Mengapa dan Ada Apa? Bupati Meranti Berseteru dengan Kemenkue, Apakah Berhulu pada UU Migas Penyebabnya
- Benar yang dimaksud tidak secara kasuistik dengan apa yang terjadi di Meranti atas perseteruan tersebut, namun lebih pada konstruksi dasarnya mengenai pengelolaan sektor ESDM, khususnya dalam konteks ini minyak dan gas oleh negara, berlaku di seluruh Indonesia -
Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Mengapa dan Ada Apa? Bupati Meranti Berseteru dengan Kemenkue, Apakah Berhulu pada UU Migas Penyebabnya
“Sayangnya, UU Migas tidak termasuk dalam daftar 41 RUU Prioritas Tahun 2023 yang disepakati oleh Badan Legislasi, Pemerintah dan DPD untuk direvisi pada tahun 2023.”
ARUS komunikasi saat ini benar-benar tanpa batas, bahkan sekelas media sosial pun tak sekedar untuk ajang “ngeksis” juga perang opini, bahkan klarifikasi suatu hal yang dianggap penting pun hal yang lumrah.
Perseteruan Bupati Kepulauan Meranti dengan pihak Kementerian Keuangan, menuai dampak positif bagi masyarakat, setelah viralnya video di sosial media yang beredar, bahwa masyarakat mulai berfikir dan ingin tahu lebih dalam, tentang apa? Bagaimana? Berapa? dan segudang pertanyaan lainnya tentang pengelolaan dan bisnis menyangkut sektor Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), khususnya pada hal migas (minyak dan gas).
Karena, berdasarkan data Wood Mackenzie, Indonesia adalah urutan nomor dua negara yang paling banyak mengambil manfaat dari hasil produksi migas, itu pun laporan pada 2013 yang lalu.
ESDM dalam laman resminya melaporkan bahwa sistem tata kelola minyak dan gas bumi melalui kontrak bagi hasil saat ini adalah sangat nasionalis, karena negara mendapatkan keuntungan jauh lebih besar daripada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Selain itu, salah satunya dari banyak peraturan yang menghitung mengenai mekanisme penyaluran/penghitungan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas, Kementerian ESDM telah melahirkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% (Sepuluh Persen) Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, dimana Pemerintah Daerah akan mendapatkan pembagian saham sebanyak 10%. Dengan harapan, masyarakat daerah potensi migas dapat menikmati hasil yang lebih nyata. Menariknya, investasi 10% partisipasi daerah tersebut dapat ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Ini adalah kemudahan bagi daerah penghasil migas. Itu, 2013 yang lalu, apakah saat ini juga demikian?
Hal di atas adalah hanya salah satu aturan menyangkut distribusi dana bagi hasil, yang mana telah dilahirkan banyak aturan turunannya, saat ini. Namun persoalan dalam konteks Kabupaten Meranti tetap mendasari pada UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Namun mengapa? Muhammad Adil namanya, Bupati Kepulauan Meranti Provinsi Riau, beberapa waktu yang lalu dalam rapat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah se-Indonesia di Pekanbaru, Riau, Adil kecewa pada hal pengelolaan dana perimbangan DBH (dana bagi hasil) minyak. Kekecewaan itu ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu Lucky Alfirman.
Kekecewaan sang Bupati memuncak, hingga menuduh pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai iblis atau setan. Tudingan Adil mengatakan bahwa Kemenkeu (pemerintah pusat) telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah Kepulauan Meranti.
“Ini orang keuangan isinya iblis atau setan. Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu. Tidak apa-apa, kami juga masih bisa makan, daripada uang kami dihisap oleh pusat,” kata Adil dalam video yang beredar di sosial media berdurasi 1 menit 55 detik.
Dasar Adil adalah, 8 ribu barel minyak per hari yang dihasilkan oleh Kabupaten Kepulauan Meranti, namun menurutnya tidak pernah menerima rincian penerimaan daerah atas hasil minyak (sumber daya alam) dari Meranti. Menurutnya, keuntungan yang didapatkan hanya kecil dari DBH (Dana Bagi Hasil).
Selain itu, Adil juga mengungkapkan bahwa daerahnya adalah daerah miskin yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah pusat. Karena sumber daya alam (Meranti) yang disedot oleh pusat, menjadikan tidak bisa berbuat banyak untuk membangun daerah, seperti memperbaiki hajat hidup orang banyak.
Adil juga mengatakan sebanyak 41 ribu pengangguran tidak bisa pergi ke Malaysia untuk bekerja, termasuk karena Covid-19.
Tak cukup sampai di situ, Adil sampai menyinggung bahwa daerahnya diizinkan gabung dengan negara sebelah. Hingga puncaknya Adil mengatakan, apa perlu warga Meranti angkat senjata.
Keras sekali, memang, apa yang dikatakan oleh Adil, sang Bupati yang baru saja (2022) bergabung dengan Partai PDI-Perjuangan.
Menanggapi hal tersebut, pihak Kemenkue tak tinggal diam, Yustinus Prastowo selaku Stafsus Menkeu Sri Mulyani, menyayangkan dan keberatan pernyataan Adil. Melalui video pendek yang diunggah di akun Twitter-nya @prastowo pada Minggu, (11/12/2022).
“Kami keberatan dan menyayangkan pernyataan Bupati Meranti saudara Muhammad Adil, sungguh tidak adil karena mengatakan pegawai Kemenkeu iblis atau setan.”
Apa yang dituduhkan oleh Adil, Yustinus Prastowo menilai pernyataan tersebut menyesatkan. Menurutnya, hal DBH sudah dihitung oleh Kemenkeu dari data resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Yang mana data tersebut untuk menenentukan dana bagi hasil, bukan hanya untuk daerah penghasil, bahkan daerah sekitar melalui mekanisme Undang Undang (peraturan) yang berlaku.
Dirinya merinci alokasi dana transfer ke daerah, serta DD (dana desa) oleh Kemenkeu tahun 2022. Pihak Kementerian telah mengalokasikan dana transfer daerah dan DD sebesar Rp872 miliar atau 75 persen dari APBD Kabupaten Meranti. Setara 4 kali lipat dari PAD meranti sebesar Rp222 miliar per-tahun.
Dari perseteruan di atas, sudah dapat ditangkap apa esensinya, bahwa hal itu pokok masalahnya di luar konteks politik, bila berkaitan dengan pendapatan ekonomi adalah soal DBH (dana bagi hasil) minyak. Artinya, versi Bupati Adil, yang mana Kabupaten Meranti yang menghasilkan 8 ribu minyak per hari, apakah sudah sesuai dengan DBH yang diterimanya, sedangkan menurut regulasinya sudah jelas. Ataukah Adil punya persepsi yang lain, yang publik tak pernah tahu apa yang mendasari dari persoalan tersebut, hingga dirinya super marah.
Dilansir dari situs esdm.go, bahwa pemberian dana bagi hasil Migas sesuai dengan Undang-Undang, bahwa pemerintah mengalokasikan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sektor Minyak Bumi dan Gas sesuai dengan amanat Undang-Undang yang berlaku, yakni UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara lebih rinci alokasi DBH Migas diatur berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Selain itu, Kementerian ESDM telah melahirkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% (Sepuluh Persen) Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, dimana Pemerintah Daerah akan mendapatkan pembagian saham sebanyak 10%. Serta aturan terbaru berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Namun demikian, konstruksi dari mekanisme aturan tersebut dalam konteks ini tetap berawal dari UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), hemat penulis.