Mukena Untuk Emak

4 Juni 2022, 02:35 WIB

Nusantarapedia.net, Jurnal | Sastra, CerpenMukena Untuk Emak

Kutatap Emak yang sedang tertidur pulas. Mukena masih membalut tubuh kurusnya. Sebuah mukena yang sudah tidak layak. Ada beberapa tambalan di sana-sini, warnanya pun sudah pudar. Dulunya itu juga pemberian dari orang yang pulang dari Haji.

‘Maafkan anakmu yang belum bisa berbuat lebih, entah kapan aku bisa mewujudkan keinginan sederhanamu, Mak.’

Aku mengelus punggung tangannya perlahan, berharap tidak akan mengagetkan. Namun, ternyata Emak langsung membuka matanya.

“Wis mulih, Nduk?” tanya Emak dengan perasaan lega. Mungkin dia lelah menungguku hingga tertidur.

Aku mengangguk, kemudian duduk di samping Emak. Sungguh, surga ada di bawah telapak kakinya.

Emak melepas mukenanya, kemudian aku mengambil alih melipat dan menggulungnya dalam sajadah.

“Emak nggak bisa tidur tadi karena menunggumu, terus ngambil wudhu dan salat hingga ketiduran.”

“Ya sudah, sekarang Emak pindah ke kamar.”

Aku menuntun langkah kaki tuanya. Usia Emak yang setengah abad lebih, mau tak mau berpengaruh juga dengan kondisi tubuhnya.

Emak seorang pekerja keras, dan sosok wanita tangguh yang aku miliki. Emak harus bekerja banting tulang seorang diri, setelah Bapak pergi menghadap yang Maha Kuasa, sepuluh tahun yang lalu.

Sebenarnya ada beberapa pria yang datang dan akan meminang Emak, untuk dijadikan istri tapi selalu ditolaknya dengan halus. Alasannya, Bapak adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhirnya. Selain itu juga, Emak nggak ingin memberikan Bapak tiri untukku, dikarenakan banyaknya pengalaman buruk saat seorang anak perempuan hidup dengan Bapak tirinya. Meski tidak semua laki-laki memiliki sifat seperti itu, tapi Emak lebih memilih menjadi single parent dalam membesarkan aku.

Selama ini Emak bekerja serabutan. Saat ada pekerjaan di sawah, dia lakoni sebagai buruh tandur matun. Saat dirumah bisa jadi buruh cuci dan setrika, ataupun juru masak saat ada tetangga yang punya hajatan. Apa saja yang penting halal, begitu kata Emak. Aku salut akan kegigihan Emak dalam bertahan hidup seorang diri sambil membesarkan aku. Tak pernah sekalipun mengeluh dengan apa yang dijalani, meskipun menurutku kadang terlalu pedih untuk dikenang.

Mungkin karena terlalu kerasnya emak bekerja dari dulu hingga sekarang, jadi tubuh Emak kelihatan ringkih dan wajahnya pun kelihatan lebih tua dari usianya.


Perjalanan waktu terasa sangat singkat bagi sebagian orang, tak terkecuali aku. Tak terasa, aku sudah beranjak dewasa, dan sudah dua tahun di rumah sejak lulus SMP.

“Mak, ijinkan aku bekerja. Biarlah emak istirahat saja, toh selama ini emak sudah berbuat banyak untuk Ning.”

Aku mengutarakan niatku pada Emak, untuk bekerja mencari uang, pada suatu sore yang cerah, beberapa hari yang lalu.

“Memangnya kamu mau bekerja apa, Nduk? Disaat teman temanmu yang lain sibuk sekolah kamu malah harus bekerja,” kata Emak dengan lirih, seperti enggan untuk melepaskan aku bekerja mencari uang.

“Pilihan pekerjaan untuk seorang lulusan SMP seperti aku tidak banyak, Mak. Mungkin hanya pelayan atau buruh cuci seperti Emak dulu.” jawabku.

“Terus, apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan itu?”

“Sudah Mak, kemarin Lik Marsinah menawari aku untuk ikut di rumah makan tempatnya bekerja. Kebetulan sedang membutuhkan pekerja untuk menjadi pramusaji.” jelasku. Emak hanya mengangguk.

“Kalau memang itu pilihanmu, Emak ridho, Ning. Maafkan Emak ya, bila tidak bisa mewujudkan impianmu untuk melanjutkan sekolah…,”

“Ssstt…”
Aku memotong kalimat yang akan dilontarkan Emak.

“Sudah, Mak. Justru Ning sangat berterima kasih pada Emak yang telah membesarkan Ning seorang diri dan memberi kasih sayang yang Ning butuhkan selama ini.”


Aku mulai bekerja dari jam tujuh pagi sampai tiga sore untuk shift pertama. Dan jam dua sampai sepuluh malam untuk shift kedua. Shift itu bergilir selama seminggu. Untuk capek, jangan ditanya. Tidak ada pekerjaan yang enak, semua pasti butuh perjuangan. Aku yang masih berumur tujuh belas tahun termasuk karyawan paling belia, diantara karyawan yang lain. Namun, tuntutan hidup yang mengharuskan aku untuk tumbuh menjadi manusia kuat yang tidak gampang menyerah.

Hari hari aku jalani dengan rutinitas baru sebagai seorang pelayan, di sebuah rumah makan yang cukup laris di kotaku. Dan tanpa terasa, genap satu bulan sudah aku bekerja. Itu artinya aku akan segera mendapat upah yang memang diberikan satu bulan sekali.

“Mak, mau nitip belikan apa, insyaallah nanti Ningsih dapat gaji,” kataku pada Emak pagi ini seraya berpamitan. Kucium punggung tangan Emak yang sudah keriput. Aku sedikit terkejut karena suhu badan Emak cukup panas.

“Mak sakit?” tanyaku khawatir, apalagi setelah itu Emak terbatuk batuk.

“Cuma capek aja, Ning. Buruan kamu berangkat sana. Emak baik baik saja dan nggak akan nitip apa apa, kalau nanti kamu dapat gaji, gunakan dengan sebaik-baiknya ya?” pesan Emak.

“Insyallah, Mak.”

Aku pun segera berlalu meninggalkan Emak, meski dengan perasaan yang tidak enak. Kulirik jam yang ada di dinding dan sedikit berlari kecil karena waktu memang sudah cukup siang. Takut terlambat.


Kebetulan hari pertama aku dapat gaji bertepatan dengan Hari Ibu. Aku pun berinisiatif membelikan sesuatu untuk Emak.

Sebelum pulang ke rumah, Aku mampir di sebuah kios yang menjual peralatan ibadah, dan kuputuskan untuk membeli sebuah mukena. Syukur alhamdulillah, setelah sekian lama akhirnya bisa terbeli juga dengan hasil keringatku. Sebuah mukena sederhana berwarna putih dengan hiasan bordir bunga, kombinasi benang berwarna perak di punggung. Mukena yang bersahaja, pasti Emak senang menerimanya, setelah sekian tahun tidak bisa membeli mukena baru. Tentengan itu kupeluk menemani perjalanan pulang dengan perasaan haru.


Sampai di depan rumah Aku terkejut, karena ramai dan penuh orang. Perasaan tidak enak langsung menyergapku, teringat kondisi Emak pagi tadi yang kurang sehat dan menurutku lain dari biasanya. Seorang tetangga menyambut dan menuntun langkahku yang gontai.

“Ning, tadi Emakmu terjatuh seusai salat berjamaah di Masjid, kemudian kami membawanya pulang. Ternyata setelah diperiksa, emakmu sudah tiada. Kamu yang sabar, insyaallah emakmu husnul khotimah, melihat akhir hidupnya yang begitu indah,” kata tetangga yang menuntunku.

“Emak …!”

Aku berteriak dan memeluk tubuh Emak yang masih berbalut mukena dan terbujur kaku di ruang tengah. Lelehan airmata mengalir deras dengan sendirinya dan tak bisa kucegah. Teringat mukena yang baru saja kubeli untuk Emak, belum sempat Aku berikan untuknya. Belum sempat pula Emak memakainya. Mukena itu adalah persembahan pertama dari lelehan keringatku untuk Emak.

Aku mencoba ikhlas menerima garis takdir dari-Nya. Meskipun kalau boleh meminta, aku masih ingin mendekap erat Emak.

Al Fatihah …

Magelang, September 2021

Rindu Untuk Emak
Resep Bobor Sayur
Rumahku Surgaku
Kesalahan Terindah
Tradisi Nyumbang dan Pergeseran Nilainya

Terkait

Terkini