Menyelami Jagat Fiksi Anak
Para ahli folklor menyatakan tujuan awal legenda adalah membentuk akhlak anak-anak yang ujung-ujungnya akan menjadi bagian karakter dan wataknya.
Nusantarapedia.net, Jurnal | Pendidikan — Menyelami Jagat Fiksi Anak
Pengarang yang bijak senantasa memikirkan khalayak atau pembacanya. Begitu halnya dengan pengarang cerita anak (cernak). Alam pikiran anak beraduk antara kenyataan dan fantasi …(Mansur Samin, Majalah BB, edisi 25 Agustus 1990)
Yang dimaksud anak-anak di sini adalah mereka yang sudah mulai mampu membaca. Jagat anak-anak adalah jagat campur aduk antara kenyataan dan khayalan. Mereka dapat menemukan dirinya sedang terbang di angkasa bersama tokoh khayalan (selain Superman) atau berkelana ke bawah laut (menemui Sponge Bob). Mereka merasakan memiliki sayap yang membawanya naik-turun di antara awan-gemawan atau memiliki napas panjang di negeri Bikini Bottom-nya Sponge Bob. Pada saat yang lain, anak-anak dapat larut dalam permainan bersama kawan sebaya tanpa lelah dan tanpa kenal waktu.
Persoalan pertama yang harus dipahami para (calon) pengarang cernak ialah alam pikiran anak-anak itu sendiri. Sebagaimana nukilan ucapan pengarang cernak di atas: alam pikiran anak beraduk antara kenyataan dan fantasi. Bagi kebanyakan anak, film kartun misalnya, jauh lebih menyenangkan daripada cerita faktual yang dimainkan manusia.
Dalam majalah Look Japan (edisi 23 Maret 2000), dimuat feature (berita khas) tentang kebiasaan pengarang cernak di Jepang, yang selalu meriset sejumlah polah anak-anak sebagai sumber ilham. Kadang-kadang pengarang cernak bersinergi dengan pengelola naskah untuk stasiun televisi dan membahas produksi hiburan dengan menggabungkan unsur kenyataan dan fantasi. Dengan cepat, acara hiburan anak-anak berupa kartun mendapat sambutan hangat dari sebagian besar anak-anak Jepang dan bahkan dunia.
Dongeng yang berbentuk legenda sangat digemari anak-anak. Dalam cerita jenis ini, pengarang seharusnya dapat memotivasi anak-anak dengan ajaran kebaikan (moral). Selain menceritakan asal-usul tempat dan benda, biasanya dalam legenda tersirat ajaran kebaikan ini. Misalnya, Legenda Malin Kundang dari Sumatra Barat berisi ajaran kebaikan agar pendengar/pembaca (anak-anak) tidak durhaka kepada orang tuanya dan orang tua diingatkan untuk tidak mengutuk sang anak menjadi batu.
Para ahli folklor menyatakan tujuan awal legenda adalah membentuk akhlak anak-anak yang ujung-ujungnya akan menjadi bagian karakter dan wataknya.
Tanpa menyelami alam pikiran anak-anak, niscaya tidak akan lahir cernak yang bermutu. Menyelami alam pikiran anak adalah juga memahami jagat mereka.
Setelah menyelami alam pikiran anak-anak, barulah kita fokuskan pada tema. Pada umumnya, tema cernak adalah moralitas dan dorongan untuk berkreasi. Legenda Malin Kundang akan mudah dipahami anak. Mereka dapat mengambil pelajaran dari legenda itu; bahwa anak tidak boleh mendurhakai diri dan orang tuanya. Sebaliknya, orang tua harus mendoakan mereka.
Tema cernak amat beragam. Misalnya, tema tentang ketamakan atau kerakusan yang sifatnya jelas buruk, tentang kesabaran menghadapi cobaan atau tema kepahlawanan. Cerita orang yang berjasa bagi bangsa dan negaranya layak diceritakan kepada anak-anak.
Tentu saja kisah cinta segita atau roman kurang baik atau tak sesuai dengan alam pikiran anak-anak. Kisah Cinderella atau di Indonesia dikenal dengan Bawang Merah, Bawang Putih, memang mengandung unsur percintaann. Akan tetapi, titik berat ceritanya ialah tentang anak yang dikucilkan dan dibenci saudara-saudaranya. Kemudian, nasib membawa tokoh cerita ini berkenalan dengan pangeran sehingga terjadilah pembalikan arah. Di sini yang dipersoalkan ialah keangkuhan (saudara-saudara Cinderella atau Bawang Putih) melawan kesabaran Cinderella atau Bawang Putih. Pada akhirnya keangkuhan dikalahkan oleh kesabaran. Kedua cerita ini sebenarnya lebih cocok untuk remaja.
Anak-anak selalu berempati kepada orang kecil yang teraniaya. Mereka selalu berpihak kepada tokoh semacam itu dan kepada pahlawan yang membela si lemah dan si teraniaya. Mereka selalu benci melihat tokoh licik dan angkuh. Dengan demikian, amatlah baik jika dalam cernak dimasukkan unsur kepahlawanan, kejujuran, dan semangat menolong sesama. Tokoh hero selalu diasyiki anak-anak, bahkan terbawa dalam pergaulan sehari-harinya.
Anak-anak selalu meniru. Kadang-kadang yang buruk pun ditirunya. Pengarang harus berhati-hati agar pembaca (anak-anak) tidak terjebak dalam sikap meniru secara negatif. Pada dasarnya, pengarang adalah guru dan orang tua dalam profesi lain.
Bagaimanapun juga, tanpa menyelami alam pikiran anak-anak dan pemilihan tema yang tepat—karangan kita kurang berharga. Cernak termasuk bahan masukkan yang dapat memperluas cakrawala penalaran anak-anak.
Konkret
Ingatlah selalu bahwa anak-anak belum begitu mampu memahami kata-kata yang tidak berwujud/abstrak. Mereka mengerti arti buku, tetapi tidak paham apa artinya perbukuan (abstrak). Mereka mengerti ibu, tetapi tidak paham apa yang dimaksud dengan keibuan.
Di sekolah, mereka diajarkan bahwa 2 jeruk + 2 jeruk = 4 jeruk; 3 pensil + 2 pensil = 5 pensil, dst. Lama kemudian barulah mereka diajarkan berhitung secara abstrak jalan menghilangkan benda-benda konkret tadi (jeruk dan pensil). Angka-angka terakhir ini adalah abstrak dan hanya dapat mereka pahami setelah mereka memulai dengan benda-benda konkret.
Selain mempertimbangkan konkret dan abstraknya kata-kata, harus pula dipertimbangkan kalimat-kalimat yang ditampilkan. Kalimat untuk cernak haruslah kalimat sederhana yang umumnya hanya terdiri atas pokok (subjek), sebutan (predikat), dan keterangan (objek). Kalimat yang mengandung ketiga unsur itu sudah cukup panjang untuk anak-anak, apalagi “kalimat beranak” yang berbelit-belit. Kata-kata yang digunakan haruslah kata-kata yang terdapat dalam jagat mereka. Perbendaharaan kata anak-anak sangat terbatas, tetapi itulah yang harus kita pertimbangkan. Barangkali contoh berikut ini tidak akan menyulitkan anak-anak untuk memahaminya.
Ayah Malin Kundang sudah meninggal. Dia meninggal ketika Malin Kundang masih kecil. Kini, Malin Kundang hidup bersama ibunya. Setiap hari Malin Kundang membantu ibunya mencari kayu atau ranting kering. Dari menjual kayu dan ranting inilah mereka memperoleh uang. Uang tersebut mereka belikan beras dan lauk-pauk seadanya..Mereka tidak memiliki sawah atau ladang. Mereka termasuk penduduk kampung yang miskin (Panduan Mengajarkan Cerita Rekaan, Edi Warsidi, 2007).
Kalimat-kalimat dalam contoh tersebut diusahakan tidak berpanjang-panjang. Kalimat yang sederhana gampang diserap anak-anak. Pemilihan kata pun diusahakan sebatas wawasan bahasa mereka. Alur cerita disusun secara runtut sehingga mudah diikuti. Cerkan dengan kilas balik (flashback) sulit bagi anak-anak untuk memahaminya.
Panjangnya cerkan harus dibatasi. Ingatlah anak-anak cepat bosan. Mereka menyukai variasi, begitu juga dengan cerita. Untuk majalah, cukuplah jika cerita dimuat dalam dua halaman dengan huruf yang agak besar agar tidak merusakkan mata anak.
Dongeng tentang kerajaan banyak sekali terdapat dalam cernak. Karena kerajaan sudah semakin surut dalam perkembangan dunia, ada yang menyarankan agar cerita semacam ini dikurangi pula. Anak-anak sekarang sudah tahu presiden mereka; sedikit-banyak sudah mengerti juga apa yang dimaksud negara kesatuan yang berbentuk republik. Dengan begitu, disarankan alangkah baiknya anak-anak dibawa juga mendekati kenyataan.
Pendapat tersebut ada benarnya, tetapi sepanjang menyangkut anak-anak, tidak perlu teramat dirisaukan. Mereka mengerti juga bahwa raja adalah seorang yang sangat berkuasa. Di dunia satwa pun mereka mengenal raja binatang yang bernama singa atau harimau. Selama cerita tersebut tidak merangsang anak-anak untuk menyukai kerajaan, tidak ada masalah. Yang perlu ditanamkan ialah bahwa negara kita adalah negara kesatuan yang dipimpion oleh seorang presiden. Indonesia adalah republik kesatuan.
Dunia satwa (fabel) juga penuh dengan hal yang tidak sesuai dengan penalaran, tetapi anak bisa memahaminya. Begitu juga halnya dengan raja. Tidak ada yang perlu dirisaukan selama mereka tahu bahwa itu sekadar cerita belaka.
Ada orang berpendapat bahwa pada akhir cerita tidak perlu dibuat simpulan tentang isi seluruh cerita. Biarkanlah anak-anak membuat simpulan sendiri. Pendapat tersebut tidak keliru. Akan tetapi, jika kita mmenyadari bahwa daya nalar anak-anak amat terbatas, tentulah tidak ada salahnya pengarang membuat simpulan dalam dua atau tiga kalimat. Simpulan itu memberi arahan yang jelas kepda anak, apa yang dimaksud dengan cerita tersebut. Ingatlah bahwa penulis cernak memiliki tanggung jawab, bak guru atau orang tua dalam profesi lain.
(Penulis, alumnus Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran)
Pola Asuh Anak dan Kisah Tagore
Adakah Tayangan Sehat untuk Anak?
Betty dan Cokky
Editor, sang Pengawal Mutu Buku
Pentingnya Amanah