Migor Mahal, Ganti Lalapan

Perlu kiranya untuk membiasakan cara pandang dengan kebiasaan yang lahir dari bentuk yang ideal, konstruktif dan proporsional, bukan kultur yang lahir dari keterpaksaan, ketidakberdayaan atau pun kemiskinan

12 April 2022, 11:32 WIB

Nusantarapedia.net — Migor mahal, ganti lalapan. Tak ada minyak goreng, lalapan pun makan jadi terus nambah.

“Saya heran sambil ngelus dada, melihat ibu-ibu berebut minyak goreng, apa kerjaannya cuman goreng menggoreng saja masaknya? kan bisa direbus atau dikukus?” Begitu sepenggal kata-kata dari mantan presiden Indonesia (Megawati Soekarnoputri), yang minggu-minggu kemarin sempat viral dengan pernyataannya.

Menuai banyak pro dan kontra dalam menyikapi kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng. Megawati menyarankan agar semua masakan tidak harus digoreng cara masaknya.

Ada benarnya juga pernyataan tersebut dalam menyikapi mahalnya harga minyak goreng, terutama di bulan puasa ini hingga menjelang lebaran sebagai solusi kreatif, simpel dan taktis, maksudnya.

“Pemenuhan kebutuhan pangan sebagai hak dasar hidup manusia harus terpenuhi dengan baik. Empat sehat lima sempurna adalah kebutuhan dasar manusia, terutama untuk tumbuh kembang anak-anak. Pemenuhan gizi dan nutrisi harus seimbang untuk memenuhi asupan tubuh.”

Memasak untuk berbuka puasa atau makan sahur, tidak harus dengan menu yang dimasak dengan minyak goreng.

Ada banyak makanan berupa masakan rebus atau kukus, yang tak kalah sedap dan nikmatnya di banding masakan yang digoreng.

Di antara rupa-rupa masakan yang direbus, juga menu “lalapan” menggunakan aneka sayuran dari daun-daunan mentah. Terasa sangat sedap, segar dan lezat meski itu relatif.

Dihidangkan dengan sambal untuk mendapatkan sensasi pedas dan asin, benar-benar cocok untuk menemani nasi dengan aneka rebusan sayur dan aneka sayur mentah sebagai lalapan.

Sepiring nasi tidak cukup untuk makan besar dengan lalapan seperti; jengkol, petai, daun popohan, terung, leunca, kemangi, mentimun, daun jambu mete, kenikir, kacang panjang atau rebusan daun pepaya, daun singkong, kecipir, adas, bayam, serta masih banyak lagi sayuran rebus maupun lalapan.

Mahalnya migor bisa mengubah kebiasaan cara memasak yang digoreng (goreng-gorengan), menjadi kebiasaan merebus. Seperti membuat sayuran berkuah seperti sop atau sayur asem, bayam, bobor nangka, sayur pepaya, dsb. Untuk jenis ikan atau daging berupa masakan seperti; aneka pepesan ikan, kukusan ikan, ayam bakar, ayam pop, daging steak, serta tahu dan tempe bacem.

Teknik memasak tersebut disamping efisien dalam menghemat minyak goreng juga mengurangi resiko beberapa penyakit yang ditimbulkan seperti kolesterol.

Jangan lupa ikan asin (gerih) menjadi pelengkap makan atau sebagai sumber pemenuhan protein hewani, meski kandungannya dipertanyakan dibandingkan dengan protein hewani segar lainnya seperti ikan, daging sapi, ayam dan telur.

Semua hal yang terjadi, jika disikapi dengan bijak, maka akan mendatangkan solusi kreatif dalam suasana kepasrahan tidak bisa berbuat apa-apa lantaran ekonomi lagi sulit. Suasana hati dibuat senyaman dan sebahagia mungkin.

Mahalnya harga minyak goreng, bukan berarti selera makan menurun, atau mengurangi jumlah porsi makan, karena merupakan kebutuhan dasar manusia.

16820
source: 99.co

Meski demikian, bukan berarti tanpa minyak goreng tidak masalah. Pertanyaannya? siapa yang membiasakan kultur memasak dengan minyak goreng? kenapa produksi migor dengan dibukanya lahan sawit menjadi massiv? mengapa negara penghasil sawit migor bisa langka, kalau pun tidak langka harganya mahal.

Berarti telah terjadi jerat “supplay and demand” dalam penggunaan minyak goreng dalam tata laksana kultural masyarakat oleh kepentingan pasar.

Selain itu, pemenuhan kebutuhan pangan sebagai hak dasar hidup manusia harus terpenuhi dengan baik. Empat sehat lima sempurna adalah kebutuhan dasar manusia, terutama untuk tumbuh kembang anak-anak. Pemenuhan gizi dan nutrisi harus seimbang untuk memenuhi asupan tubuh.

Perkara minyak goreng langka kemudian menjadikan kebiasaan tidak memasak dengan menggoreng, itu tidak demikian dalam tata kelola niaga dan kebijakan yang baik untuk urusan pemenuhan hajat hidup rakyat.

Harusnya, minyak goreng tetap tersedia dengan stok yang aman dan harga terjangkau. Selanjutnya, edukasi diterapkan dalam gaya hidup kebiasaan sehari-hari. Meskipun minyak goreng tidak langka dan terjangkau harganya, namun penggunaan minyak goreng dalam memasak juga harus dikurangi dalam batas penggunaan yang wajar.

Jadi, perlu kiranya untuk membiasakan cara pandang dengan kebiasaan yang lahir dari bentuk yang ideal, konstruktif dan proporsional, bukan kultur yang lahir dari keterpaksaan, ketidakberdayaan atau pun kemiskinan.

Nah, masyarakat Indonesia, tak usah risau dengan mahalnya minyak goreng, kita antisipasi dengan solusi tersebut, sembari percaya pada pemerintah dalam memperbaiki tata kelola niaga pemerintahan serta pemenuhan hak hidup sebagai hak dasar manusia, yaitu tercukupinya kebutuhan makan yang ideal. (Ragil74)

Perempuan, Sosok Penanggung Hutang
Tugu Leitje’ dan Pantai Widuri
4 Tuntutan Mahasiswa Dalam Demonstrasi 11 April, Serta 6 dan 12 Tuntutan Lain

Terkait

Terkini