Mendulang Keteladanan Pahlawan, Semboyan “Merdeka atau Mati” hingga “Tiji-Tibeh” dalam Aktualisasi Modern
Nusantarapedia.net–Mendulang Keteladanan Pahlawan, Semboyan “Merdeka atau Mati” hingga “Tiji-Tibeh” dalam Aktualisasi Modern
Demi harga diri, martabat dan kehormatan bangsa Indonesia atas proklamasi, Arek-Arek Surabaya, berani mengambil keputusan politik, bertempur sampai titik darah penghabisan melawan Sekutu, apapun resiko dan konsekuensinya, sekalipun nyawa taruhannya, terlebih hanya harta benda. Pantas dikenangkan dengan peringatan hari Pahlawan 10 November.
Kerinduan akan kebesaran masa lalu leluhurnya sebagai entitas bangsa Nusantara yang besar, telah mengantarkan pada kesadaran kolektif dengan lahirnya masa Kebangkitan Nasional, akibat kolonialisme dan imperialisme yang telah mengubah mental bangsa Nusantara sebagai kelas inferiority, terjebak pada paham feodalisme, praktik kompetitif tidak sehat dan perang sesama saudara sendiri biasa terjadi.
Lahirlah organisasi-organisasi maupun wadah perjuangan lainnya, hingga peristiwa Sumpah Pemuda digaungkan, guna lepas dari belenggu penjajahan.
Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi.Pangeran Diponegoro bertekad mempertahankan kedaulatan tanah meski hanya sejengkal, dari kesewenangan dan ketidakadilan tata kelola perpajakan dan regulasi pertanahan oleh Belanda di bumi Yogyakarta. Perang Jawa pun dimulai, memakan waktu lima tahun, dengan banyak kerugian pada kedua belah pihak, terutama menguras finansial Belanda.
Pangeran Sambernyawa tidak ingin supremasi tunggal Mataram Sultan Agungan terpecah-pecah. Mataram harus kembali menjadi negeri yang utuh. Konsekuensinya, menghadapi VOC yang harus berperang tiada henti. Daya juang dan semangat patriotisme untuk satunya Mataram dari politik pecah belah, rela dilakukan dengan semboyan, “Mati Siji-Mati Kabeh, Mukti Siji-Mukti Kabeh” (Tiji-Tibeh).
Keputusan Sultan Agung Mataram rela mematikan Jawa dari gairah kemaritiman, dengan menutup bandar-bandar pelabuhan dan perdagangan di Jawa, hingga Jawa bak kota mati. Tak lain, strateginya guna menghalau VOC agar tidak masuk ke Jawa, yang mana telah merangsek pada poros maritim Nusantara, dengan menguasai Malaka, Ambon dan mendirikan kota di Batavia.
Dimaksudkan, kampanye militer pamungkas Sultan Agung untuk mengusir VOC di Batavia, adalah benar-benar Jawa (Nusantara) agar steril dari para agressor.
Beberapa tinjauan kasus diatas membuktikan, betapa besarnya jasa para pahlawan yang telah berkorban jiwa dan raga, betapa patriotiknya cinta pada tanah air, demi sebuah kedaulatan negara, yang menyiratkan arti penting harga diri kebangsaan.
Apa yang dapat kita teladani dari jerih payah para Pahlawan dan pendahulu kita, yang telah mewariskan ruang dan tempat kemerdekaan hidup bagi kita, tentu nilai-nilai didalamnya harus teraktualisasi pada kontek kekinian.
Pertempuran Surabaya dalam Peristiwa 10 November, Mempengaruhi Opini Dunia
Peringatan hari pahlawan tak hanya sebagai seremonial belaka tanpa makna dan implementasi real saat ini. Tentu berbeda, nilai aplikatif di dalamnya yang dilakukan para pahlawan waktu itu, dengan para pahlawan dewasa ini.
Perlu disepakati bahwa, bela bangsa dan negara adalah kewajiban dari setiap warga negara, seperti yang termaktub dalam amanat konstitusi maupun undang-undang. Dengan demikian, pahlawan saat ini tak lain adalah semua warga negara Indonesia.
Bila waktu itu merebut dan mempertahankan kemerdekaan kedaulatan negara, saat ini pun sama, memperjuangkan kesetaraan kemerdekaan hak. Hak hidup person dan kebangsaan dalam kehidupan bernegara yang setara dengan bangsa lain didunia.
Jiwa kepahlawanan adalah, selalu ikhlas, jujur, rela berkorban dan berani mengambil sikap atas keputusan-keputusan yang benar dan dasar, sekalipun itu tidak populis dan menguntungkan, namun demi kualitas hidup kebangsaan yang adil dan makmur dalam tujuan yang selaras.
Keteladanan para Pahlawan diatas, cukup jelas pada implementasi kehidupan bernegara saat ini, baik sebagai rakyat maupun penguasa, atau sebagai warga negara maupun para penyelenggara negara. Rumusan didalamnya sudah sangat jelas yang menjadi arah pedoman bernegara, terdapat dalam isi Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945 (amanat konstitusi).
Inti dari nilai kepahlawanan dalam konteks tujuan bernegara, mencakup tiga aspek dasar. Pancasila dan UUD 1945 jelas menggarisbawahi pada; kedaulatan wilayah, ekonomi yang mandiri, serta kepribadian dan jati diri kebangsaan sebagai spirit. Hal tersebut, oleh Presiden Soekarno dirumuskan dalam konsep Tri Sakti.
Berapi-apinya semangat Arek-Arek Surabaya, tumbuhnya organisasi dan wadah perjuangan era kebangkitan, pantang menyerahnya Pangeran Diponegoro, berani matinya pasukan Sambernyawa, serta keputusan besarnya Sultan Agung memulai perang melawan Batavia, semuanya mengarah pada satu kesimpulan yaitu, mempertahankan kedaulatan teritorial dari tangan para agressor. “Merdeka atau Mati”
Dasarnya sederhana, konsep indigenous atau tanah air, bahwa atas takdir Tuhan, kita sudah mendiami tanah dan air warisan dari nenek moyang. Dari dasar itu, kita layak dan sepatutnya menjaga dan mempertahankan warisan itu, namun haram hukumnya untuk menguasai tanah dan air di negeri orang.
Pada implementasi saat ini, 300 juta warga Indonesia adalah pahlawan dalam menjaga kedaulatan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada satupun kekuatan yang diperbolehkan menguasainya, namun mempersilahkan kepada siapapun untuk datang dengan tujuan apapun, dengan syarat berkeadilan, meninggalkan aspek ekologis yang berkelanjutan untuk generasi selanjutnya.
Penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan di tanah Nusantara yang subur, oleh para kelompok kapitalis terhadap eksploitasi sumber daya alam dan manusia didalamnya, jelas tidak dibenarkan. Pantas saja, bangsa ini harus bangkit dan merdeka, agar nasibnya tidak seperti tikus yang mati dilumbung padi. Betapa mirisnya perbedaan gaya hidup bangsa Indonesia dengan para penjajah, padahal sumber daya itu milik kita, tanah air kita.
Dalam aktualisasi dan implementasi saat ini, sebagai bangsa yang berdaulat, berhak atas kekayaan berupa bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran yang sebesar-besarnya rakyat, bukan untuk korporasi dunia.
Dengan demikian, berdikari di bidang ekonomi merupakan bagian pendulangan nilai-nilai kepahlawanan. Kita tidak mau menjadi budak di negeri sendiri, tidak boleh terjerat dalam sistem ekonomi dan keuangan yang tidak berkeadilan penuh monopoli.
Dalam pointnya, tidak boleh jatuh pada kepentingan pemodal yang berkedok pada aneka kegiatan pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya, padahal itu hanya jerat dalam lingkaran neoliberalisme ekonomi.
Pada aspek spirit, jati diri dan kebudayaan. Tata kelola hidup warga Nusantara sejak zaman kerajaan awal masehi, sudah tumbuh peradaban asli Indonesia. Perlawanan para Pahlawan terhadap politik sosiologis kolonial, telah melahirkan budaya feodal yang tidak menunjukkan keadaban pada sisi kemanusiaan.
Tumbuhnya mental penjilat, rendah diri/inferiority, asal bapak senang, berpura-pura, menusuk dari belakang, kompetitif-kompensasi ataupun bermain pada penggiringan opini yang menyesatkan, adalah tindakan pembodohan, menciptakan permusuhan sesama bangsa sendiri.
Terjadinya praktik kompetisi yang tidak sehat, semakin menjauh dari tujuan yang adil dan makmur, adalah upaya menghancurkan tatanan asli bangsa Nusantara yang berciri gotong royong.
Usaha para Pahlawan hingga lahirnya proklamasi kemerdekaan, juga didasari untuk mendobrak nilai kultural penjajah yang telah merusak budaya asli Indonesia.
Kontradiksi Nilai Kepahlawanan Sejarah Nusantara dengan Strategi Usang Pemilu
Pendulangan Nilai Kepahlawanan dalam Implementasi Taktis
Kita tidak bisa melawan globalisasi, arus informasi, digitalisasi dan juga revolusi industri 4.0. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa hal tersebut hanya narasi dalam menggiring opini dunia, yang ujung-ujungnya hanya ingin menguasai banyak sumber daya pada negara-negara yang lemah dalam positioning dunia, dan gampang tercerai berai pada soliditas dalam negerinya yang mudah dibenturkan.
Pada umumnya, teknik infiltrasi para globalis masuk melalui celah regulasi dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimana kita melawannya?
Contoh kasus di bidang ekonomi, pada kenyataannya, saat ini kita menjadi bangsa yang sangat konsumtif, jauh dari angka produktif. Jerat sistem pada budaya tidak produktif dan konsumtif, menjadikan peluang pasar yang sangat prospektif, dengan kesimpulannya menjadi ajang pasar dunia.
Padahal, bila itu industri manufaktur misalnya, material produksi dari Indonesia, tenaga kerjanya lokal, dan pasar pun lokal dalam negeri, hingga semua potensi ekonominya diambil habis pihak pemodal korporasi.
Kita tidak merasakan kemanfaatan yang nyata, bila diukur dari indeks pembangunan manusia Indonesia secara jujur, adil dan merata.
Dengan demikian, semangat nilai kepahlawanan yang menyiratkan kedaulatan harus diaplikasi di tengah persaingan ekonomi global. Bila kita benar-benar menjadi Pahlawan modern saat ini, kita rela untuk tidak membeli produk-produk dari kekuatan kapitalis yang menimbulkan ketergantungan sosiologis yang berdampak sistemik.
Dobrak semua itu dengan cara, tidak membeli produk mereka, sementara penguatan dan penumbuh kembangan secara masif produktivitas produk dalam negeri yang asli Indonesia dikapitalisasi dan digelontorkan serentak, untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan membuka pasar ekspor sebagai bisnis plat merah pada pasar dunia.
Tujuan pokoknya adalah, agar tidak mengalir keluarnya uang kita dan potensi ekonomi di dalamnya (Net Outflow of National Wealth). Selain itu, agar generasi muda terproteksi dari jebakan sektor tenaga kerja (buruh), yang menghilangkan potensi tumbuh kembang sebagai generasi emas yang produktif dengan ide dan kekaryaan baru yang inovatif, dimaksudkan agar level kebangsaan ini meningkat, sebagai penerus tongkat estafet.
Kembali mengolah sawah, berkebun, berternak, bisnis kelautan, dengan paradigma baru manajemen modern dan canggih yang dikapitalisasi dan diindustrikan ala Indonesia. Domain siapa yang menggerakkan dan paling bertanggung jawab, tentu sudah menjadi tugas daripada negara.
Di atas, hanya satu sisi dari kerangka bidang ekonomi yang dibangun, dari banyaknya potensi kemandirian produktivitas yang mendatangkan tujuan kemakmuran, dalam tata kelola hidup bangsa Nusantara yang ideal, linier dengan potensi sumber daya kekayaan didalamnya.
Mengisi kemerdekaan dengan aneka kegiatan seremonial, terus dilanjutkan sebagai upaya membuka ingatan guna memotivasi, namun bukan yang esensi. Relevansi pendulangan nilai-nilai kepahlawanan tidak lagi dalam rangka mengusir penjajah.
Perlawanan hingga pertempuran saat ini, sudah bertransformasi pada penjajahan gaya baru. Strategi cerdasnya harus mampu mengetahui medan tempur yang jelas, dengan amunisi spirit keberdikarian di segala bidang sebagai bentuk kedaulatan sebuah negara yang merdeka.
Medan tempur bagi domain kekuasaan, tentu mengupayakan langkah protektif pada sisi pengamanan aset yang dinasionalisasi penuh untuk kepentingan rakyat, tidak diserahkan pada mekanisme pasar, serta untuk posisi daya tawar bisnis global yang mantap.
Medan tempur bagi seorang warga desa petani tembakau, tak akan membeli rokok merk company terkenal, namun cukup merokok dari hasil tanam tembakau sendiri.
Bagi rakyat biasa, hasil keringat dari hasil buruh, tidak habis untuk aneka kebutuhan finansial berbentuk angsuran maupun cicilan dan masih banyak lagi medan tempur yang harus diupayakan untuk dilawan dengan strategi yang cerdas, mengandung nilai luhur arti sebuah harga diri, martabat dan kehormatan bangsa dalam kedaulatan bernegara, sebagai implementasi taktis nilai kepahlawanan.
Belanda Bagian Leluhur Nusantara, namun Harga Mati Penghapusan Penjajahan
Harapannya, bila benar Indonesia banyak golongan makmur, ratakan itu dengan semangat tempur berupa strategi tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sehat, selalu berpihak pada kepentingan rakyat, bukan gairah pencitraan dengan objek memerdekakan rakyat.
Tunduk kepala, bunga bangsa
Terimakasih, Pahlawanku.