Menjamurnya Media Online, Indikasi Kemajuan Digitalisasi?
Fenomena lainnya berupa adanya perubahan paradigma jurnalis sebagai sebuah profesi menjadi pekerja.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Sosbud — Menjamurnya Media Online, Indikasi Kemajuan Digitalisasi?
“Budaya literasi yang rendah dengan kumunculan media online yang membabi buta adalah paradoks yang perlu diseimbangkan. Bagaimana spirit membaca masyarakat ditingkatkan dengan terfasilitasinya media yang memuat konten yang bermutu dan mencerdaskan.”
Bisnis media online tampaknya mulai dilirik banyak pihak. Ini yang kemudian menyebabkan banyaknya media cetak yang tumbang dan tutup ikut beralih ke media berbasis digital. Kemunculannya bak jamur di musim hujan.
Satu sisi ini pertanda pertumbuhan media online merupakan indikasi kemajuan digitalisasi. Selain karena tuntutan zaman, perusahaan pers harus mengikuti kemajuan industri agar tidak tertinggal.
Namun, di sisi lain, ini adalah bentuk uforia belaka. Menjamurnya media online tidak diimbangi dengan kualitasnya. Fenomena rendahnya kualitas media terjadi akibat sistem jurnalistik yang tidak berjalan dengan baik. Hal itu terjadi khususnya pada media-media online baru yang mulai tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besar bentuk produk berita yang diterbitkan cenderung mengabaikan etika jurnalistik.
Bahkan tidak sedikit tulisan justru merusak tatanan bahasa Indonesia, seperti perbedaan ‘di’ sebagai petunjuk maupun ‘di’ sebagai kalimat pasif. Memang hal ini tampak sepele, tapi sangat penting. Jika terus dibiarkan, maka ‘media juga menjadi penyumbang dalam merusak tata bahasa Indonesia’ yang seharusnya menjadi corong kaidah kepenulisan yang benar.
Menurut Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan, Madura, Abd Aziz, fenomena lainnya berupa adanya perubahan paradigma jurnalis sebagai sebuah profesi menjadi pekerja. Sebagai profesi, tentu tidak semua orang bisa menjadi jurnalis karena harus melalui tahap pelatihan, seleksi ketat dan terukur. Perusahaan akan mengangkat calon jurnalis bila dinilai profesional dan sesuai dengan kebutuhan.
Namun ketika jurnalis hanya dipandang sebagai pekerja, maka siapapun yang bisa bekerja mudah menjadi jurnalis. Makanya jangan heran kalau akhir-akhir ini banyak pekerja informal yang sama sekali jauh dari dunia jurnalistik secara tiba-tiba menjadi jurnalis.
Menurutnya, fenomena ini terjadi karena adanya pergeseran paradigma dari sebagian perusahaan media. Mirisnya jurnalis dadakan ini, cenderung melampaui kapasitasnya sebagai pewarta atau reporter dan menganggap semua berita yang ditulis harus diuangkan. Kadang juga tidak jelas antara dia sebagai jurnalis atau marketing iklan.
Di sisi lain pihaknya tidak bisa melarang keinginan mereka berperan untuk memiliki akses luas sebagaimana jurnalis ‘media-media arus utama’, karena bagaimanapun media sebagai salah satu elemen dan pilar penting negara.
Tidak hanya persoalan sistem dan media, sebab tidak sedikit yang menjadi jurnalis demi kepentingan usaha yang tengah digelutinya. Kelompok ini biasanya paling getol menolak upaya sistemik para profesional dalam bidang jurnalistik, seperti persyaratan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) atau UKJ (Uji Kompetensi Jurnalis).
Sementara, Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Hendry Ch Bangun khawatir akan banyaknya media online di Indonesia yang terkena Undang-undang ITE dengan ancaman pidana. Kekhawatiran itu muncul seiring menjamurnya media online, namun belum tersertifikasi Dewan Pers.
Menjamurnya media online belum diikuti kesadaran pemilik media agar terdaftar di Dewan Pers. Akibatnya, saat ini jumlah media yang tersertifikasi masih sangat minim. Mayoritas media yang telah terdaftar adalah media besar.
Menurutnya, banyak manfaat yang bisa didapat pemilik dan pekerja media yang sudah terdaftar. Selain terlindungi UU Pers, media tersebut juga akan lebih mudah dalam melakukan kegiataan perusahaan seperti iklan. Termasuk mengikuti berbagai pelatihan-pelatihan kejurnalistikan.
Melihat fenomena tersebut, pemerintah harus hadir untuk menyelesaikannya. Budaya literasi yang rendah dengan kumunculan media online yang membabi buta adalah paradoks yang perlu diseimbangkan. Bagaimana spirit membaca masyarakat ditingkatkan dengan terfasilitasinya media yang memuat konten yang bermutu dan mencerdaskan.
Pengertian Feature dan Langkah Menulisnya (1)
Menjawab Dilema Digitalisasi di Indonesia
Mimetisme Media
Internet Positif, Korelasi Netizen Journalism dan Pengaruh Buruk Medsos
Kedaulatan Digital Adalah Keniscayaan, Bukan Hanya Drama