Merindu Suara Kehidupan

Sangat menyesakkan hati, pada saat yang sama ”rakyat yang kebingungan” adalah juga ”rakyat yang dimanfaatkan”. Kendatipun begitu, kita tetap terhibur bahwa kita adalah ciptaan Tuhan yang bisa mendengar suara kehidupan dari langit.

4 Agustus 2022, 13:17 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Kemanusiaan — Merindu Suara Kehidupan

MUNGKINKAH hidup tanpa suara? Manusia hidup tanpa kuping atau tuli masih mungkin. Akan tetapi, hidup tanpa suara adalah sebuah kematian identitas, keruntuhan komunitas, kehancuran bangsa, dan kemunduran peradaban. Suara bukan sebatas bunyi, denting nada musik, lengkingan tangis bayi, desing bising suara kenalpot, atau lolongan panjang anjing hutan di tengah malam sunyi. Manusia yang bolot sekalipun tetap akan mendengar ”bisikan suara” yang menggema lembut di telinga batinnya. Itulah suara kehidupan.

Suara kehidupan adalah daya pertumbuhan yang menyertai jejak hidup manusia. Suara ini adalah serangkum kesadaran untuk menjalani semusim kehidupan. Tanpa suara kehidupan, manusia kehilangan arah hidup. Mereka yang bunuh diri karena terbelit kegelisahan dan kecemasan adalah mereka yang tidak lagi mendengar suara berdentang di telinga batinnya. Memang suara kehidupan adalah milik manusia, sebuah anugerah dan harta karun kehidupan yang sering dilupakan dan terkubur sepi dalam tidur dogmatis.

Suara kehidupan adalah sebuah gerak pertumbuhan kejiwaan yang terkadang bersifat menyapa, menghibur, menguatkan, menyadarkan, dan dapat juga membawa manusia pada sebuah ruang keheningan untuk diam, tafakur, dan siap mendengar Sabda Alam. Manusia prasejarah, klasik, modern, postmodern, global atau hipnoglobal tidak pernah bisa lepas dari suara kehidupan dalam jaring-jaring sosial, lahir para nabi, guru, rohaniwan untuk menyebut kaum spritualis, rahib, dan pertapa. Suara kehidupan itu begitu agung, suci, mulia, dan memiliki daya hidup. Kita pun sudah terbiasa ataupun pernah sekurang-kurangnya merasa disapa oleh suara hening alam, sapaan memanggil dari nash kitab-kitab suci, tergerak oleh tulisan-tulisan sastra di papirus atau lontar, serta terinspirasi oleh selarik pantun dan puisi yang menakjubkan.

Dari manakah asal suara kehidupan itu? Suara kehidupan bisa datang dari langit dan bisa pula tumbuh mekar dari rahim bumi. Suara langit adalah suara transenden yang ”dianugerahkan” kepada seorang (guru) atau sebuah komunitas, lalu disebarluaskan kepada komunitas masyarakat lainnya sebagai sebuah ajaran, sebuah agama, sebuah keyakinan transendental.

Suara kehidupan yang berasal dari bawah bumi adalah hasil pergumulan batin manusia sepanjang sejarah peradaban dalam mencari yang baik, benar, dan indah. Itulah kesadaran imanensi yang tidak bertentangan dengan suara dari langit. Keduanya saling melengkapi. Itulah sebabnya kaum spritualis berani mengatakan bahwa kebenaran ada dalam lubuk hati yang jernih ikhlas dan polos bening. Jauh lebih berani lagi, para rahib dan pencinta keheningan berujar bahwa Tuhan bisa dijumpai dalam lubuk hati sebagai guru, ayah/ibu, atau sahabat yang mencintai kita. Ah, memang terasa indah akhir dari mencari suara kehidupan.

Bangsa Indonesia sekarang ini sangat merindukan guru-guru bangsa baru yang membawa suara pencerahan tentang kesalahan mengurus bangsa saat ini. Kita membutuhkan suara-suara yang tidak sekadar suara formal sebagai wakil rakyat sebab kini suara rakyat sudah kian kabur, abu-abu, dan menjelma menjadi suara kelompok. Bangsa ini pernah dan masih memiliki banyak putra/putri bangsa yang fasih membawa dan memperdengarkan suara kehidupan. Mereka menjadi pusat perhatian di kala revolusi (mental) menjadi barang dagangan, di saat idelisme mulai kehilangan makna dan pada waktu suara jutaan rakyat adalah komoditas juga.

Terkait

Terkini