Menanti Cicilan Visi-Misi Capres 2024, Sederhana namun Revolusioner!
Kita tunggu ya, cicilan pemikiran bagi para capres-cawapres khususnya, juga para calon-calon penyelenggara lainnya dari peserta Pemilu Serentak 2024 disegala level, pusat hingga daerah
Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Menanti Cicilan Visi-Misi Capres 2024, Sederhana namun Revolusioner!
“Informasi update-nya, capres nantinya dalam pendaftaran ke-KPU dalam penyusunan visi misi harus berdasarkan RPJP 2025-2045 sebagai acuan, namun sampai saat ini dokumen tersebut belum selesai. Ditargetkan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan mengebut penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 rampung sebelum tahapan pendaftaran capres pada 19 Oktober hingga 25 November 2023 mendatang.”
GELARAN Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dengan ragam pemilihan, yaitu untuk memilih presiden dan wakil presiden (Pilpres), memilih wakil rakyat yang duduk di DPR, DPRD, dan DPD disebut dengan Pileg, yang mana Pilpres dan Pileg akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024 secara serentak. Sedangkan untuk memilih Gubernur, Bupati dan atau Wali Kota juga akan diselenggarakan serentak di seluruh level di Indonesia pada 27 November 2024, disebut dengan Pilkada (Pemilukada).
Beragam pemilihan di semua level tersebut, yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia dengan anggaran sedikitnya Rp76 triliun dengan sistem multiyears digelontorkan pada tahun 2022, 2023 dan 2024, belum lagi anggaran dana cadangan yang bersumber dari APBD (Provinsi/Kabupaten). Tentu anggaran yang besar tersebut benar-benar menjadikan Pemilu yang berkualitas dari semua aspek, terlebih output dari terselenggaranya Pemilu.
Pemilu jelas merupakan amanat konstitusi agenda rutin 5 tahunan untuk memilih dan membentuk (menghasilkan) pemerintahan yang demokratis, kuat dan legitimatif (memperoleh dukungan rakyat), dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pemilu adalah ruang, ruang untuk berubah. Dari yang baik agar menjadi lebih baik, dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang buruk menuju perubahan baik. Itulah harapan seluruh bangsa Indonesia terhadap para calon-calon penyelenggara negara. Disitu ruang politik untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan secara konstitusi (sah).
Ide dan gagasan (visi-misi) yang dibawa oleh peserta pemilu dari organisasi partai politik maupun secara individu tentunya membawa isi pikiran untuk diaplikasikan dalam tata kelola pemerintahan bila nanti terpilih dan berkuasa.
Pemilu untuk menghasilkan kepemimpinan nasional hingga daerah yang berpihak pada rakyat adalah benar-benar harapan rakyat, agar kehidupan menjadi lebih baik. Disitulah pesta yang sebenarnya, pesta adu ide dan gagasan, saling berlomba-lomba untuk kebaikan. Bukan pesta baliho, spanduk, maupun bagi-bagi kaos yang norak, pun bagi-bagi uang (money politics) agar dipilih, dan seribu citra kesalehan, keberpihakan, dan janji-janji manis lainnya, yang ujung-ujungnya tidak berlomba menuju kebaikan, namun penghalalan segala cara untuk meraih kemenangan.
Khusus pada Pilpres, karena Indonesia dengan sistem presidensiil, tentu kepemimpinan nasional berawal dari jabatan Presiden, maka harapan itu wajar presiden bak seorang dewa, sebagai nahkoda bahtera Indonesia, tentu menjadi faktor utama/penting.
Lantas, bagaimana visi-misi para calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Nah, rakyat tentu ingin perubahan yang revolusioner, meski revolusioner yang dimaksud hanyalah hal-hal esensi wacana publik rakyat, yaitu soal hak hidup, soal terselenggaranya hidup rakyat yang adil, makmur dan sejahtera. Sederhana saja bukan! Maka, rakyat tak butuh janji-janji manis yang muluk-muluk, program-program yang membahana ke seluruh dunia, juga bangunan-bangunan yang spektakuler. Poinnya, rakyat hanya butuh hal-hal esensi dan substansi dari hidup (penghidupan-kehidupan). Mana mungkin rakyat akan akan jauh berfikir soal geo-politik dan strategi internasional bila urusan hak hidup rakyat saja terabaikan. Ini lho, pemikiran yang sederhana meski sejatinya revolusioner.
Bila revolusioner yang dimaksud seperti halnya pemikiran Bung Karno dengan konsep Tri Sakti-nya, yaitu berdaulat di bidang wilayah dan politik, ekonomi dan budaya, syukur itu yang menjadi visi-misinya. Tentu meski itu berat, karena ini akan berbenturan dengan kepentingan oligarki tentunya (oligarki bisnis) yang dirasakan berwatak neoliberal dijadikan arah haluan Indonesia. Karena Indonesia adalah “aset”, tentu tak ingin kehilangan tambang-tambang ekonomi.
Dengan demikian, tugas next president 2024 adalah presiden yang serius dalam membangun manusia Indonesia, bertugas untuk membawa pada haluan berciri keadilan sesuai amanat konstitusi. Presiden 2024 harus membangun manusia dari aspek etika dan moralitas, membangun kecerdasan intelektual sebagai modal mencapai produktivitas. Maka membangun manusianya akan otomatis tertata dengan sendirinya kemana arah pembangunan materialnya (fisik), karena manusia ditempatkan pada sisi dimana seharusnya didudukkan esensi kemanusiaannya dengan segala sumber dayanya. Manusia akan menjadi beradab, otomatis keadilan itu akan tercapai, tidak ada lagi disparitas, terutama hal ekonomi menyangkut distribusi keadilan. Seperti misalnya, kekayaan Indonesia hanya dikuasai 3 persen saja orang/kelompok Indonesia yang ber-proxy pada kelompok global. Hal seperti inilah yang membuat “bias” arti kehadiran negara.
Jadi pemikiran yang revolusioner mutlak diusung sebagai visi-misi para capres di 2024. Bila menyangkut teknis, misalnya hal revolusi industri, pendidikan, mental, budaya, bumi, dan revolusi lain-lainnya tentu akan menyertainya. Yang terpenting pendekatan utamanya adalah hal “kemanusiaan” atau “humaniora”. Jadi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya adalah mutlak dilakukan. Membangun manusianya yang diutamakan.