Moral Clarity dan Etika Politik Poros Intelektual
Etika politik yang berlaku bagi poros intelektual tersebut membentuk menjadi etika sosial, dari atas ke bawah, dari penyelenggara ke rakyat. Etika politik sangat penting dalam mengambil peran dalam budaya politik, mampu mengendalikan mekanisme politik pada lembaga penyelenggara negara
Nusantarapedia.net — Moral clarity dan etika politik, poros intelektual dalam bagian mencerdaskan.
“Harapannya, poros intelektual Indonesia harus mampu memberikan legasi alam pemikiran yang sehat, praktik politik yang etik, agar generasi selanjutnya mendapatkan warisannya yang abadi sebagai buah pemikiran, bukan infrastruktur masa depan yang belum tentu selaras dengan kehidupan kita di masa mendatang.”
Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu ada yang dianut sebagai poros atau pusat rujukan dalam berbagai hal oleh masyarakat.
Kaum intelektual negeri seharusnya melekat dalam setiap profesi dan institusi. Keberpihakan kaum intelektual kepada masyarakat luas dalam bagian turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa sejatinya termaktub dalam amanat konstitusi, yang mana akan ditunggu oleh rakyat sebagai bentuk tanggungjawab keberpihakan.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,”
Petikan dari alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 sudah cukup jelas, bahwa negara yang dijalankan oleh pemerintahan mempunyai tanggung jawab akan kecerdasan bagi warga negara.
Sebagai masyarakat atau rakyat (warga negara), kehadiran negara untuk memajukan, membuat keadilan dan kemakmuran kepada rakyatnya merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi dengan penuh kejujuran (good will).
Dengan demikian, transfer kecerdasan ke dalam praktik penyelenggaraan berbangsa dan bernegara melekat kepada setiap warga negara, terlebih kaum intelektual.
Perjalanan bangsa ini (negara), telah jatuh bangun dalam rangka menjadikan Indonesia yang lebih baik lagi dari masa ke masa. Pengalaman sebelumnya tentu menjadikan guru terbaik agar cita-cita negara dapat dicapai.
Secara spiritual dan material kehidupan berbangsa harus semakin menuju pada bentuk yang ideal. ideal dalam pengertian mengandung nilai-nilai keadaban, termasuk praktik kemanusiaan, keadilan dan hak-hak asasi manusia sebagai hak hidup atas kodrat penciptaan, terlebih bentuk kesadaran akan rahmat dan anugrah dari Tuhan dengan melimpahnya kekayaan alam Indonesia.
Perjalanan tersebut jangan sampai masuk dalam degradasi kebangsaan di segala bidang. Aspek moralitas dan etika politik dalam hadirnya pada kehidupan sosial membuktikan sejauh mana suatu bangsa terindikator maju atau mundur sebagai inisiasi atau landasan penyelenggaraan.
Rakyat menantikan kehadiran sosok yang mampu membedakan nilai kebaikan-keburukan, kejujuran-kebohongan. Sebagai rakyat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara tentu yang diharapkan adalah bentuk tatanan yang didalamnya berupa kepemimpinan dan tata laksana hidup yang jauh dari politisasi, pencitraan semu dan bias kebijakan yang membuahkan bentuk kehidupan yang tidak manusiawi.
Maraknya informasi palsu, informasi framing opini yang diproduksi oleh kaum intelektual itu sendiri demi sebuah kekuasaan (kepentingan) telah menyebabkan kegaduhan dan kekacauan di kalangan masyarakat, pada akhirnya, rakyat dibuat bingung.
Oleh kalangan yang benar-benar membangun kontra-narasi terhadap isu-isu yang sengaja digulirkan oleh pihak atau oknum yang tidak bertanggung jawab, pun akhirnya dituduh sebagai barisan masyarakat pembuat gaduh yang ingin merusak NKRI. Rocky Gerung mengatakan bahwa, “pembuat hoaks terbaik adalah penguasa.”
Siapa Poros Intelektual?
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pos intelektual tersebut berlaku bagi setiap warga negara. Perbedaannya, bila kapasitas rakyat sebagai warga negara yang patuh pada arah haluan negara maka akan terus belajar dan di edukasi oleh para penyelenggara sebagai individu pembelajar.
Sedangkan pos intelektual yang dimaksud, tak lain adalah semua penyelenggara negara yang bertindak sebagai guru yang punya tanggung jawab untuk mengedukasi warga negaranya dengan penuh kearifan, kebijaksanaan akan tanggung jawab sebagai pendidik dan pengajar.
Bila seluruh penyelenggara negara adalah pos intelektual, betapa besarnya arus informasi yang diterima oleh setiap warga negara sebagai bahan ajar. Bila masing-masing pos tersebut dengan kebijakannya yang benar, betapa rakyat dibuatnya menjadi warga negara yang cerdas karenanya. Ataukah, justru, jangan sampai edukasi dilakukan kepada rakyatnya untuk membuat narasi keberpihakan kepentingan yang esensinya berupa parade kebodohan.
Semua penyelenggara negara sebagai lembaga-lembaga negara, termasuk partai politik, bahkan tokoh publik, juga artis sekalipun harus punya kesadaran sebagai pos intelektual untuk menyiarkan setiap informasi yang bermutu, bermanfaat untuk publik (rakyat). Hal ini penting sebagai bagian dari pembentukan kultur.
Moral Clarity dan Etika Politik Poros Intelektual
Moral clarity adalah praktik pemberian nilai terhadap tindakan politik dengan berlandaskan kepada etika. Etika sering disamakan dengan moral. Dasar konsep dari moralitas adalah tindakan-tindakan etik yang terpuji, sehingga dapat diidentifikasi sebagai pribadi-pribadi yang bermoral.
Perilaku baik dan buruk yang berperan sebagai panduan bertindak manusia sebagai definisi ajaran moral, sementara peran etika akan menyoroti, menganalisis dan mengevaluasi ajaran-ajaran tersebut.
Sedangkan “clarity” diartikan sebagai kejernihan atau kejelasan yang berada pada tindakan-tindakan yang dibalut dalam aturan-aturan moralitas (etika).
Etika politik yang berlaku bagi poros intelektual tersebut membentuk menjadi etika sosial, dari atas ke bawah, dari penyelenggara ke rakyat. Etika politik sangat penting dalam mengambil peran dalam budaya politik, mampu mengendalikan mekanisme politik pada lembaga penyelenggara negara.
Dengan demikian, etika politik berperan besar dalam menjaga pergaulan politik berupa kebijakan politik untuk warga negaranya yang bersifat harmonis, mencerahkan, mencerdaskan, tidak melukai dan solutif.
Demagogi Dalam Fakta Lapangan
Konstitusi kita tidak membuka ruang adanya penundaan pelaksanaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Namun, wacana untuk menunda pemilu maupun memperpanjang masa jabatan presiden dan otomatis jabatan lainnya, seperti DPR terus diproduksi yang seolah-olah digunakan untuk “tes ombak” reaksi publik.
Wacana tersebut banyak digaungkan oleh poros intelektual sebagai oknum-oknum dalam lembaga penyelenggara negara. Akhirnya, masyarakat menjadi bingung, timbul dan terpecah menjadi dua bagian, sepakat dan tidak.
Alasan mereka sebagai pembenaran dengan argumentasi prestasi penyelenggara, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus tumbuh, juga alasan demokrasi telah dicurigai sebagai sesuatu informasi dan manuver politik yang mengandung kepentingan. Dengan alasan tersebut, kesadaran akan kejelasan regulasi pun tidak diindahkan, yang mana telah disepakati sebagai aturan baku. kecuali keadaan negara dalam keadaan genting, karena perang dunia atau bencana alam.
Pada level kebijakan disemua tingkatan, banyak kasus pos intelektual sebagai unsur penyelenggara justru membuat resah masyarakatnya sendiri dengan aneka “prank” terhadap rakyat. Memunculkan wacana, menjadikan polemik di akar rumput, hingga menimbulkan dua kubu yang akhirnya menjadi sasaran empuk propaganda dan adu domba. Di mana letak dan asas kepastian hukum, niat baik kepemimpinan (good will/good government).
Masih ingat istilah “cebong” dan “kampret” atau istilah “kadrun,” yang sampai saat ini terus diriuhkan oleh oknum penyelenggara sendiri. Apakah istilah tersebut tidak disadari sebagai potensi keterbelahan yang berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa kedepannya.
Di tengah ekonomi yang mengalami resesi, dengan dampaknya seperti kelangkaan minyak goreng, bisakah tidak melukai perasaan ibu-ibu dengan attitude politik, pernyataan yang membuat perasaan rakyat kecil menangis. Karena hal tersebut adalah paradoksal Indonesia sebagai negeri yang subur dengan jumlah perkebunan kelapa sawit yang terus menerus bertambah, harusnya persoalan minyak goreng tidak sampai langka, bahkan super murah.
“Saya sampai mengelus dada, bukan urusan masalah nggak ada atau mahalnya minyak goreng, saya sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng sampai begitu rebutannya?”
Pada kebijakan yang lain, badan penyelenggara jaminan kesehatan untuk rakyat, bagi rakyat yang tidak mendapatkan bantuan PBI (peserta bantuan iuran) harus diwajibkan menjadi kepesertaan mandiri dengan membayar iuran tiap bulannya. bila tidak? akses rakyat untuk mengurus hak administrasi sebagai warga negara di beberapa bagian tidak diperbolehkan.
Masih ingatkah? candaan poros intelektual ketika di awal-awal Covid-19 ditemukan. bagaimana mereka bercanda kelewat batas mengenai Covid-19, yang pada akhirnya membuat masyarakat bingung tentang informasi tersebut. Dan, pada praktik kelanjutannya justru Covid-19 diduga sebagai ajang bisnis vaksin dan alat untuk menutupi kekurangan di banyak bagian.
Pada praktik perumusan dan pemberlakuan undang-undang banyak yang menuai kontroversi. Informasi mengenai maksud dibentuknya undang-undang agar lolos dalam pelaksanaannya sering mengorbankan rakyat terlebih dahulu agar terjadi kubu yang pro dan kontra. Lagi-lagi poros intelektual sebagai pemangku kepentingan turut memproduksi narasi-narasi framing yang esensinya jauh dari mensejahterakan rakyat atau melindungi hak-hak rakyat kecil demi berhasilnya agenda setting.
Upaya pencerdasan pikiran yang bertujuan pada tatanan kehidupan yang manusiawi, berkeadilan dan mensejahterakan terus dilakukan dengan aneka produk kebijakan yang tidak konstruktif, hingga kemudian terkenal dengan kebijakannya bak “seribu kartu.”
Di atas hanya beberapa bagian kasus yang sebenarnya terdapat niatan demagogi untuk membuat opini kepada publik. Narasi yang dibangun yang sebenarnya demi sebuah kepentingan menjadikan antitesis dengan fakta lapangan kehidupan rakyat yang susah.
Bila ditarik kembali pada siapa yang paling berkepentingan terhadap Indonesia, apakah benar adanya bila kekuatan neo-liberalisme dan kapitalisme dunia telah benar-benar masuk dalam infiltrasi kebijakan yang menekan, mengatur dan memainkan (Ichsanuddin Noorsy), yang pada akhirnya dalam negri dibuat riuh, bahkan terindikasi kuat di adu domba sesama rakyat, sesama penyelenggara negara, antar agama, dlsb, dengan beribu narasi dan framing arus komunikasi.
Dengan demikian, bangsa ini perlu berbenah dalam banyak hal. Amanat konstitusi sudah cukup jelas. harapan untuk masyarakat yang maju, adil, makmur berkemanusiaan dan berkeadaban harus benar-benar tercapai.
Salah satu jalan menuju pada tujuan tersebut adalah sebuah harapan kepada poros intelektual untuk tidak melacurkan diri demi kekuasaan, pesanan neo-liberal, atau kepentingan yang lain.
Indonesia harus benar-benar berdaulat dari semua aspek, agar tidak terjebak dalam pusaran permainan opini, framing sebagai pembentuk kebijakan. Kebijakan harus dimulai dari landasan moral clarity dan etika politik yang berkeadaban atau sehat.
Menurut Aristoteles bahwa, keadilan merupakan esensi utama dari hadirnya negara. Politik tidak akan dapat bertahan lama tanpa adanya keadilan dalam hak. Manusia akan dapat hidup dengan baik saat ada hukum dan keadilan yang dijalankan dalam suatu negara. Keadilan berhubungan erat dengan kebajikan (vertue) yang komplit dan perwujudan dari seluruh kebaikan, termasuk moral clarity dan etika politik sebagai basisnya.
Kekuasaan sebagai sebuah alat politik harus ditempatkan sebagai alat untuk melayani tujuan manusia berupa kepentingan rakyat. Penggunaan kekuasaan sebagai alat untuk mendominasi (kepentingan kelompok) bukan untuk melayani, maka kekuasaaan akan menguasai alam pikiran dan tindakan-tindakan politik yang jauh dari sikap politik yang sesuai dengan moral clarity dan etika politik. Dampaknya, rakyat menjadi korban dengan menimbulkan kebencian, permusuhan, terkotak-kotak. Hal ini mengingatkan kembali pada teknik adu domba agresor kepada bangsa pribumi di era kolonialisme Indonesia.
Harapannya, poros intelektual Indonesia harus mampu memberikan legasi alam pemikiran yang sehat, praktik politik yang etik, agar generasi selanjutnya mendapatkan warisannya yang abadi sebagai buah pemikiran, bukan infrastruktur masa depan yang belum tentu selaras dengan kehidupan kita di masa mendatang.
11 April Potret Sosial Teks Indonesia (1)
Menuju Indonesia Maju dengan Merubah Kultur
Ibu-Ibu dan Mahasiswa (Hari Kartini)
Pembangunanisme, Rumah Berlindung Pemekaran Daerah (1)
Konstruksi Masa Depan Dalam Fakta Sumber Daya, Kekinian, Arah dan Harapan (1)
Arah Gula Nasional, dari Raja Gula, Swasembada dan Impor
Transformasi Pertanian Subsisten Menuju Kapitalisasi Industri Pertanian Mandiri
Digital Virtual, antara Utopia Libertarian dan Evolusi Kapitalisme
Soneta Tatengkeng, ”Berikan Aku Belukar” Kekayaan Semesta yang Terabaikan dalam Proses Pembelajaran
Perempuan, Sosok Penanggung Hutang