Membangun Yang Manusiawi, Tidak Menggusur Rakyat
Dilema utamanya memang nilai investasi segede itu -- Rp381 triliun -- terlanjur membuat getaran kasmaran tak mampu lagi dikendalikan
Nusantarapedia.net | OPINI-POLHUKAM — Membangun Yang Manusiawi, Tidak Menggusur Rakyat
Oleh : Jacob Ereste
“Tak kurang dari 5000 penduduk Pulau Rempang kini tengah meremas cemas,”
PULAU Rempang sebagai bagian dari kekuasaan Badan Otorita Batam yang kemudian diubah menjadi Badan Penguasaan Kawasan Batam bersama Pemerintah Kota Batam memiliki luas wilayah sekitar 165 kilometer persegi. Sebagai pulau terbesar kedua di gugus Kepulauan Riau, antara Batam, Rempang dan Galang yang kemudian disebut Barelang setelah dihubungkan oleh 6 buah jembatan yang indah, sehingga cukup menarik dikunjungi oleh para wisatawan.
Riwayat Pulau Rempang yang tengah menjadi masalah antara masyarakat tempatan dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, karena konsesi yang diberikan kepada Group Pengusaha Artha Graha PT. MEG (Mega Elok Graha) bermula pada 26 Agustus 2004, ketika itu proyek yang hendak dibangun dahulu itu adakah KWTE (Kawasan Wisata Terpadu Eklusif), namun mangkrak hampir 20 tahun, kemudian baru menggeliat lagi setelah menemu investor kakap dari China pada April 2023. Konon perusahaan kaca raksasa yang akan dibangun di Pulau Rempang ini pabrik kaca dan solar panel terbesar kedua di dunia yang berada di bawah Xinyi Group, Chengdu, China dengan nilai investasi awal Rp172 triliun dengan total keseluruhan sebesar Rp381 triliun yang ingin menempati areal seluas 17.000 hektar di Pulau Rempang.
Tampaknya, MoU yang diperbaharui antara PT. Mega Elok Graha dengan pihak Pemerintah Daerah yang dikatakan oleh Ketua Badan Pengusahaan Batam telah diambil alih oleh Pemerintah Pusat dengan ikut serta memasukkan kesepakatan pengosongan tempat hunian warga Pulau Rempang yang telah berada di tempat itu sejak 300 tahun silam.
Kesaksian Taba Iskandar, Ketua DPRD Kota Batang ketika MoU pertama kali disepakati pada 26 Agustus 2004, tidak ada hubungannya dengan Rempang Eco City yang mengharuskan penduduk di Pulau Rempang itu harus keluar dan mengosongkan tempat tinggal mereka yang sudah dihuni sejak ratusan tahun silam. Alkisah, riwayat penduduk Pulau Rempang, dinukilkan Hj. Azlaini Agus yang merujuk Kitab Tuhfat An-Nafis dari catatan sejarah Raja Ali Haji yang diterbitkan pada 1890 bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari para prajurit atau laskar Kesultanan Riau Lingga yang sudah mendiami pulau tersebut sejak tahun 1720, semasa Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
Saat perang Riau I antara tahun 1782-1784 melawan Belanda mereka menjadi prajurit yang dipimpin langsung oleh Sultan Machmud Riayat Syah. Dan ketika Sultan Machmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahannya ke Daik Lingga pada 1787, Pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan dari Kesultanan Riau Lingga yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman. Karena kuatnya basis pertahanan Kesultanan Lingga ini, pasukan Belanda maupun Inggris tidak berani melintas di kawasan sekitarnya.
Hingga sekarang, generasi anak dan cucu para pejuang Kesultanan Lingga inilah yang terus menempati pulau tersebut sampai sekarang. Jadi darah pejuang yang mengalir dalam tubuh mereka menandai sikap patriotik dan heroik, pemberani dan konsisten. Nenek moyang mereka pun sangat dikenal dengan sebutan Pasukan Penikam (elite) Kesultanan.
Agaknya, terlalu gegabah memang bila menganggap penduduk tempatan yang mendiami 16 Kampung Tua di Pulau Rempang ini tidak berhak hidup di tanah kelahiran dan warisan dari para leluhur mereka, apalagi kemudian mau digusur atau dalam istilah Menko Polhukam Machfud MD harus mengosongkan daerah tersebut. Tragika ini — jika sampai terjadi — artinya mencabut warga masyarakat setempat dari sejarah dan basis budaya warisan leluhur mereka. Karena bukan hanya tatanan hidup dan kehidupan mereka yang telah terpelihara secara turun menurun itu yang akan punah, tapi masa depan generasi berikut mereka bersama seluruh anak cucu dan cicit mereka pun akan menjadi tuna sejarah dan tuna budaya yang tidak mampu untuk menghantar mereka memasuki masa depan yang lebih baik dan lebih sejahtera.
Tak kurang dari 5000 penduduk Pulau Rempang kini tengah meremas cemas. Solidaritas pun berdatangan dari segenap penjuru negeri, sambil membayangkan tragika serupa akan terjadi ulang di negerinya masing-masing. Bagi suku bangsa Melayu yang berada di perantauan pun ikut merasakan kecemasan yang sama. Karena kekejian itu sebetulnya dapat dicegah oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang telah mengambil alih MoU pada 26 Agustus 2004 dari pemerintah daerah. Kalau pun warga masyarakat Pulau Rempang bisa mendapatkan fasilitas yang cukup dan layak, toh pola hidup mereka sebagai petani dan nelayan tidak sesederhana itu bisa disesuaikan dengan hidup yang nyaman di tempatnya yang baru, sebab usaha untuk mencari nafkah telah bergeser tanpa pernah bisa mereka pahami untuk menyiasati caranya hidup di tempat yang baru.
Itulah sebabnya akan lebih bijak melokalisasi mereka di tempat asalnya, yang bisa dipahami sebagai Kampung Tua seperti yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo ketika kampanye Capres pada periode ke 2, pada 6 April 2019 di Kepulauan Riau sekitarnya. Bahwa sertifikat lahan untuk penduduk Kampung Tua akan menjadi prioritas diselesaikan setelah 3 bulan terpilih menjadi Presiden Indonesia dalam periode ke-2.
Janji Presiden ini sebetulnya yang ikut melukai hati rakyat, hingga kemarahan seperti tak tertahan. Dan bila dibiarkan tertunda, tidak mustahil akan semakin menelan lebih banyak korban, seperti kejadian beruntun yang terjadi sejak 7 September 2023 yang masih belum dapat diselesaikan.