Meninjau Ulang Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia
Nusantarapedia.net | POLHUKAM, OPINI — Meninjau Ulang Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia
Oleh : Davianus Hartoni Edy
“Ataukah sebenarnya dalam konteks tertentu keadilan restoratif sesungguhnya tidak benar-benar adil dan cenderung berorientasi pada anasir-anasir di luar keadilan hukum bahkan ikut terjebak pada pola pikir keadilan stratitifikasi sosial, sehingga substansinya menjadi bias dan manipulatif.”
KEADILAN restoratif muncul karena alasan perubahan pendekatan dalam penghukuman. Perubahan ini berupa peralihan penghukuman yang sifatnya mengurung kebebasan di balik jeruji besi berubah menjadi upaya restorasi yang mengedepankan harmonisasi masyarakat. Perubahan hukum pidana ini dipengaruhi oleh realitas logis yang moralis sekaligus manusiawi.
Namun, perubahan paradigma ini sebenarnya pada titik yang sama merupakan sebuah otokritik yang perlu digulirkan dalam kaitannya dengan penerapan hukum pidana perlu digulirkankan dalam kaitannya dengan penerapan hukum pidana dinamis, karena dalam konteks ini spirit hukum pidana menjadi bias oleh karena tidak terjaminnya pencapaian efek jera atau detterent effect dalam sebuah proses pencarian keadilan atas suatu perilaku tindak pidana.
Restorative justice di Indonesia awalnya muncul sebagai bentuk keprihatinan masyarakat hukum terhadap penerapan sanksi pidana bagi anak-anak yang melakukan kejahatan. Penyelesaian suatu kasus pidana ditempuh melalui jalur non litigasi agar meminimalisir pengaruh negatif penerapan sanksi pidana bagi masa depan anak. Walaupun demikian pengaturan keadilan restoratif dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 secara eksplisit tidak berlaku komprehensif, karena kehadirannya bersifat komplementer terhadap penerapan hukum formil sistem peradilan pidana anak.
Pergeseran fungsi menjadi keadilan restoratif yang lebih luas digaungkan oleh Polri dalam penanganan kasus pidana, sejalan dengan himbauan Menkopolhukam untuk mewujudkan masyarakat hukum yang harmonis (SIARAN PERS No: 250/SP/HM.01.02/POLHUKAM/11/2020).
Dalam konsepsinya, pandangan ini dapat dipersepsikan sebagai solusi terbaik saat ini untuk menyikapi permasalahan-permasalahan lainnya, seputar penanganan kasus pidana, misalnya tingkat hunian lapas yang over capacity, tidak adanya restitusi dan reparasi terhadap korban pidana, serta lemahnya upaya rekondisi suatu perbuatan dan akibat pidana jika hukuman pidana selalu bermakna pemenjaraan atau kurungan badan.
Wacana ini tidak berlebihan namun tidak sepenuhnya mengandung kebenaran praktis. Karena, pola restitutif-reparatif atau pilihan pemenjaraan dalam konteks ini sangat ditentukan oleh pihak korban dan pelaku. Dengan kata lain, jika korban dan pelaku bersepakat menempuh jalan damai maka keadilan restoratif dapat terwujud, sebaliknya jika kedua pihak tidak menemukan kata sepakat untuk berdamai maka pidana kurungan merupakan pilihan proses yang tak terelakkan.