Membaca Peluang 3 Poros Pasangan Capres 2024 (2)
Sementara, bagian kue yang besar milik kaum kapitalistik yang semakin berjaya dengan segala akses kemudahannya yang datang dengan beragam siasatnya

Nusantarapedia.net — Membaca Peluang 3 Poros Pasangan Capres 2024 (2)
Reformasi pun berlangsung, dan amandemen UUD pun terjadi. Selama masa reformasi, amandemen telah berlangsung sebanyak empat kali.
“Apakah hal tersebut akibat dari sistem pemilu hasil amandemen yang mengebiri fungsi partai politik sebagai penjaga marwah ideologi kebangsaan dengan membuka peluang setiap individu menjadi tokoh politik tanpa melalui penggodokan institusi partai politik.”

Amandemen UUD dan Harapan Pemilu Serentak 2024
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pasca reformasi;
- Amandemen Pertama UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999.
- Amandemen Kedua UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000.
- Amandemen Ketiga UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001.
- Amandemen Keempat UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002.
)* Amandemen UUD 1945 menuju Pemilu Serentak 2024, dalam wacana, opini dan manuver politik, perihal masa jabatan presiden tiga periode dalam kaitannya dengan penundaan pemilu dan beragam alasan dan kepentingan lainnya.
Dampak atau pun memang tujuan yang hendak dicapai (diinginkan) oleh bangsa ini bahwa, setelah dilakukannya amandemen, maka sistem politik di Indonesia berubah, dari sistem penyelenggaraannya (teknis) dan output yang didapatkan, tentunya.
Banyak pihak yang menyayangkan bahwa dampak dari amandemen tersebut menjadikan negara berhaluan liberal kapitalistik, di tengah kekuatan bangsa yang belum mampu berdaulat pada tiga sektor penting, yakni; kedaulatan ekonomi, wilayah dan kebudayaan (Tri Sakti).
Sejak pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019, dengan sistem yang baru, alih-alih dengan alasan konstitusi untuk menuju cita-cita Pancasila, justru hari demi hari orkes politik nasional terus menjadikan hiburan bagi rakyat. keriuhan dalam tata kelola didalamnya sangat nyata dihadirkan, namun jauh dari esensi nilai yang sesungguhnya mengenai arti kemerdekaan bagi negri.
Apakah hal tersebut akibat dari sistem pemilu hasil amandemen yang mengebiri fungsi partai politik sebagai penjaga marwah ideologi kebangsaan dengan membuka peluang setiap individu menjadi tokoh politik tanpa melalui penggodokan institusi partai politik.
Pilihan DPR pun menjadi langsung, tidak harus memilih parpol, memilih nama caleg (daftar calon terbuka) diperbolehkan. Intinya, disinilah fungsi parpol dibelenggu, yang seharusnya sebagai lembaga perwakilan dan kawah candradimukanya calon-calon pemikir dan penyelenggara negara. bila yang terjadi seperti itu, bagaimana kualitas berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan.
Akhirnya, pemilu tersandera dalam banyak kepentingan yang semakin menjauhkan nilai-nilai ideologi yang sah, yang diusung oleh parpol. Dinamika menuju keparlementariaan sebagai pengusung eksekutif menjadikan pemilu berhaluan materialistik, pemilu yang terjebak pada elektoralisme ekonomi. Ada uang, anggota legislatif pun lahir, pemimpin dimunculkan sesuai ambisi dan keinginan berdasarkan kepentingan, tanpa kaderisasi ideologi partai politik sebagai ruh fungsi parpol hingga macetnya fungsi pendidikan politik.

Dilanjut, pemilihan langsung untuk kepala daerah di 33 propinsi dan 400-an lebih pemilihan bupati dan walikota. Bisa dibayangkan, betapa besarnya potensi ekonomi yang ditimbulkan, membuka peluang suburnya praktik mahar politik.
Betapa besarnya potensi pembodohan terus berlangsung dengan menghalalkan segala cara memperoleh kemenangan. alih-alih menjadikan tujuan konstitusi tercapai, justru tersandera pada deal-deal tertentu maupun proyek di tingkat pusat dan daerah, bahkan dengan poros kekuatan ekonomi dunia. Akibatnya, kesatuan derap pembangunan pusat dan daerah menjadi berjalan sendiri-sendiri, tak lain dengan narasi pembangunan.
Dengan demikian, penguatan partai politik seharusnya disangga oleh regulasi dalam sistem pemilu yang berpihak. Pemilu adalah wadah partai politik, bukan wadah perorangan. Salahkah bila, ideologi rakyat dititipkan pada partai politik, dan akhirnya dipercayakan pada petugas partai politik. baik petugas eksekutif maupun legislatif. Kiranya demikian jalan pemikiran yang sederhana, namun pas secara konstitusi. bukan ditafsirkan sebuah desain yang un-Demokrasi.
Artinya, fungsi partai politik saat ini benar saja, hanya sebagai legalitas kendaraan saja dan kelompok kekuasaan. Fungsi yang sebenarnya menjadi terabaikan oleh sistem itu sendiri.
Terkait dengan wacana penundaan dan perpanjangan masa jabatan presiden, bahwa konstitusi kita tidak membuka ruang adanya penundaan pelaksanaan pemilu atau pun perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. namun demikian, kegemaran merubah UUD adalah biasa terjadi, dengan alasan situasi dan kondisi atas dinamika yang berkembang.
Argumentasi yang diajukan oleh para pengusung amatlah sangat irasional dan tidak berpihak pada akar rumput rakyat, melainkan lebih kepada kepentingan elit politik praktis dan ekonomi jangka pendek yang sedang di garap oleh elit politik, kekuatan kapitalisme dan kelompok lainnya. wacana tersebut yang jelas juga membawa problem lain.
Pemilu Serentak 2024 dengan sistem baru, diharapkan terjadi kesatuan gerak pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, desain tersebut sebagai jawaban atas sistem pemilu sebelumnya yang belum sempurna. Proses menuju kesempurnaan sistem dan outcome yang didapat belum terlaksana, konstruksinya sudah akan dirubah lagi dengan aneka narasi yang menjustifikasi pemilu ditunda mengandung urgensi. Narasi seperti inilah yang saat ini berpotensi besar mengundang kegaduhan, bahkan perpecahan yang luar biasa.
Namun kiranya, waktu terus berjalan, secara realistis yang kita hadapi adalah pemilu 2024 secara serentak. Sudah tidak ada waktu lagi untuk memformulasikan sistem yang lebih baru lagi dengan mengandung asas konstitusi, demokrasi, efektif dan efisien.
Tak lain dan harga mati atas posisi dan kondisi bangsa dan negara saat ini untuk menatap Pemilu Serentak 2024, kecuali rekonsiliasi nasional (sistem konstitusi) setelah 2024.
Keserentakan pemilu 2024 tersebut diharapkan terjadi kesatuan gerak pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai implementasi pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangan Menengah/Panjang Nasional (GBHN).
Pola baru, sistem baru secara teknis diharapkan sudah dimulai di 2024. terlebih berhaluan baru akan cita-cita Indonesia dalam tata kelola pemerintahan yang berdaulat.
Letak pemilu serentak 2024 harus dimaknai sebagai semangat baru yang anti deal-deal tertentu, politik uang, pembodohan dengan tidak mendidik, dan segala cara memperoleh kemenangan dengan mengabaikan nilai-nilai yang mendorongnya pada esensi pembangunan yang ideal.
Narasi kedaulatan dan pemenuhan hak hidup rakyat yang jujur harus diusung oleh peserta pemilu di 2024. Keserentakan yang dimaksud harus ditafsirkan sebagai media pencerahan dalam semua aspek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, seperti apa persiapan dan kesiapan bagi semua unsur atas gelaran tersebut. Secara teknis jelas, peran penyelenggara (KPU) menyiapkannya, dan parpol juga demikian, menyiapkan para kader-kadernya untuk berkiprah menuju yang terbaik dengan konsep memimpin yang baik pula. demikian dengan rakyat, bersiap memilih yang terbaik untuk membawa amanat konstitusi dengan mandat rakyat kepada partai politik, atau perorangan (saat ini).
Jangan sampai kemudian, justru rakyat berharap mendapatkan uang money politik dari calon legislatif daerah dan pusat, bahkan pilihan presiden, dan pilihan kepala daerah. menjadikan pemilu dimaknai sebagai pesta dan parade kebodohan.
Dan, jangan sampai juga parpol tersandera dalam bergaining finance dengan siapapun yang akhirnya menuju ke dalam penyanderaan kekuasaan nantinya, yang akibatnya kemelaratan ekonomi yang justru didapatkan, sedangkan desain pembangunan terus berpihak pada neoliberalisme, dan akhirnya permainan sulapnya setelah berkuasa dilakukan terhadap rakyatnya dengan desain tata kelola berupa bantuan-bantuan langsung yang tidak mendidik.
Sementara, bagian kue yang besar milik kaum kapitalistik yang semakin berjaya dengan segala akses kemudahannya yang datang dengan beragam siasatnya.
Akhirnya, tujuan berbangsa dan bernegara tersebut bias. Amanat konstitusi dengan tujuannya untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa, membuat adil dan makmur, berkeadilan dan beradab, bukan terletak pada keriuhan pembangunan materialnya.
Narasi pembangunanisme sering digaungkan sebagai parameter keberhasilan kekuasaan, namun lupa akan tujuan konstitusi dari aspek dasar, yakni kemanusiaan.
Bagaimana indeks pembangunan manusia dengan jujur benar-benar diterima rakyat sebagai hak kodrati, hak dasar dan hak manusia.
Alih-alih mensejahterakan dengan narasi banyak program, namun justru dilempar di sirkuit perlombaan, yang mana sirkuit tersebut sudah milik dunia yang datang dengan kekuatan di semua lini. tidak ada akses keberpihakan pada rakyat yang konstruktif dan membangun.
Para kaum intelektual pun yang harusnya mencerdaskan dan mengentaskan yang melekat pada diri oknum pejabat, politisi, akademisi, dan semua pihak, justru membuat narasi kebodohan dengan membentuk mental-mental miskin. Aneka bantuan digelontorkan hanya untuk mengambil simpati tanpa konstruksi yang jelas sebagai representasi penyelenggara atas mandat rakyat.
(bersambung bagian 3)
Electoral threshold, Parliamentary threshold dan Presidential threshold
Membaca Peluang 3 Poros Pasangan Capres 2024 (1)
Amnesia dan Diskursus Sejarah Terhadap Peradaban Maritim Nusantara (1)
Mataram Kartasura, Lahir dan Tumbuh dengan Pecah Belah (1)
Pertempuran Surabaya dalam Peristiwa 10 November, Mempengaruhi Opini Dunia
Bangunan Monumen Sebagai Living Monument, Penjaga Keluhuran Nilai Sejarah
Dewandaru Berenergi Spiritual Besar Hanya Ada di 3 Lokasi (1)
Memaknai ”Indonesia Pusaka” di Tengah Wabah