Menjawab “MADILOG” Yang Mencemooh Alam Pikir Jawa
- jika definisi Jawa dalam pengertian ke-priyayi-an, dalam definisi tembok-tembok elit keraton Jawa yang tersisa itu memang kerapkali mengundang gugatan demi gugatan dari nalar kritis yang telah disepuh oleh ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban -
Nusantarapedia.net | OPINI, SOSBUD — Menjawab “MADILOG” Yang Mencemooh Alam Pikir Jawa
Oleh : Alvian Fachrurrozi
“Sebagai orang yang dibesarkan oleh peradaban Timur, saya dapat memahami bahwa realitas kehidupan itu tidak melulu tentang ruang Materialisme, Dialektika, dan Logika belaka. Namun juga ada ruang tentang Mistika dan Metafisika.”
Saya mengakui banyak belajar juga dari isi buku MADILOG. Hanya saja sudut pandang pembacaan saya sebagai orang Jawa, dapat melihat ada yang dangkal dalam sudut pandang Tan Malaka, terutama salah kaprahnya Tan Malaka dalam melihat mistik/spiritualitas sehingga mencampur-adukan antara ranah Tahayulisme (Gugon Tuhon), ranah Klenik (Ilmu Supranatural), dan ranah Mistika (Ilmu Spiritual) menjadi satu bangunan bernama Logika Mistika. Padahal ketiga hal itu, baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis sama sekali berbeda — kecacatan epistemik inilah yang saya soroti dan saya kritik dalam permenungan saya sebagai orang Jawa.
KAU mungkin anak muda yang mendaku revolusioner, yang menajiskan feodalisme kalangan priyayi atau agamawan, yang begitu terhasut oleh filsafatnya Karl Marx atau dekonstruksinya Jacques Derrida, dan yang tentu saja bersorak-sorai atas eksistensi pemerintahan republik yang mengikis kekuasaan keraton-keraton Jawa dan kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.
Tetapi kemudian apakah kau hanya akan puas menjadi sosok pemikir pemberontak yang naif, sosok dekonstruksionis lugu yang gemar menggebyah uyah (menggeneralisasi), yang malah gagal mempunyai kearifan “nalar kritis filterisasi” — pemilahan atas baik buruk — terhadap aspek-aspek yang coba kau lawan?
Semisal jika kau adalah orang Jawa dan mengenal betul seluk beluk kultur Kejawaan dan akar historisnya, maka kau akan memahami sepenuhnya, jika definisi Jawa dalam pengertian ke-priyayi-an, dalam definisi tembok-tembok elit keraton Jawa yang tersisa itu memang kerapkali mengundang gugatan demi gugatan dari nalar kritis yang telah disepuh oleh ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban.
Warisan keraton Jawa Islam dalam wujud hegemoni feodalisme seperti dalam bentuk membeda-bedakan derajat manusia berdasarkan “trah” (darah keturunan), yang lalu mewajibkan “trah rakyat” untuk “sembah tangan” dan “berjalan jongkok” kepada manusia dengan “trah ningrat”, atau yang bahkan di masa lalu mempunyai tradisi “ternak selir” yang sangat merendahkan kemanusiaan perempuan. Semua itu memang pantulan hal-hal yang jelek, potret kesadaraan kemanusiaan yang rendah, dan yang tentu saja pantas kita tumpas dalam eksistensi kehidupan sosial kita saat ini.
Tetapi akan kurang lengkap, kurang jujur, dan kurang adil jika kita melihat Jawa (dalam hal ini Jawa Keraton) hanya dalam bentuk-bentuk yang buruk itu saja. Padahal Jawa Keraton pun juga mewariskan sumbangan besar khazanah pengetahuan dan beragam kesenian yang begitu positif dan pantas kita apresiasi, bahkan semestinya wajib kita uri-uri (lestarikan).
Senyatanya “Kebudayaan Jawa” yang diarsipkan dan disimpan oleh para priyayi di dalam pustaka tembok elitis keraton itu secara jujur memang harus kita akui sangat begitu kaya, canggih, dan hebat, seperti dalam filsafat ketuhanan dan tata laku olah kebatinannya, begitupun dalam seni seperti gamelan, wayang, tari, batik, bahkan tata desain bangunan keraton semua itu juga sangat memukau sekali.
Menilik dari segi warisan seni kebudayaan yang begitu tinggi dan khazanah pengetahuan spiritual yang begitu kaya, luhur, dan mendalam itulah kiranya kita yang meski mendaku sebagai pemuda revolusioner — tetapi mempunyai latar kebudayaan Jawa — maka jangan sampai tidak mempunyai kesadaran memilah, lugu dalam mendekonstruksi, dan menumpas secara ugal-ugalan segala pernak-pernik kebudayaan Jawa sebagaimana kecenderungan Tan Malaka yang secara eksplisit kita dapati dalam bukunya “MADILOG” — yang menurut saya terlalu mengebyah uyah dan gagal membedakan antara hal “tahayul” (keyakinan omong kosong) dengan “klenik” (ilmu-ilmu supranatural), dan apalagi dengan “spiritual” atau “mistik kebatinan” yang merupakan laku penyelaman rohani.
Meski di satu sisi Tan Malaka itu juga harus kita maklumi, sebab putra Minangkabau yang luar biasa itu juga secara jujur mengakui bahwa dirinya memang belum sepenuhnya mengenal dan menyelami kebudayaan Jawa, bahkan Tan Malaka juga mengatakan jika semisal mempunyai waktu yang sangat luang, sungguh dia sangat berkeinginan untuk bisa secara intensif mempelajari dunia pewayangan — karena menurutnya di pewayangan itulah kamus alam berfikir manusia Jawa bisa dibaca.