Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
Lantas, harus seperti apa jalan taktisnya? ya, tekat dan kemauan untuk berubah dan berubah, berani mengambil keputusan apapun konsekuensi dan resikonya, dari road map setelah sadar dan memulai dengan kebiasaan baru (habit) menjadi merubah kultur
Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
“Indonesia harus berani merubah kultur yang selama ini membelenggu. Siapa agen perubahan itu? Ya, para penyelenggara negara dan rakyat sendiri.”
Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala s’lalu mengikuti, tiada topan tiada badai kutemui, ikan dan udang menghampiri diriku. Tongkat dan batu jadi tanaman … dan seterusnya. (lirik lagu Koes Plus)
Koes Plus, grup band Indonesia yang menciptakan lagu “kolam susu,” dengan petikan lirik di atas. Lagu tersebut jelas mengetengahkan akan Indonesia yang subur dan makmur.
Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kertaraharja, slogan tersebut telah muncul ketika kerajaan Kediri diperintah oleh Sri Aji Jayabaya abad ke-12. Bahwa, keadaan di Jawa dan Nusantara sangatlah tenteram dan makmur prajanya, karena sangat subur tanahnya serta melimpahnya ketersediaan air.
Indonesia terletak di antara dua belahan dunia dan samudra. Beriklim tropis, menjadikan topografi alamnya lengkap. Ada gunung, laut, hutan, sungai, sawah, ladang serta aneka karakter alam lainnya, seperti garis pantai yang panjang dengan matahari bersinar sepanjang tahun.
Potensi perut buminya pun sangat besar. Energi sumber daya mineralnya, sangatlah cukup menuju kemakmuran bersama atas nama bangsa dan negara, bahkan dalam potensi ketersediaan yang cukup panjang bila digunakan sewajarnya.
Indonesia punya nikel nomor 1 dunia, produksi kakao dan kopi nomor 3 dan 4 dunia. Nomor 2 dengan karetnya, serta banyak rekor diciptakan untuk urusan pertambangan, termasuk emas, minyak bumi dan batu bara.
Andaikan hutan dan hasil laut dibiarkan alami, kita gantungkan dari ketersediaan pangan dari sektor pertanian saja sudah lebih dari cukup untuk alasan kemakmuran.
Pada pokoknya, Indonesia adalah negara yang kaya. Cita-cita terciptanya Indonesia yang adil dan makmur menuju Indonesia yang maju bukan isapan jempol. Pertanyaannya? adilkah semua itu? dan, sampai dimanakah kedaulatan Indonesia ihwal keadilan dan kemakmuran bagi dan untuk bangsa dan negara. Itu, pointnya!
Dari sisi politik hukum dan keamanan, kedaulatan yang dimaksud jelas, jelas berdaulat secara penuh atas teritori, ekonomi dan kebudayaan.
Dengan sepakatnya bangsa Indonesia membentuk organisasi institusi berupa negara, maka negara bertanggungjawab akan seluruh isi didalamnya dalam pengelolaan sumber-sumber alam dan manusia. Pengelolaan tersebut tentu bermuara pada cita-cita konstitusi tujuan yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Persoalannya? Apakah selama ini sudah cukup berdaulat. Apakah selama ini terbebas dari intervensi dan infiltrasi asing yang masuk melalui celah regulasi dan deal-deal politik tertentu dalam skema pembangunan global atas nama globalisasi, digitalisasi, modernisasi. Yang mana lupa, lupa akan hak asasi dan hak hidup dari langit sebagai kodrat dalam hubungannya dengan distribusi keadilan oleh penyelenggara negara atau negara kepada rakyat.
Selama ini, Indonesia cukup terlena dengan aneka sumber daya alamnya, bahkan ibarat diberikan hanya cuma-cuma kepada pengembang melalui desain kapitalisme dan neoliberalisme. Sementara rakyat dapat apa?
Pada bagian yang lebih revolusioner, maju dan mundurnya sebuah bangsa dan negara bukan terletak atau menggantungkannya dari sumber daya alam, melainkan sumber daya manusia itu sendiri yang membuat sebuah negara menjadi maju. Dengan demikian, desain Indonesia terkait tata kelola di dalamnya harus mempunyai relevansi dengan jaman. Berbekal tiga point, yaitu; kesadaran, kebiasaan/habit dan merubah kultur.
Dengan demikian, baik dalam kapasitas sebagai penyelenggara negara maupun rakyat, harus mengacu pada tiga point tersebut dalam tata kelola desain pembangunan berbangsa dan bernegara.
Kesadaran yang manakah itu? Jelas, bagi para penyelenggara negara harus sadar akan potensi Indonesia di atas. Bagaimana caranya agar bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya lestari dan selamat untuk dipergunakan guna kepentingan dalam negeri, terutama kesejahteraan kemakmuran dan keadilan rakyat.
Jangan sampai, justru kekayaan alam Indonesia diobral untuk di gelar sebagai ajang pasar bebas, yang ujung-ujungnya bagi hasil didalamnya, negara dan rakyat menerima dengan tidak sepadan. Negara rugi, rakyat terbelenggu dalam perangkap menjadikan buruh, alam pun rusak. Akhirnya, pepatah tikus mati di lumbung padi adalah nyata, atau menjadi kacung di negeri sendiri.
Bila pemangku kepentingan bangsa dan negara telah sadar, lantas harus menciptakan kebiasaan baru yang baik (habit). Misalnya, warisan feodalisme yang menjadikan bangsa ini menjadi kompetitif, mental inferiority, asal bapak senang, penjilat, pencitraan, semu, bohong dan sebagainya harus dihilangkan.
Tidak boleh lagi sesama anak bangsa mudah di adu domba. Kebijakan dan regulasi yang sudah berjalan baik, dirubah agar terlihat beda dengan pemimpin sebelumnya. Akhirnya Indonesia terjebak dalam narasi administrasi dan birokratif yang feodal. Terlebih kebiasaan tersebut tidak diciptakan baik, namun seolah-olah baik dan berpihak pada rakyat, namun sesungguhnya pesanan gaya baru kaum neoliberal kapitalistik.
Investasi didengungkan di mana-mana atas nama kemajuan pembangunan. Padahal skema pembiayaan dan outcome yang di dapat untuk rakyat tidak seberapa. Kecuali, proyek-proyek besar para pemodal dan penghamba uang. Bermain proyek di negeri orang, plus tenaga kerja di dalamnya, ditambah produknya juga suruh membelinya. Benar-benar menciptakan sistem ekonomi baru yang membuat rakyat tersandera dalam desain supplay and demand.