sebelumnya, Bupati Manggarai Barat (Mabar) Edistasius Endi, meminta semua tempat usaha tetap dibuka dan beraktivitas seperti biasa.

“Manggarai Barat ramah, aman, dan nyaman untuk dikunjungi dan kami menjamin keamanan seluruh wisatawan, masyarakat yang berada di Labuan Bajo dan yang akan berkunjung ke Labuan Bajo, menginap di hotel, maupun yang berlayar di objek wisata, termasuk menjamin keamanan di lokasi objek wisata, kata Edistasius, Sabtu (30/7/2022) malam.

Dampak dari kenaikan tarif tersebut terus mengular, sebanyak 10 ribu turis batal ke Labuan Bajo. Dalam laporan CNN (2/8/2022), Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Labuan Bajo, Ignasius Suradin mengatakan lebih dari 10 ribu wisatawan domestik dan mancanegara membatalkan kunjungannya ke wilayah tersebut.

Ignasius mengatakan, akibat pembatalan kunjungan wisatawan tersebut, sangat mempengaruhi ekonomi pada sektor pendukung pariwisata di Labuan Bajo. Ada salah satu hotel bintang yang kehilangan 600 kamarnya, belum lagi dampak lanjutannya pada pembatalan terhadap travel agent, kapal-kapal, hotel yang lain.

Diperkirakan, akibat pembatalan kunjungan wisatawan tersebut kehilangan potensi sebesar lebih kurang Rp.1 triliun, dari gabungan seluruh pelaku kepariwisataan, mulai dari travel agent, perhotelan, kapal wisata dan lainnya.

Dengan demikian, dampak dari kebijakan tersebut tidak hanya berlaku khusus pada TN Komodo, tetapi seluruh destinasi wisata lain yang berada di Labuan Bajo dan di wilayah Flores juga ikut terdampak. Tak sedikit akhirnya, para calon wisatawan domestik maupun mancanegara mencoret pariwisata Labuan Bajo dari daftar liburan.

Sementara itu, media detik.com melaporkan, telah terjadi aksi mogok pelaku pariwisata di Labuan Bajo, bahkan sempat terjadi kericuhan dengan aparat.

Aksi mogok tersebut dilakukan oleh pelaku pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT. Diberitakan ratusan pelaku pariwisata di Labuan Bajo menggelar aksi bersih-bersih dan pungut sampah di Puncak Waringin, namun sejumlah aparat bersenjata telah menangkap, dan sejumlah orang dikabarkan mengalami luka-luka, pada Senin (1/8/2022) siang.

Rio Prakoso, Ketua Asosiasi Dokumentasi Lokal di Manggarai Barat, menjelaskan para pelaku pariwisata di Labuan Bajo sepakat mogok dan menolak harga tiket masuk TN Komodo Rp 3,75 juta.

Media floresa.co, juga melaporkan perihal langkah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno yang menanggapi aksi mogok masal dari para pelaku pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT dengan membuat video himbauan yang dipublikasikan lewat media sosialnya, direspon dengan kritikan keras.

“Saya menghimbau semua pelaku usaha pariwisata ekonomi kreatif untuk menahan diri, tetap utamakan dialog secara transparan terbuka dengan tentunya hati yang sejuk dan pikiran yang tenang. Mari sama-sama kita duduk bersama mencari solusi”, kata Uno dalam video di akun Twitter-nya @sandiuno.

Sandi menerangkan bahwa kenaikan harga di TN Komodo menjadi upaya untuk melestarikan habitat asli Komodo, merujuk kepada pernyataan Presiden Joko Widodo pada saat kunjungan ke Labuan Bajo Juli lalu, bahwa melihat Komodo bisa di Pulau Rinca, kalau ingin lebih ke Pulau Komodo dan Padar, tetapi dengan tiket yang berbeda.

“Jadi meminjam bahasa Bapak Presiden, komodonya sama, mukanya sama, bentuknya juga sama, kulitnya juga sama. Bisa para wisatawan berkunjung di kawasan Pulau Rinca,” sebut Sandi.

Postingan Menparekraf tersebut, ditanggapi netizen dengan kritik yang keras. Pada umumnya mereka mempertanyakan klaim kenaikan tiket sebagai kebijakan dengan tujuan konservasi dan menyayangkan represi atas gerakan protes warga.

Seperti akun @rikardrahmat menulis “Pak @Saindiuno, yang terjadi di L Bajo, pemerintah pakai dalih konservasi, itu pun tidak masuk akal, padahal sebenarnya mau invasi investasi ke TNK. Jangan tipu masyarakat…”

Tak berhenti sampai di situ, akun @kawanbaikkomodo juga memposting daftar perusahaan-perusahaan yang diberi izin untuk membuka resort dan jasa wisata di dalam kawasan konservasi, meminta Menparekraf untuk menjelaskan kaitan antara klaim konservasi dengan keberadaan perusahaan-perusahaan itu.

Lanjut akun @kawanbaikkomodo, sebagai akun kolektif pegiat lingkuan, juga mengkritisi Menteri yang tidak mengambil langkah konkret dan cepat.

“Situasi sudah genting, menterinya hanya bikin himbauan. Mengaku siap berdialog, tp dlm pembicaraanya membela kebijakan yg dikritik warga. Tdk ada langkah konkret dialognya kapan dan di mana. Di lapangan warga diperlakukan dgn kekerasan aparat” tulis @kawanbaikkomodo.

Terdapati Kesamaan Pola

Cara pemerintah untuk menaikkan tiket di TN Komodo mirip dengan cara menaikkan tiket untuk TW (Taman Wisata) Candi Borobudur yang sebesar Rp.750.000, dengan alasan yang juga sama, yaitu demi menjaga kelestarian cagar budaya. Dan justru langkahnya dibuat setinggi itu menaikkan tarif sebagai pintu pembuka skenario besar.

Alasan guna konservasi candi Borobudur dan konservasi lingkungan hidup telah menjadi argumentasi yang sangatlah bijak, namun dirasa memberatkan banyak pihak, dan dampaknya bagi tatanan masyarakat sungguh besar, terutama hal perekonomian dan aspek sosiologis lainnya, yang mana sebelumnya sudah berjalan mapan.

Muncul spekulasi, bagaimana kalau Danau Toba juga akan diberlakukan hal yang sama, seperti di Candi Borobudur dan TN Komodo dengan argumentasi yang sama pula, yaitu konservasi cagar budaya, alam dan penggeliatan ekonomi itu sendiri bagi masyarakat, meskipun tidak ada peta jalan (potensi) yang menjadikan ekonomi masyarakat menggeliat.

Bila argumentasinya hal pertumbuhan ekonomi, se-urgent itulah kenaikannya hingga mengambil resiko besar dampak lanjutan di sektor mikro.

Artinya, sudah terjadi komersialisasi di tingkat makro di pelbagai bidang, khususnya potensi kepariwisataan, yang mana seolah-olah Indonesia sudah kehabisan potensi ekonomi untuk diambil, hingga kenaikan tarif seperti di dua tempat wisata tersebut dilakukan.

Lantas, mengapa harus TN Komodo, Borobudur, dan lainnya yang kemudian ada kesan keputusan tersebut ada deal tertentu di tingkat atas, yakni akan ada migrasi investasi dan pengembangan kawasan yang arahnya tentu bisnis, tetapi bisnis global atau international yang sebelumnya telah di kluster sebagai kawasan strategis nasional.

Dengan demikian, nilai penting dan strategis nasional dalam rencana zonasi Kawasan Taman Nasional Komodo, Candi Borobudur adalah bermaksud dijadikannya kawasan tersebut sebagai destinasi international kawasan wisata super VVIP. Yang mana sebagai kawasan khusus, elit, bergengsi yang telah disepakati oleh pihak tertentu atau dikelola, bahkan dimiliki pihak tertentu.

Bila dugaannya seperti itu, pasti by design itu sudah meng-infiltrasi ke dalam sisi regulasi. Pernahkah kita tahu lebih dalam mengenai Badan Otorita, seperti Badan Otorita Batam, atau Badan Otorita Ibu Kota Negara, dan, muncul Badan Otorita Borobudur, Badan Otorita Pelaksana Labuan Bajo Flores (BPOLBF), juga Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba.

Bila arahnya demikian, logikanya, berapa banyak titik kawasan di Indonesia sebagai kawasan strategis statusnya dapat dirubah menjadi wilayah kawasan yang dikelola oleh Badan Otorita. Baik kawasan strategis nasional di bidang kepariwisataan, sektor migas, dan sektor-sektor lainnya.

Untuk itu perlunya dikaji ulang, sejauh mana bentuk investasi tersebut berkeadilan, sejauh mana kapling kawasan strategis nasional yang kemudian dijalankan oleh Badan Otorita berpihak kepada rakyat kecil.

Dibaca, telah terjadi rencana eksploitasi jangka panjang yang membelenggu. Argumentasi percepatan dan pembangunan diamini, tetapi apakah begitu caranya, padahal upaya percepatan pembangunan dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas rakyat di pelbagi sektor.

Untuk argumentasi pembatasan sebanyak 200 ribu kunjungan pertahun, memangnya selama ini kawasan tersebut sudah over pengunjungnya di atas 200 ribu.

Tilik Simbah-Milik Simbah, Borobudur Penjaga Identitas Kultural
Aku Bersedih … Kugantungkan Harapan dan Cita-Cita Indonesia, Setinggi Candi Borobudur
Integrasi Pembangunan Kepariwisataan dengan Strategi Kebudayaan (1)
Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah (1)
PSN Rampung Semester I 2024, hingga Skenario Pemangkasan Jumlah PSN dan Relasinya dengan IPM (1)

Terkait

Terkini