Merawat Pikiran Kritis Mahasiswa
Nusantarapedia.net | OPINI, PENDIDIKAN — Merawat Pikiran Kritis Mahasiswa
Oleh : Alvian Fachrurrozi
“Mahasiswa di abad konten kreator ini untuk bisa menjadi sehebat Sukarno, Tan Malaka, Hatta, Syahrir dan Amir Syarifuddin tentu saja bukan hal yang musykil, asal bisa meniru gila baca mereka, gila kepeduliaan mereka pada nasib sesama, gila perlawanan mereka terhadap praktik ketidakadilan, dan gilanya pengorbanan mereka demi sebuah cita-cita yang mulia“
– Dunia kampus itu bukan barak serdadu yang bisa membuat kita menjadi “seragam” sejak dalam pikiran, perkataan, dan sampai tingkah laku –
MENJADI mahasiswa entah itu di kampus negeri dan ternama atau di kampus swasta yang tidak dikenal, tetap saja adalah sebuah kesempatan emas yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Dikatakan sebuah kesempatan emas, oleh karena di masa mahasiswa inilah akan terbuka pintu seluas-seluasnya untuk akselerasi pola pikir dan intelektualitas, atau jika meminjam bahasanya kaum santri, di masa mahasiswa inilah kita mendapatkan kesempatan untuk mengalami kenaikan “maqam intelektual”, kita yang semula berada dalam maqam intelektual yang bisa dikatakan “lugu”, atau bahkan maqam intelektual yang “irasional”, lalu ditransformasikan menuju ke maqam “intelektual kritis-progresif”.
Sebab karena itulah kunci paling substansial untuk memahami dunia atau alam pikir mahasiswa itu terletak pada dua kata ini: “pikiran kritis”. Tanpa memiliki pikiran yang kritis, sesungguhnya seseorang belum absah untuk disebut sebagai mahasiswa atau kaum terpelajar. Apalagi dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia, hal mencolok yang membedakan seorang anak SMA dengan seorang mahasiswa seharusnya memang terletak dalam lanskap alam pikirannya. Sebab di Indonesia pelajaran filsafat yang mengasah dan mempertajam pikiran kritis itu baru diberikan di masa kuliah, berbeda dengan sistem pendidikan di luar negeri yang sudah memberikan mata pelajaran filsafat itu di jenjang SMA atau bahkan jenjang SMP.
Pelajaran filsafat, apalagi jika definisinya hanya tentang filsafat dari Barat, sebenarnya memang bukan satu-satunya jalan untuk bisa mengaktifkan nalar kritis. Dengan banyak membaca, banyak berpetualang, banyak berdiskusi, dan banyak rasa keinginan tahu, sebenarnya hal-hal ini juga faktor-faktor pemicu untuk bangkitnya pikiran-pikiran kritis dan tumbangnya pikiran-pikiran sempit yang dogmatis.
Akan tetapi, lagi-lagi berdasarkan lembaga survey baik dari internasional maupun nasional, didapati jika masyarakat kita ini secara kolektif sangat rendah minat belajar dan daya baca literasinya, selain itu juga diperparah oleh masih massifnya sisa-sisa hegemoni budaya feodal yang membunuh tradisi berdiskusi secara egaliter yang membangkitkan pikiran kritis dan kepercayaan diri, bukan rembugan ala keraton yang ada hanya titah raja atau titah sesepuh yang haram untuk dibantah dan menciptakan mental budak.