Mereka-reka Cerita tentang Ibu
Sekarang, benarkah perempuan itu selalu dipaksa untuk melihat dunia sebagaimana yang dikehendaki kaum pria?
Nusantarapedia.net, Jurnal | Kemanusiaan — Mereka-reka Cerita tentang Ibu
“Mekanisme—”serang” kaum perempuan—bukankah pada akhirnya harus diakui dunia betapa ia sanggup memutarbalikkan setiap aspek kehidupan? Jujur saya akui dunia tidak akan mampu memiliki kaum perempuan dengan mengecil-kecilkan kemampuannya.”
SUNGGUH hingga saat ini saya bersentuhan dengan papan tik mesin komputer, tidak banyak yang bisa saya pikirkan tentang ibu. Berbagai gim dalam jaringan internet tidak mampu menstimulasi saya untuk membayangkan “5W+1H”-nya sang ibu. Ternyata saya tidak cukup kenal dengan sesungguhnya arti kehadiran ibu dalam hidup ini. Untung saja saya kenal perempuan. Dengan itulah saya mulai mereka-reka cerita tentang ibu.
Ibu saya seorang perempuan, tentu saja. Seberapa perempuan ia? Saya tidak tahu persis. Akan tetapi, saya berang kepada Aristoteles—kalau benar—yang menyebut perempuan sebagai makhluk yang belum selesai, yang bertahan dalam perkembangan tingkat bawah. Saya mencintai ibu saya justru lebih karena ia seorang perempuan, makhluk yang memberi saya banyak pilihan cinta.
Hal yang membedakan perempuan dengan saya (saya seorang pria) secara pasti adalah bahwa ibu saya (yang mewakili perempuan) bisa mengandung dan melahirkan saya, sedangkan saya tidak bisa melahirkan siapa pun. Tentu saja maksud saya, hanya pada sekitar penciptaan biologis itulah saya dapat melihat perbedaan mutlak. Selanjutnya, terserah Anda! Barangkali dengan keterbatasan itulah kemudian perempuan harus berusaha mencari dan meneguhkan jatidirinya supaya beda dengan kaum pria. Menjadi ibu, misalnya.
Jika melihat perempuan-perempuan terdekat, saya sering terjebak dalam menempatkan umumnya perempuan dengan pria yang kurang lebih sama: memperlakukannya dengan lemah lembut, senantiasa berusaha melindunginya, memuja-muja keindahannya, dan banyak lagi perlakukan khususnya, sampai kemudian saya tersadarkan oleh kemampuan agresivitasnya. Mekanisme—”serang” kaum perempuan—bukankah pada akhirnya harus diakui dunia betapa ia sanggup memutarbalikkan setiap aspek kehidupan? Jujur saya akui dunia tidak akan mampu memiliki kaum perempuan dengan mengecil-kecilkan kemampuannya.
Waktu dengan seorang perempuan menonton pertandingan sepakbola, saya tawarkan kepada perempuan itu posisi kiper (penjaga gawang). Mengapa? Dalam sebuah pertandingan sepakbola, kiper itu adalah benteng pamungkas sekaligus penyerang utama. (Ia menolak. Baginya, lebih baik menonton saja sambil sesekali bertepuk tangan). Saya jelaskan lagi, peran seperti itu sangat vital dan kurang lebih sebanding dengan sepuluh orang lainnya. Sebagian terbesar serangan itu dibangun dari bola umpan kiper dan pada saat bertahan keberadaan kiperlah yang menentukan kesebelasan itu kalah atau tidak. (Dia tidak tertarik dan—kebetulan—malah semakin keras menepuktangani pertandingan itu).
Menguhubungkan dengan pendidikan, misalnya—saya dapat membanding-bandingkan peranan yang ditanggungjawabi antara pria dan perempuan. Seperti kiper yang mengumpan bola untuk membangun serangan, perempuan—dengan menjadi ibu—adalah ”madrasah” awal. Dengan kesempatan yang dimilikinya untuk bersentuhan dengan sang anak, sebelum orang lain, perempuan adalah yang pertama-tama mengajarkan dunia kepada anaknya (laki-laki atau perempuan). Pada kesempatan lain, untuk persoalan yang sama, ibulah yang tampil mempertahankan gawang pertahanan pendidikan sang anak dari pengaruh luar yang dianggap buruk.
Mengapa kawan perempuan saya menolak untuk menjadi seorang kiper? Barangkali demikianlah ia cukup tersenyum dan mengangguk saja waktu aku bilang, ia menganggap sepakbola itu permainan kaum pria. Sayang sekali aku tidak mampu memberikan analogi lain kepadanya. Seandainya saya lebih romantis, barangkali sepakbola bisa saya ceritakan dengan lemah lembut dan manis.
Sekarang, benarkah perempuan itu selalu dipaksa untuk melihat dunia sebagaimana yang dikehendaki kaum pria? Oleh karena itu, mereka membuat semacam gerakan persamaan macam feminisme patut diperjuangkan? Sayang sekali, saya berada dalam lingkungan baik-baik yang memperlakukan perempuan dengan baik sehingga tidak bisa melihat langsung macam pelanggaran hak perempuan. Jadi, pilihannya bicara persamaan atau pertidaksamaan hak atau bicara baik-baik. Itu saja!
Agama saya menjawab persoalan perempuan ini cukup gamblang. Contohnya untuk hak pemilikan hasil usaha, Q.S. An-Nisa’ ayat 32 menyebutkan, ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Pada ranah kelahirannya bahkan agama saya adalah yang pertama-tama memperjuangkan persamaan derajat bagi kaum perempuan. Kalau Anda percaya kepada niat baik agama, tidak mungkin ajarannya menganjurkan ketidakbaikan kepada umatnya sendiri.
Pada 10 Desember 1994, Republika memuat kolom tentang feminisme, “Mengapa Feminisme Tak Disukai?” Prof. Dr. Toety Heraty Noerhadi, yang dirujuknya dari satu sesi seminar, memberikan alasan eksistensi feminisme dari ketidakadilan sosial dan eksistensial. Memang, tidak jarang kita jumpai berbagai ketidakadilan bagi kaum perempuan dalam kasus-kasus paling konkret semacam pelecehan seksual sampai tindak perkosaan. Itu realitas yang terjadi seiring dekadensi sosial lainnya. Diperlukan pengorbanan yang sebanding dan menyeluruh.
Saya teringat kepada ibu saya yang tidak menolak melahirkan dan membesarkan saya. Saya teringat, betapa selalu saya rindukan (bahkan sampai kini) pulang ke rumah untuk berbincang-bincang dengan ibu tentang segala hal. Saya tidak yakin ia pernah membaca ”Betina-Perempuan-Wanita” karya Umar Junus (di majalah Prisma No. 4 April 1979), ketika mengurai pandangan tentang hakikat perempuan. Setiap perjumpaannya dengan semesta pengalaman menjadi seorang ibu adalah satu-satunya rujukan. Begitu dalam dan indah!
Ibu saya ternyata menyepakati pemikiran Auguste Comte (filsuf Prancis yang memperkenalkan ilmu sosiologi dan aliran positivisme) yang dinukil dari buku Barbara Rogers, The Domestication of Women Discsimination in Developing Societies (terbitan Routledge, 2015), ”Hidup perempuan terpusat pada rumah tangga dan terhindar dari segala perkerjaan di luar rumah, dengan demikian laki-laki dapat menjamin kebutuhan emosional perempuan.”
Pemikiran tersebut tentu tidak melulu benar sehingga bisa dipakai utuh-utuh. Saya melihat, ibu melakukan persesuaian di sana-sini untuk menjaga kesadaran atas inisiatifnya. Saya bayangkan betapa bijaknya, seorang ibu tetap melakukan aktivitasnya di luar rumah tanpa tepergok anaknya. Sang anak, tanpa sadar ibunya sempat bekerja di luar, pulang ke rumah, dan tetap bisa menikmati saat-saat bersama sang ibu. Aduhai indahnya!
Suatu ketika kawan perempuan saya mempertanyakan pemerolehan pendidikan yang diperjuangkannya sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Untuk apa? Saya menjawab hakikat pendidikan itu bukan hanya bahwa ia memudahkan manusia bekerja. Pendidikan adalah untuk pendidikan.
Sebagaimana digagas Kartini Kartono dalam buku Pengantar Ilmu Mendidik Teoretis, Apakah Pendidikan Masih Diperlukan?—pendidikan adalah kegiatan yang disengaja dan bertujuan mengembangkan potensionalitas kemungkinan kemampuan, bakat-bakat, dan totalitas kepribadian anak manusia yang diarahkan pada kedewasaan kemandirian pribadi, serta untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan tertentu. Jadi, keharusan perempuan untuk memperoleh atau mencari pendidikan adalah juga niscaya.
Beberapa saat saya termenung di depan layar komputer. Membayangkan, seandainya kelak ibu dari anak-anak saya adalah seorang lulusan perguruan tinggi, berbahagialah anak-anak saya karena memiliki kesempatan mendapat pendidikan berderajat tinggi.
Bandung, Juli 2022 | Edi Warsidi
Jika Stok Beras Mulai ”Ambles”
Adakah Tayangan Sehat untuk Anak?
Budaya Mundur Kian Kendur
Nilai Kepahlawanan untuk Anak
Adakah Tayangan Sehat untuk Anak?