Meminjam Perusahaan Untuk Proyek, Bolehkah?

Ketika tidak ada larangan yang secara eksplisit, maka oleh oknum-oknum penyedia barang dan jasa atau kontraktor membuat perjanjian di antara para kontraktor dinotariilkan oleh notaris dengan konsep pinjam bendera

17 Februari 2023, 03:30 WIB

Nusantarapedia.net, Artikel | Opini — Meminjam Perusahaan Untuk Proyek, Bolehkah?

Oleh Marianus Gaharpung, dosen FH UBAYA Surabaya

“Memang dari kacamata hukum, hukum perdata, perjanjan pinjam bendera sah berdasarkan Pasal 1313, 1320 dan 1338 KUH Perdata.”

MEMAKAI nama perusahaan lain untuk ikut dalam pengadaan barang dan jasa pemerintahan sudah lazim dilakukan. Praktik itu bahkan masih ada sampai sekarang. Perbuatan meminjam nama perusahaan lain untuk ikut tender pengadaan barang dan jasa (PBJ) sering juga disebut pinjam bendera perusahaan lain. Memang yang disayangkan tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang pinjam bendera perusahaan lain ketika mengikuti tender.

Penyelundupan Hukum
Ketika tidak ada larangan yang secara eksplisit, maka oleh oknum-oknum penyedia barang dan jasa atau kontraktor membuat perjanjian di antara para kontraktor dinotariilkan oleh notaris dengan konsep pinjam bendera. Jadi direktur perusahaan meminjamkan benderanya dialihkan kepada perusahaan peminjam bendera dengan status kuasa direktur. Konsekuensinya tanda tangan kontrak dengan pihak pemerintah dalam pengerjaan proyek adalah kuasa direktur dari perusahaan peminjam bendera, tanda tangan dapat uang proyek dan kewajiban lainnya atas nama perusahaan yang meminjamkan benderanya. Antara perusahaan yang meminjamkan bendera dan perusahaan peminjam bendera ada kesepakatan “terselubung” berupa “beneficial ownership“.

Ini bentuk akal akalan berupa penyelundupan hukum yang menyeret para kontraktor perusahaan tersebut ketika mengerjakan proyek negara ternyata gagal atau putus kontrak.

Mengapa bisa terjadi “praktik kotor” demikian? Ada beberapa alasan, karena nama perusahaan tertentu sudah terlalu sering memenangkan tender, sehingga untuk mengelabui pelaksana lelang, dipinjamlah nama perusahaan lain. Dapat juga terjadi karena peserta tender tak memenuhi syarat jumlah, sehingga dipakai nama perusahaan lain sekedar memenuhi persyaratan. Atau ada jaminan oleh Pokja, PPK, pengguna anggaran atau bupati/ walikota kepada perusahaan yang punya bendera, pasti dapat proyek negara.

Imbalannya kepada para pejabat pemerintah tersebut dapat gratifikasi, fee dan lain-lain. Perusahaan yang dijamin dapat proyek membuat perjanjian tersendiri dinotariilkan di notaris dengan perusahaan peminjam bendera yang mengerjakan proyek tersebut sudah pasti mendapat fee.
Inilah praktik kotor dan tidak bermoral ini diawali adanya meeting of mind (kesepahaman pemikiran) antara para kontraktor dan pejabat untuk bersama “merampok uang negara”, sehingga mengakibatkan kerugian negara ketika proyek negara tersebut dikerjakan.

Meskipun demikian, bukan berarti perbuatan pinjam bendera itu tak mengandung potensi pelanggaran hukum. Pinjam bendera sejatinya melanggar prinsip atau etika serta norma hukum dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Pertama, melanggar prinsip dan etika pengadaan barang dan jasa (PBJ) dimana mengharuskan semua pihak yang terlibat PBJ mematuhi etika, termasuk mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan negara.

Kedua, melanggar larangan membuat dan memberikan pernyataan tidak benar atau memberikan keterangan palsu.

Ketiga, menabrak larangan mengalihkan seluruh atau sebagian pekerjaan kepada pihak lain, dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

Memang dari kacamata hukum, hukum perdata, perjanjan pinjam bendera sah berdasarkan Pasal 1313, 1320 dan 1338 KUH Perdata. Karena hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Hal ini artinya, apa-apa yang diperjanjikan keduabelahpihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut.
Persoalan perusahaan hanya menerima fee ketika ada profit, hal ini tentu berdasarkan kesepakatan antara perusahaan peminjam bendera dan perusahaan yang meminjamkan benderanya. Tetapi yang perlu diingat, terkait dengan persoalan pajak penghasilan ataupun pajak pendapatan, hal ini adalah melekat kepada perusahaan yang meminjamkan benderanya. Keuntungan dari perusahaan peminjam bendera tersebut dicatat sebagai keuntungan perusahaan yang meminjamkan benderanya, karena memakai nama bendera perusahaan tersebut dikenakan pajak penghasilan. Kewajiban perpajakan ini melekat kepada nama yang tertulis di akta pendirian. Wajib pajak di sini adalah perusahaan yang meminjamkan benderanya.

Terkait

Terkini