Migor: Antara Kebutuhan Pokok dan Industri Global, Soal “Politik Pangan” Kami Tidak Tahu!

- alhamdulillah dan terima kasih, pada waktu itu (sekira setahun yang lalu) pertolongan itu datang dengan diproduksinya Migor berlabel "MinyakKita". Sayang seribu sayang, sang pahlawan bagi rakyat, yaitu "MinyakKita" kini kembali lagi amblas ke bumi bagai "Sang Antareja" yang timbul tenggelam -

11 Februari 2023, 22:33 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Polhukam — Migor: Antara Kebutuhan Pokok dan Industri Global, Soal “Politik Pangan” Kami Tidak Tahu!

“Yang perlu dibenahi total adalah desain/arah persawitan Indonesia. Artinya, tanpa membenahi konstruksi dasarnya, kelangkaan dan kenaikan harga Migor rakyat akan terus terulang-ulang kedepannya.”

AKHIR-AKHIR ini minyak goreng (Migor) kembali mahal dan langka, seperti halnya keriuhan kelangkaan Migor dan melambungnya harga Migor curah dan kemasan beberapa waktu yang lalu. Namun, alhamdulillah dan terima kasih, pada waktu itu (sekira setahun yang lalu) pertolongan itu datang dengan diproduksinya Migor berlabel “MinyakKita”. Sayang seribu sayang, sang pahlawan bagi rakyat, yaitu “MinyakKita” kini kembali lagi amblas ke bumi bagai “Sang Antareja” yang timbul tenggelam.

Kita percaya bahwa regulasi hal per-minyakgorengan di Indonesia terkait dengan industri keseluruhan minyak kelapa sawit dari hulu sampai hilir, antara ekspor dan kebutuhan dalam negeri, industri dunia dan kebutuhan pangan nasional, hingga paradoksal gurita bisnis dan keadilan, sudah sangat banyak aturan di dalamnya. Tentu industri yang dimaksud agar negara untung, yang hasilnya untuk rakyat juga. Namun praktiknya, kebutuhan Migor dalam negeri untuk kebutuhan pangan rakyat, yang itu sifatnya “hajat hidup” atau kebutuhan dasar hidup karena termasuk bagian variabel IPM (Indeks Pembangunan Manusia), justru dengan kata kunci Migor LANGKA dan MAHAL seolah menjadi hal yang lazim. Dan, hal itu selalu dijawab dengan narasi kontradiksi demi (akan) keuntungan yang besar dari industri kelapa sawit di tingkat ekonomi makro. Terus berputar-putar pada argumentasi abstrak.

Lah, kita (rakyat) yang dihadapi adalah persoalan kebutuhan pangan sehari-hari, yang mana Migor termasuk ke dalam kebutuhan pokok. Lha, kok, narasinya makro-makro terus! Devisa-devisa, pemasukan negara, target-target, dsb. Ini, lho, sekali lagi, soal kebutuhan dasar saja. Kami (rakyat) nggak neka-neka!

Padahal, yang seharusnya Indonesia (rakyat) dapatkan, bukan hanya ibarat lautan kolam susu, namun juga kolam minyak, yang idealnya harga Migor teramat sangat murah dan anti langka.

Lihat saja aturan Kepmenperindag Nomor 115 Tahun 1998, bahwa Migor termasuk sembilan bahan pokok, kemudian diperjelas lagi melalui Permendag Nomor 27 Tahun 2017, seperti LPG (Gas) termasuk ke dalam kebutuhan pokok. Selanjutnya, khusus mengenai Migor, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 49 Tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas minyak curah dan “MinyaKita”, bahwa pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp14.000 per liter. Padahal hemat penulis Rp14.000 itu saja masih teramat mahal dengan gairah bisnis kelapa sawit di Indonesia. Yang mana sebelumnya di kisaran Rp8.000 per liter, yang itu saja tetap dipandang mahal. Pun, kini masih sering menghilang, kalaupun datang ibarat “jual mahal” sekali!

Kelapa Sawit Indonesia Industri Global
Sejak tahun 2016, Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Berdasarkan data dari Indexmundi.com, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 44,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun pada tahun 2021, dan kebutuhannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022 menjadi 45,12 juta ton untuk produksi minyak sawit atau crude palm oil (CPO).

Sedangkan luas areal perkebunan minyak kelapa sawit di Indonesia selama tahun 2017-2021 berdasarkan data dari databoks mencapai 15,08 juta hektare (ha) pada 2021, dari laporan Kementan. Luas perkebunan tersebut dengan perincian; (1) Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). (2) Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%). (3) Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%). Data tersebut adalah data versi pemerintah, bisa saja data versi independen dimungkinkan lebih dari itu, namun angkanya tidak bisa dikonfirmasi.

Dengan demikian, kita (rakyat) tak pernah tahu data yang sesungguhnya, berapa total lahan kelapa sawit, produksi minyak sawit, serta sirkulasi uang yang beredar. Data yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian, jika industri sawit nasional berhasil dihilirisasi, maka nilai ekonominya sebesar Rp750 triliun. Sementara pada tahun 2021, industri kelapa sawit menyumbang devisa ekspor lebih dari Rp300 triliun per tahun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 5,2 juta orang, dan tentu angka saat ini terus naik.

Dari produksi sebesar itu, industri minyak sawit Indonesia menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO), yang diperuntukkan untuk pangan dan industri energi/bahan bakar nabati seperti biofuel.

Terkait

Terkini