Menunggu Bulan-bulan Penghapusan Tenaga Honorer pada 28 November 2023

Lantas, polemik tersebut membukakan fakta bahwa sebuah pekerjaan dalam rangka mendapatkan penghasilan di negeri ini memang dengan tiket yang mahal. Artinya, masih banyak terdapat pengangguran intelektual.

19 Juli 2022, 20:15 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Menunggu Bulan-bulan Penghapusan Tenaga Honorer pada 28 November 2023

“Persoalan penghapusan dan rekruitmen tenaga honorer, ASN, PPPK, dan tenaga non-ASN lainnya, persoalannya bukan pada pokok kepegawaian itu sendiri yang pastinya dianggap membebani keuangan pemerintah atau pun narasi guna kebutuhan aparatur untuk penyelenggaraan pemerintahan.”

Dengan adanya keputusan pemerintah sehubungan dengan dihapusnya tenaga honorer dari instansi pemerintah per 28 Nov 2023, berdasarkan PP No 49 Tahun 2018 yang dilanjutkan dengan SE KemenPAN-RB No B/185/M.SM.02.03/2022. Hal tersebut telah menjadi polemik di tengah masyarakat, terlebih berhubungan dengan pekerjaan dan sumber pendapatan, yang tentunya sensitif.

Dalam hal ini, pemerintah pusat mempunyai argumentasi terkait penghapusan tenaga honorer tersebut. Pihak pemerintah pada awal bulan Juni 2022 yang lalu berpendapat bahwa, argumentasi tersebut didasarkan pada amanat Undang-undang sendiri, serta untuk melindungi tenaga honorer dari segala kemungkinan yang tidak menguntungkan bagi tenaga honorer.

Amanat Undang-undang No. 5/2014 tentang ASN sangat jelas, bahwa hanya ada dua status kepegawaian di lingkungan pemerintahan, yakni; CPNS (ASN) dan PPPK. Hal penghapusan tersebut dipertegas dengan Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara (Kemenpan-RB) Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dari argumentasi regulasi yang mendasarinya, kemudian tujuan penghapusan tenaga honorer dengan alasan: lantaran sistem pengupahan yang tidak jelas, seringkali di bawah UMR. Dengan demikian, agar pengupahan tersebut standart (layak), maka perlunya status kepegawaian yang jelas, minimal status pegawai PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

Bagi pemerintah, hal tersebut sebagai langkah penataan tenaga non-ASN pada pemerintah pusat maupun daerah sebagai langkah strategis untuk membangun sumber daya manusia (SDM) ASN yang profesional dan sejahtera, yang mana di awali dari sistem rekrutmen yang jelas.

Hal tersebut dari peta jalan bahwa, rekruitmen yang tidak jelas akan berpengaruh pada pengupahan yang jauh dari standart UMK.

Selain itu, pemerintahan pusat juga menegaskan bahwa pengangkatan tenaga honorer seolah-olah perintah pemerintah pusat. Padahal kebutuhan tenaga honorer disesuaikan berdasarkan kebutuhan dan kekuatan pemerintah daerah pada masing-masing instansi.

Namun demikian, pihak pemerintah berdalih bahwa, yang saat ini berstatus sebagai tenaga honorer, pada 2023 nanti tidak langsung diberhentikan sebagai tenaga honorer. Tenaga non-ASN tetap dibutuhkan, tetapi dengan pola rekruitmen yang jelas melingkupi semua aspek.

Alasan yang terakhir bahwa, tenaga honorer di dorong untuk mengikuti seleksi rekruitmen CPNS dan PPPK di tingkat daerah maupun pusat sebagai solusi atas penghapusan tersebut.

Menanggapi polemik tersebut, Netty Prasetiyani Aher selaku Anggota Komisi IX DPR RI, menyorotinya khusus pada tenaga honorer di instansi kesehatan, yakni tenaga kesehatan (nakes). Dalam keterangannya yang dikutip dari parlementaria.dpr, Selasa (19/7/2022) mengatakan, keputusan tersebut akan membuat nasib ratusan ribu tenaga kesehatan (nakes) honorer yang bekerja di instansi pemerintah menjadi tidak jelas.

“Sampai saat ini belum ada kejelasan status nakes honorer yang sudah bekerja puluhan tahun melayani kesehatan masyarakat. Jika tidak segera diatasi, maka akan banyak nakes yang di-PHK akibat adanya ketentuan tersebut,” kata Netty.

Netty mengungkapkan, alternatif lain dari PHK adalah mengangkat para honorer tersebut menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Persoalannya, apakah Pemda siap meng-cover biaya belanja PPPK yang dibebankan pada anggaran daerah? Berdasarkan info yang saya dapatkan, rata-rata Pemda hanya sanggup mengalokasikan 10 persen saja untuk formasi nakes PPPK,” jelasnya.

Menurutnya, jumlah yang kecil dibandingkan jumlah nakes honorer yang selama ini melayani kebutuhan kesehatan masyarakat di lapangan. Ia mencontohkan, jumlah honorer nakes di Kabupaten Indramayu, yang mana merupakan daerah pemilihannya, terdapat sekitar 1.886 orang dan di Kabupaten Cirebon ada sekitar 1500- an. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus membuat kebijakan afirmasi sebagai solusi mengatasi persoalan ini. Maka ia meminta pemerintah pusat dan daerah bersama-sama mencarikan solusinya.

“Pemerintah pusat tidak bisa melempar tanggung jawab persoalan nakes honorer ke pemerintah daerah begitu saja. Harus ada kejelasan bagaimana cara Pemda membiayai pengangkatan PPPK. Jangan sampai nanti hanya jadi angin surga: Pemda menyetujui mengangkat sebagai PPPK ternyata tidak ada anggarannya,” kata Netty.

“Alternatifnya, apakah dengan menambah Dana Alokasi Umum (DAU) atau bahkan ada Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembiayaan PPPK,” katanya.

Kekawatirannya, bila tidak segera ada solusi, maka penghentian nakes honorer akan berdampak pada kolapsnya pelayanan kesehatan masyarakat.

“Bisa dibayangkan nasib pelayanan kesehatan masyarakat di Puskesmas-Puskesmas di daerah yang kolaps akibat PHK nakes honorer. Kalau ini terjadi maka indeks kesehatan kita akan anjlok, gangguan kesehatan meningkat, prioritas nasional ke-3; yaitu membangun SDM yang sehat, unggul, dan berkualitas makin absurd,” tegasnya.

Netty juga mencontohkan soal stunting, juga akan makin sulit dan berat akibat berkurangnya tenaga pelayanan di puskesmas.

“Selain itu, jika pengangguran meningkat, maka daya beli masyarakat akan menurun. Mereka tidak mampu membeli pangan bergizi untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” tandasnya.

Menunggu Eksekusi

Dari argumentasi di atas, baik yang pro dan kontra masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan narasi yang selogis-logisnya. Tentu wajar di tengah iklim demokrasi di Indonesia.

Lantas, yang kita tunggu menurut hemat penulis adalah, posisi tenaga honorer yang saat ini masih aktif, akankah benar-benar dihapus per-28 November 2023. Bila benar pada tanggal tersebut terjadi pemutusan, tentu ini menjadi PR bagi pemerintah daerah agar secara frontal tidak terjadi pemutusan tenaga honorer dengan alasan banyak hal, seperti pengaruhnya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan secara kemanusiaan pada pekerjaan tenaga honorer yang punya relasi dengan sumber penghasilan.

Dengan keputusan tersebut (penghapusan) arahnya jelas, bahwa efisiensi dan efektifitas birokrasi memang di sederhanakan namun produktif. Maka sebagai gantinya, produktivitas masyarakat dibuka seluas-luasnya di pelbagai bidang, dalam artian konteks relasi antara pekerjaan-penghasilan, dengan dibukanya lapangan pekerjaan baru yang mandiri, terarah, terintegrasi sebagai bagian dari arah ekonomi nasional.

Tentu ini menjadi pelajaran bagi semuanya, terutama pihak pemerintah daerah, bahwa seringkali trend pengangkatan tenaga honorer di daerah tidak melihat dari aspek kebutuhan, tetapi lebih pada kepentingan tertentu. Akibatnya, jumlah tenaga honorer membludak di semua instansi organisasi perangkat daerah.

Praktik jual beli formasi masih ada di dalamnya (sebelumnya), di samping terus membuka lowongan tenaga honorer dengan sistem surat keputusan lokal yang ditandatangani oleh pimpinan instansi. Selanjutnya, diarahkan pada pendataan tenaga honorer masuk dalam data base Badan Kepegawaian Daerah.

Akibatnya, jumlah pegawai tenaga honorer yang masuk data base BKD menjadi tidak proporsional atau over. Dengan demikian, kebiasaan daerah membuka lowongan tenaga honorer dengan SK lokal dan dimasukkan ke dalam sistem data base BKD harus dihentikan. Dan, penulis yakin hal tersebut saat ini sudah tidak ada lagi, tapi dampak atau akumulasi pengangkatan di sepuluh tahun terakhir menjadi jumlahnya besar.

Lantas, polemik tersebut membukakan fakta bahwa sebuah pekerjaan dalam rangka mendapatkan penghasilan di negeri ini memang dengan tiket yang mahal. Artinya, masih banyak terdapat pengangguran intelektual.

Harapan menjadi ASN adalah impian, meskipun harus dilalui dengan menjadi tenaga honorer yang statusnya ada yang masuk data base BKD maupun yang tidak. Impian tersebut, mestinya dibandingkan dengan profesi buruh pabrik atau menjadi petani, yang jelas-jelas lebih baik “mending” menjadi pegawai.

Kesimpulannya, persoalan penghapusan dan rekruitmen tenaga honorer, ASN, PPPK, dan tenaga non-ASN lainnya, persoalannya bukan pada pokok kepegawaian itu sendiri yang pastinya dianggap membebani keuangan pemerintah atau pun narasi guna kebutuhan aparatur untuk penyelenggaraan pemerintahan.

Namun, hal tersebut sebagai etalase bahwa pekerjaan di negeri ini memanglah sulit. Kepegawaian hanya variable saja, yang pokok adalah belum terbukanya lapangan pekerjaan mandiri sebagai bagian dari produktivitas bangsa. Jika lapangan pekerjaan tersebut dimaknai sebagai mencetak buruh pada kepentingan kapitalisme, itu lain lagi. Tetapi tujuannya bukan itu, tujuannya adalah tetap terciptanya keadilan dan kemakmuran sesuai amanat konstitusi.

Lantas, bagaimana endingnya, kita terus berharap good will dari pemerintah dalam tujuan konstitusi. Berharap dan berharap, kehadiran itu nyata. Keberpihakan!

Adu Elektabilitas Sudah Dimulai, Saling Klaim Itu Hak! Dimana Etikabilitasnya?
19 Pasal RKUHP Ancam Kemerdekaan Berpendapat, selain Polemik 14 Isu Krusial
Badan Anggaran DPR dan Pemerintah Sepakati Realisasi Defisit APBN Tahun 2022 di Angka 4,5 Persen
Moral Clarity dan Etika Politik Poros Intelektual
Geopolitik Negara dan Sumber Daya (1)

Terkait

Terkini