Menakar Dentuman Palu Hakim Sambo
Hukum memang bukan milik orang yang kuat dan berkuasa, namun hukum juga memiliki independensinya untuk tidak berada pada sebuah ruang dan waktu yang ditentukan, serta di bawah pengaruh yang tertentu pula
Pidana Mati, Tepatkah?
Pidana mati adalah penjatuhan hukuman kepada terdakwa dengan jenis pemidanaan yang akan membawa kematian bagi terdakwa. Pengesahan vonis pidana mati di Indonesia, faktanya masih menuai pro kontra sejak merebaknya vonis dalam Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, yang menolak usulan pembatalan vonis PN Denpasar tahun 2006 bagi dua (warga) negara asing yang sebelumnya ditetapkan sebagai pemimpin gerombolan penyelundup 8.3 kg heroin di Bali. Dalam konteks subyektivitas pelaku pidana/dader, Hakim Konstitusi tidak melihat adanya yurisdiksi bagi warga negara asing, sebagai dasar pertimbangan pembatalan vonis mati oleh PN Denpasar tersebut. Dalam konsep yang tidak berbeda, hukum di Indonesia menindak tegas pidana narkoba dan terorisme serta menganggapnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang perlu ditangani secara luar biasa pula.
Dalam konteks vonis pidana yang sama (pidana mati) oleh hakim kasus Sambo, hal tersebut merupakan hak istimewa yang dimiliki hakim sesuai peran dan fungsinya sebagai penimbang dan pemutus, sekaligus pengadil perkara. Asas res judicata pro veritate habetur, merupakan landasan yang memberikan wewenang bagi hakim untuk memperoleh kebenaran eksekutorial atas putusan yang ditetapkan dalam persidangan. Namun, rupanya putusan tersebut oleh sebagian kalangan dianggap belum sempurna, karena sekalipun putusan tersebut sah, namun belum dianggap benar-benar mencerminkan rasa keadilan secara menyeluruh, baik bagi pihak korban maupun bagi pihak pelaku.
Hakim memiliki hak untuk menjatuhkan vonis ultra petita, di mana putusan vonis hakim dapat melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dengan catatan jika hal tersebut dibutuhkan demi kepentingan masyarakat luas. Namun dalam hal vonis mati bagi terdakwa, tidak semudah itu mengatasnamakan kepentingan masyarakat luas, lalu menabrak rambu-rambu hukum dasar yang sudah mengaturnya, khususnya perihal tersebut sudah dinyatakan dalam Pasal 28 UUD Negara RI tahun 1945, yang berkaitan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, yang mana setiap warga negara Indonesia berhak untuk mempertahankan hidupnya, mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta negara menjamin pemenuhan hak asasi tersebut. Bahkan dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, digarisbawahi sekali lagi bahwa hak asasi adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan dalam situasi apapun.
Tanpa adanya upaya pembenaran atau pun sikap menyalahkan vonis yang telah dijatuhkan oleh hakim Sambo, kiranya publik tetap harus bersikap kritis dalam menakar produk keadilan di negeri ini. Hukum memang bukan milik orang yang kuat dan berkuasa, namun hukum juga memiliki independensinya untuk tidak berada pada sebuah ruang dan waktu yang ditentukan, serta di bawah pengaruh yang tertentu pula. Hukum ada bagi yang membutuhkan, namun tidak berwujud bagi yang ingin memanfaatkannya demi kepentingan pribadi/kelompok. Ia hadir bagi semua orang demi terciptanya kebaikan bersama, sebab hukum menerangi kesadaran bahwa ‘aku tidak sendiri, ketika bersama orang lain’ (Levinas).
Davianus Hartoni Edy | Sarjana Hukum Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) Surabaya
Pencemaran Nama Baik (Tinjauan Pengaduan Terhadap Romo Paschal)
Akankah “Drama” Sidang Kematian Yosua Menjadi Lonceng Kematian Keadilan Publik
Delik Formil UU Tipikor dan Relasi Kuasa
2023, Dicari Cendekiawan yang Jujur dan Mendobrak, Menyentuh Wacana Publik Tujuan Indonesia