Menakar Dentuman Palu Hakim Sambo

Hukum memang bukan milik orang yang kuat dan berkuasa, namun hukum juga memiliki independensinya untuk tidak berada pada sebuah ruang dan waktu yang ditentukan, serta di bawah pengaruh yang tertentu pula

26 Februari 2023, 14:10 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Menakar Dentuman Palu Hakim Sambo

Oleh Davianus Hartoni Edy, Sarjana Hukum Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) Surabaya

“Hukum ada bagi yang membutuhkan, namun tidak berwujud bagi yang ingin memanfaatkannya demi kepentingan pribadi/kelompok. Ia hadir bagi semua orang demi terciptanya kebaikan bersama, sebab hukum menerangi kesadaran bahwa ‘aku tidak sendiri, ketika bersama orang lain’ (Levinas).”  

SETELAH sekian lama melalui tahapan persidangan, akhirnya teka-teki putusan peradilan terkuak. Palu hakim Wahyu Iman Santoso, akhirnya berdentum keras membahana, Ferdy Sambo (FS) yang dianggap menjadi pelaku utama, divonis hukuman mati dan Putri Candrawati (PC) diganjar hukuman 20 tahun penjara. Rentetan proses peradilan telah bermuara pada putusan yang telak, sesuai keinginan pihak korban dan dorongan kehendak publik. Apakah dengan demikian problem hukum terselesaikan secara sempurna; perlu takaran tepat yang mampu merangkum semua sisi kebutuhan hidup manusia dalam setiap dimensi kehidupannya, termasuk takaran terhadap rasa puas atas vonis yang dijatuhkan seorang tuhan di meja peradilan. Pada titik ini, kesamaan kedudukan di hadapan hukum bukan lagi sekedar soal yang bersalah yang dihukum dan yang benar dibebaskan, namun ada tanggung jawab lain yang menegaskan realitas bahwa ke-aku-anku tidak pernah dianggap sendirian ketika bersama orang lain atau lebih relevan dapat dikatakan bahwa, apakah vonis hukuman bagi terdakwa yang memuaskanku, gradasi kepuasannya juga setara dengan yang dirasakan oleh terdakwa, karena praktisnya aku pun memiliki tanggung jawab moril dalam kebersamaan hidup dengan orang lain, termasuk tanggung jawab terhadap terdakwa.

Makna yang relevan ketika putusan hakim dijatuhkan, bukanlah semata-mata pada bentuk hukuman jasmani yang ditonjolkan sehingga mempertegas nuansa menang-kalah, tetapi konteks idealnya terletak pada peng-arus-utama-an adanya kesepakatan dan win-win solution atas sebuah konsekuensi dari permasalahan hukum yang terjadi di antara para pihak, karena semakin tepat sanksi pidana yang dijatuhkan, akan semakin tipis pula rasa tidak adil dan ketidakpuasan yang mungkin ditimbulkannya.  

Hukum dalam manifestasinya sebagai vonis hakim, kerapkali menyisakan ruang untuk diperdebatkan, karena pada hakikatnya keadilan sejati merupakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali; bukan keadilan palu hakim atau keadilan menurut korban dan arus besar emosi publik yang menyertainya. Dalam pusaran kasus 340 KUHP, FS dan semua pihak yang terlibat di dalamnya memiliki kesamaan kedudukan di mata hukum, sampai akhirnya terbukti di pengadilan tingkat pertama, bahwa FS adalah intelektual dader dalam kasus penembakan di Duren Tiga dan divonis dengan pidana mati.

Terkait

Terkini