Membaca Peluang 3 Poros Pasangan Capres 2024 (1)
Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional
Nusantarapedia.net — Membaca Peluang 3 Poros Pasangan Capres 2024 (1)
“Statistik tersebut menunjukkan bahwa, sistem pemilu di Indonesia belum menunjukkan pola yang ideal, dari sisi penyelenggaraan dan dari output tujuan diselenggarakannya pemilu, juga dirasa belum menghasilkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal seperti amanat konstitusi.”
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah wadah kedaulatan rakyat untuk menuju cita-cita, seluruh rangkaian tatanan dan tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara diawali dari pemilu.
Pengantar
Keinginan politik, hak, ide, gagasan warga negara dapat tertuang dan diwakili oleh partai politik, ataupun perorangan melalui mekanisme pemilihan langsung (eksekutif).
Pemilu dalam rangka membentuk sistem, otomatis memilih pemimpin sebagai implementasi kekuasaan, dengan mekanisme yang demokratis dan konstitusi. agar tidak terjadi oligarki kekuasaan, maka pemilu dilaksanakan dengan agenda rutin lima tahunan, otomatis sebagai perhitungan periode/tahun kekuasaan sebuah jabatan, dengan harapan terjadi polarisasi, bukan ditafsirkan sebagai kegaduhan atau keterbelahan.
Pada awalnya, khusus untuk pencalonan presiden dan wakil presiden, ada dua kubu usulan. Kubu yang sepakat mengenai jumlah pasangan capres-cawapres yang menghendaki dua pasang calon saja, dan kubu yang menghendaki tanpa ambang batas presidential threshold.
Ide untuk menghendaki hanya terdapat dua paslon juga dibenarkan, namun hanya dari sudut pandang efisiensi proses penyelenggaraan pemilu. Di sisi lain berimplikasi negatif terhadap demokrasi, karena peluang politik yang lebih terbuka alias inklusif bagi setiap warga negara menjadi hilang kesempatan dengan aturan yang berat atas hak konstitusi setiap warga negara. Kesempatan ‘nyalon’ akhirnya hanya milik elite parpol atau tokoh didalamnya.
Sedangkan kubu yang menghendaki dihapusnya ambang batas capres, beralasan tumbuhnya demokrasi. potensi keterbelahan atau kegaduhan ditafsirkan sebagai sikap dewasa dalam dinamika kehidupan berpolitik Indonesia.
Pada sistem threshold untuk parlemen, atau parliamentary threshold bagi partai politik, tarik ulur ambang batas pun juga terjadi. Hal tersebut buah dari kepentingan parpol dengan hasil pemilunya agar membuka celah yang menguntungkan bagi setiap parpol untuk memposisikan diri pada analisa peluang apapun secara strategis.
Berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Partai atau koalisi partai yang berhasil memperoleh minimal 25 persen suara atau 20 persen kursi di DPR, yang dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) ada yang menilai membatasi jumlah capres yang maju dalam Pilpres 2024.
Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal 222 UU Pemilu berbunyi;
“Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Pasal 222 UU Pemilu tidak memiliki konsistensi dengan Pasal 6A UUD 1945 karena dalam Pasal 6A UUD 1945 tidak disebutkan nominal persen ambang batas pencalonan presiden.
Begitu juga polemik mengenai perliamentary threshold. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) disebutkan bahwa ambang batas parlemen adalah sebesar 4% atau dengan kata lain partai politik yang memiliki suara 4% berhak untuk memperoleh kursi di parlemen. Hal tersebut menjadikan beberapa parpol kandas menjadi peserta pemilu di 2024.
Di atas hanyalah sekelumit proses menuju pelaksanaan Pemilu 2024 yang terus berdinamika dalam kepentingan politik terhadap regulasi. maupun utak-atik regulasi yang dinarasikan massiv untuk agenda kepentingan kelompok, parpol dan lainnya.
Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024 sebagai agenda politik bangsa dan negara Indonesia akan dihelat dalam konsep serentak. Serentak yang dimaksud mengandung pengertian sebagai sistem baru sebagai solusi atas gelaran pemilu sebelumnya yang dianggap belum ideal, belum bisa mewujudkan harapan demokrasi dalam konteks konstitusi.
Namun, di sisi lain, keserentakan yang dimaksud buah dari berubahnya konstitusi yang menghadirkan rasa dan praktik pemilu berciri kapitalistik materialistik dengan diamandemennya UUD 1945. Pemilu dengan menghasilkan kompromi politis yang ujung-ujungnya terkorelasi antara kekuasaan dan lahan ekonomi.
Sistem dan praktik pemilu pun dengan pilihan langsung presiden dan kepala daerah ditengarai sudah terjebak dalam politik elektoralisme kapitalistik materialistik. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian semua pihak. bukan persoalan regulasinya, meski itu ada pengaruhnya, namun yang paling pokok, bagaimana ‘good will’ niat baik dari instrumen politik di Indonesia untuk tidak terjebak dan menjerumuskan diri dalam orkestrasi bisnis pemilu, pra dan pasca pemilu.
Bergaining dan posisi tawar didalamnya harus bermuara pada tujuan konstitusi itu sendiri agar Indonesia menjadi maju, adil dan makmur serta berkeadaban.
Road Map Pemilu Indonesia
Sejarahnya, Indonesia telah melaksanakan gelaran pemilu sebanyak 12 kali. Pemilu pertama digelar tahun 1955, dilanjut pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Dalam pelaksanaannya, regulasi yang mendasari dilangsungkan pemilu terus berubah disetiap pemilu akan dihelat. Artinya, argumentasi dinamika di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terus berkembang, meski hal itu ada, namun undang-undang pemilu massiv berubah di setiap pelaksanaannya. Statistik tersebut menunjukkan bahwa, sistem pemilu di Indonesia belum menunjukkan pola yang ideal, dari sisi penyelenggaraan dan dari output tujuan diselenggarakannya pemilu, juga dirasa belum menghasilkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal seperti amanat konstitusi.
Timbul pertanyaan? mengapa Indonesia senang dengan mengganti dan merevisi undang-undang, apakah hal tersebut dilakukan benar-benar sebagai tujuan penyempurnaan agar goal dari tujuan bernegara cepat dicapai. ataukah justru bongkar pasang regulasi tersebut bukti dunia telah meng-infiltrasi Indonesia yang masuk melalui celah regulasi, partai politik, organisasi dan potensi masuknya perembesan tersebut, yang muaranya tentu menjadikan Indonesia gaduh hingga tidak tercapainya tujuan konstitusi yang nyata, melainkan bias. Tentu sederhana alasannya, potensi sumber daya alam yang kaya, sumber daya manusia yang murah dengan memanfaatkan jumlah demografi.
Kekecewaan bangsa ini atas ketidakadilan pemerintah Hindia Belanda, telah melahirkan semangat baru bangsa dengan lahirnya Budi Utomo, Sumpah Pemuda (era pergerakan), dan kemerdekaan. Setelahnya, orde lama dan orde baru pun masih menyisakan berbagai persoalan yang belum tuntas. melahirkan keterbelahan yang bahkan hingga kini narasi dari keduanya masih sering hadir dalam panggung politik kekinian.
Era baru pun lahir, masa reformasi. Apa yang didapatkan. yang jelas telah melahirkan bentuk baru dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, seiring berlangsungnya era globalisasi dunia yang terus masuk ke dalam berbagai tatanan di seluruh dunia. Hanya negara-negara yang kuat, yang mampu bertahan sebagai negara dengan cita-cita yang ideal (idealisme). Dalam pointnya, globalisasi telah menyeret negara-negara ke dalam definisi negara yang berkedaulatan dan negara yang dimanfaatkan, negara maju dan berkembang, negara kaya dan miskin, mental highlander dan inferiority.
Reformasi pun berlangsung, dan amandemen UUD pun terjadi. Selama masa reformasi, amandemen telah berlangsung sebanyak empat kali.
(bersambung bagian 2)
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Reformasi
Membaca Peluang 3 Poros Pasangan Capres 2024 (2)
11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)
Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah (1)
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
Pendulum Kapitalisme dan Sikap Intelektual Muslim Kita (2)
Memahami Kemiskinan Bersama Hamsad Rangkuti
Squid Game dan Fakta Kemiskinan di Indonesia
Soneta Tatengkeng, ”Berikan Aku Belukar” Kekayaan Semesta yang Terabaikan dalam Proses Pembelajaran