Membumi Dalam Spiritualitas: Gus Dur dan Jiddu Krisnamurti
Nusantarapedia.net | RELIGI — Membumi Dalam Spiritualitas: Gus Dur dan Jiddu Krisnamurti
Oleh : Vian Ekaggatā
– sepertinya nasib agama dan filsafat agak mendingan sekarang, dibandingkan nasib spiritualitas, agama sekarang banyak diminati oleh para kawula muda karena artikulasi penyampai ajarannya yang mulai memahami dan mengikuti bahasa zaman, begitu juga dengan filsafat tidak lagi angker dan mulai diakrabi generasi muda karena artikulasi pengajarannya yang asyik serta tidak membosankan. Yang agak sial memang nasib pemfosilan spiritualitas, karena sebenarnya spiritual sendiri secara ontologis memang pemahaman tentang batin atau sisi “esoteris kemanusiaan” bukan tentang sisi eksoteris superfisial yang harus gemerlap dan ramai –
SPIRITUALITAS, barangkali kata ini di benak pemahaman mayoritas dari kita memiliki arti yang teramat sakral, mistis, suci, dan sangat melangit. Akibatnya ia menjadi sesuatu yang sangat serius, menakutkan untuk dijamah, dan bahkan merupakan sinonim dari kata kematian itu sendiri. Oleh karenanya dengan pemahaman yang demikian, tidak heran jika ada anggapan bahwa spiritualitas itu hanya untuk kalangan “orang tua”, bukan untuk mudi-mudi apalagi mereka-mereka yang memiliki pemikiran liberal atau progresif kekiri-kirian yang masih bergelegak sisi rebelnya.
Sesungguhnya tidak hanya spiritualitas semata yang mengalami pemfosilan pemahaman sehingga membuatnya “tidak menarik” seperti itu, agama-agama formal dan aliran-aliran filsafat dulunya juga mengalami nasib pemfosilan yang sama, agama dianggap hanya pantas dipelajari oleh orang yang mau mati, begitu juga filsafat dianggap hanya pantas dipelajari oleh orang-orang tua yang kurang pekerjaan. Tetapi sepertinya nasib agama dan filsafat agak mendingan sekarang, dibandingkan nasib spiritualitas, agama sekarang banyak diminati oleh para kawula muda karena artikulasi penyampai ajarannya yang mulai memahami dan mengikuti bahasa zaman, begitu juga dengan filsafat tidak lagi angker dan mulai diakrabi generasi muda karena artikulasi pengajarannya yang asyik serta tidak membosankan. Yang agak sial memang nasib pemfosilan spiritualitas, karena sebenarnya spiritual sendiri secara ontologis memang pemahaman tentang batin atau sisi “esoteris kemanusiaan” bukan tentang sisi eksoteris superfisial yang harus gemerlap dan ramai.
Oleh karenanya berbeda dengan kecenderungan filsafat dan agama yang salah satunya untuk mencari pengikut, sehingga harus ada viralisasi ajaran, sedangkan spiritual tidak demikian, ia memang secara ontologis akrab dengan jalan sunyi, karena tentu perjalanan batin adalah perjalanan pribadi bukan perjalanan bergerombol atau organisatoris seperti serikat buruh misalnya. Maka sesungguhnya secara fundamentalis, tidak salah-salah amat jika spiritulitas itu tetap sepi peminat, lha memang secara faktual yang namanya kegelisahan batin yang eksistensialis atau kebangkitan minat spiritual untuk menelah dunia esoteris itu memang eksklusif, ia hanya muncul pada pribadi-pribadi dengan jenis karakteristik tertentu yang sangat sedikit jumlahnya, ia tidak pernah muncul secara populis ke dalam mayoritas populasi manusia. Oleh karenanya wajar juga jika spiritualitas itu kemudian lekat dengan citra borjuis atau ningrat yang akhirnya mengundang sinisme dan kristisme dari kalangan Marxis.